Tahun 2015
lalu, Dhesy Badrina
menggagas Komunitas Pustaka Ransel. Dengan buku-buku di dalam ranselnya, Pustaka
Ransel konsisten mengunjungi anak-anak di pedalaman Aceh dan berbagi ilmu bersama
mereka.
“Bukan ketua sih, tapi lebih
tepatnya Founder,” kata perempuan yang sering menjinjing Ransel itu menegaskan
statusnya. Adalah Dhessy Badrina, penggagas komunitas Pustaka Ransel. Suatu
komunitas yang bergerak membantu pendidikan anak-anak didesa terpencil. Pustaka
Ransel juga merupakan suatu komunitas literasi yang bertujuan menarik minat
baca anak-anak.
“Berdirinya tahun 2015.
Bulan Agustus,” kata Dhessy mengawali ceritanya tentang latar belakang Pustaka
Ransel. Awalnya, komunitas tersebut berdiri karena ide tak sengaja dari Dhessy
yang saat itu masih menyelesaikan pendidikannya dibangku kuliah.
“Awalnya aku terinspirasi
dari perjalanan ku ke gunung kerinci, nah pada waktu itu aku dan kawan-kawan
juga melakukan hal serupa seperti yang aku lakukan sekarang ini. Kami
mengedukasikan anak-anak suku anak dalam. Karena ekpedisi itu, aku jadi
terfikir, kenapa gak di Aceh aku melakukan hal itu lagi,” cerita dia.
Ide tersebut kemudian
dibicarakannya dengan temannya, Deasi Susilawati. dan akhirnya mereka sepakat
untuk melakukan tapak awal perjalanan mereka bersama Pustaka Ransel.
“Untuk
awal perjalanan kami mengajak tujuh teman lainnya, dan semuanya perempuan,”
kata Dhessy, Kamis lalu.
Perjalanan pertama Pustaka
Ransel adalah mengunjungi anak-anak pedalaman di Pulau Aceh. mereka berbagi
pengalaman membaca ke-sebanyak Tujuh Sekolah Dasar disana.
“Ekpedisi pertama itu kami
namakan ‘traveling berjudul’,” kenangnya.
Kehadiran Pustaka Ransel di
Pulau Aceh ternyata mendapatkan respons positif dari masyarakat setempat.
“Alhamdulillah, kami
mendapat tanggapan positif dari masyarakat sekitar, dan niat baik pun disambut
anak-anak itu. Mereka menikmati buku-bukunya. Bagi yang belum bisa membaca,
relawan kami membantunya,” cerita dia.
Berbeda dengan
pustaka-pustaka bergerak lainnya, pustaka Ransel memiliki konsep tersendiri
dalam menarik minat baca anak-anak.
“Anak-anak dikelompokkan dan diberikan
buku-buku anak untuk mereka baca. Setelah itu mereka menceritakan kembali
penngalaman mereka membaca buku itu. Bagi yang belum bisa membaca, maka relawan
kami akan menstory telllingkan buku bacaan itu,” jelasnya.
Dalam perjalanannya, semua
relawan pustaka ransel harus rela menahan berat beban di pungggung mereka,
karena tidak hanya membawa perlengkapan menginap, mereka juga membawa buku
didalamnya.
“Terkadang kami bisa membawa 100 buku dalam sekali perjalanan,” ujarnya.
100 buku yang dibawa
merupakan pinjaman dari Komunitas Ruman. Namun, kini Pustaka Ransel sudah
memiliki buku-buku sendiri berdasarkan sumbangan-sumbangan para relawan dan
masyarakat.
“Sekarang kami sudah punya 400 san buku anak-anak.”
Saat ini, Pustaka Ransel
sudah memiliki 32 relawan fasilitator dan puluhan lainnya relawan lepas.
“Relawan pustaka ransel itu terbagi dua. Pertama relawan fasilitator, yaitu
relawan yang memfasilitasi para relawan lepas. Relawan lepas ini bisa datang
kapan saja. Sementara relawan fasilitator itu harus diikat deengan pustaka
ransel terlebih dahulu selama 6 bulan,” jelas Dhessy.
Perjalanan pustaka ransel
tidak hanya sampai di Pulau Aceh saja. Beberapa waktu lalu, mereka melakukan
ekpedisi ke Burni Telong, Takengon.
“Kami juga melakukan
ekspedisi ke Burni Telong. Masih seperti misi biasanya, tetap dengan buku dalam
ransel. Kami melakukan perjalanan pendakian itu dan turun kembali lalu lanjut
buat kegiatan sama anak-anak. Dengan ekpedisi tadi kita juga bisa menceritakan
kembali ke anak-anak apa yang ada diatas,” jelasnya.
Diakui Dhessy juga, Pustaka
Ransel akan siap berangkat ke beberapa daerah terpencil di Aceh. kedepan
merencanakan untuk berangkat ke Pulau Banyak, Simeulue, dan Sabang.
Dhessy juga
berharap apa yang dilakukannya bermanfaat untuk anak-anak dan juga dapat
menumbuhkan budaya literasi masyarakat Aceh tentunya.
“Yang terpenting adalah
menumbuhkan minat baca anak-anak. Terutama di desa-desa tepencil,” tutupnya. [Riska Munawarah]