EMBUSAN angin
sore membelai lembut wajah pejuang ilmu
yang terselip di antara gedung-gedung nan tinggi, tidak ada barang mewah
apalagi bermerek tinggi yang mereka masukkan ke dalam sebuah tas yang sudah kumuh.
Cita-cita
ingin bisa bersekolah seperti anak lain pada umumnya harus mereka kubur
dalam-dalam, mereka sadar akan kondisi ekonomi yang sedang mereka alami dan
mereka hadapi saat ini.
Bagi mereka belum bisa bersekolah tidak lah menjadi
masalah, asalkan perutnya bisa selalu kenyang walaupun bukan berlauk ikan
apalagi daging.
Kota
yang sekarang telah terkenal di hampir Indonesia ini terutama di Aceh sendiri,
ternyata masih banyak menyimpan keadaan masyarakat yang bertempat tinggal di
area kumuh serta para anak- anak yang seharusnya telah wajib menimba ilmu di
sekolah.
Itulah, Gampong Jawa, di mana sampah di kota di buang pada pembuangan akhir (TPA) Kota Banda Aceh.
Tidak
ada keaahlian apalagi modal banyak yang mereka miliki untuk membangun sebuah
usaha kecuali memilah sampah yang masih bisa dijual untuk menghasilkan beberapa
rupiah yang dapat mereka bawa pulang ke rumahnya.
Melihat
keadaan yang sangat tidak ramah, bukan masyarakatnya akan tetapi tatanan rumah
yang dihiasi sisa-sisa pemakaian manusia teratur rapi di sekeliling rumah
mereka. Ya , tumpukkan itu uangku!
Mungkin
itulah kata-kata penyemangat hidup yang mereka gunakan selalu. Meski begitu
mereka tidak pernah membiarkan putra-putrinya ikut meneruskan pekerjaan yang
dilakukan oleh orang tuanya. Keadaan yang sedang terjadi sekarang terdengar
sampai ke telinga para mahasiswa terutama mahasiswa yang bernama Maulidar
Yusuf.
Maulidar
Yusuf adalah lulusan Prodi Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Ia tergugah hati untuk membangun sebuah taman
belajar gratis yang dimana bisa dirasakan oleh semua anak-anak yang berada di
kawasan tersebut. Tidak ada fasilitas mewah yang ia berikan kepada mereka, akan
tetapi hanya cahaya pendidikan yang ia bagikan kepada mereka.
Maulidar tidak
berjuang sendiri, ia mengajak kawan-kawannya ikut serta dalam kegiatan ini bagi
mereka ini adalah ladang amal yang harus mereka garap agar dapat berbuah
kebahagiaan.
Berkat
semangat dan kerja keras Maulidar beserta kawannya, ia mendirikan Taman Edukasi
Pemulung Kampung Jawa Kota Banda Aceh. Memang kata-kata pemulung merupakan
sebuah kalimat yang sangat bernilai rendah dimata para manusia, akan tetapi
tujuan Maulidar yang sesungguhnya adalah membebaskan penerus bangsa ini dari
keterbelenggu nya kemiskinan ilmu.
Maulidar
di mata anak-anak adalah sosok perempuan perkasa yang jiwa malaikat.
“Awalnya
bukan kak maulidar yang buat taman ini, tapi kak silvi Cuma gak lama baru kak
maulidar yang mimpin sampai sekarang. kak maulidar mau urus semua punya kami
disini termasuk pembuatan akte kelahiran pun kak maulidar mau, kak maulidar
juga kasih hadiah untuk kami kalau pandai belajar” jawab anak tersebut sambil tersenyum.
Meski
proses belajar dan mengajar di ruang terbuka dengan kondisi alas tikar seadanya
dilantai tanah berteman sampah, namun anak-anak tetap belajar dengan suasana
penuh gembira. Bahkan selama belajar di Taman Edukasi Anak Pemulung di Gampong
Jawa, sejumlah anak pemulung mulai dapat bersekolah di tempat yang formal
berkat kerja keras orang tuanya yang ingin memberikan pendidikan terbaik untuk
anaknya disamping belajar tambahan di Taman Edukasi tersebut.
Kini
setidaknya sudah ada puluhan anak yang ikut gabung dalam Taman Edukasi tersebut
dan juga
telah banyak relawan yang ikut menyumbangkan llmunya kepada mereka.
Saat ini telah ada balai atau pondok kecil yang diberikan oleh ibu Darwati
kepada mereka untuk lebih nyaman belajar, akan tetapi mereka mengatakan lebih
nyaman belajar di tanah daripada di balai.
Kini
telah banyak para donator yang dermawan yang ikut membantu Taman Edukasi ini,
memang bukan berupa gedung akan tetapi
berupa material uang yang bisa dipakai oleh mereka jika ada pembuatan sebuah
event-event yang mereka adakan.
Sebagian
besar dari mereka telah mampu bersekolah layaknya anak-anak pada umumnya. Dan
harapan mereka ialah pemukiman yang mereka tempati bisa ditata lebih rapi lagi
oleh pemerintah dan mereka menginginkan jangan menganggap pemulung itu tidak
bisa berbuat apa-apa atau berpartisipasi dalam masyarakat.
“Harapan saya ke depannya Taman Edukasi ini bisa
diperbaharui menjadi tempat yang layak untuk menuntut ilmu,” pungkasnya. [Talinda Ainil Fitrah]