WASATHA. COM, BANDA ACEH - Forum Jurnalis Lingkungan (FJL)
kembali menggelar diskusi, diskusi FJL berlangsung di warkop Abu Master
Lambhuk, kecamatan Ulee Kareng, Banda aceh, beberapa minggu yang lalu. Diskusi ini membahas tentang perasaan yang dialami warga desa sungai Iyu Aceh Tamiang, provinsi Aceh, yang tergusur oleh perusahaan sawit PT Rapala.
Sri Hariati (47) warga desa perkebunan sungai
Iyu, Aceh Tamiang, masih ingat betul kejadian menyedihkan yang terjadi didesanya.
Kejadian itu masih membekas dihatinya.
Ketika siswa sekolah dasar (SD) Yayasan Gani Mutiara
hendak akan memulai aktivitas belajar, tiba-tiba sebuah unit dam truk muncul
dihalaman sekolah. Beberapa pria keluar dari mobil dan langsung menuju ke ruang
guru, mereka meminta agar pihak sekolah segera mengosongkan seluruh ruangan.
Sejumlah siswa dan guru langsung panik dan
segera keluar dari ruangan. Segala aktivitas pun dihentikan pada hari itu juga.
Sekumpulan pria itu mengaku sebagai perwakilan
perusahaan sawit PT Rapala, mereka juga mengaku bahwa bangunan sekolah tersebut
berada didalam area tanah wilayah hak guna usaha (HGU) perusahaan mereka.
“Para
guru menolak kebijakan pengusuran yang dilakukan oleh PT Rapala,” kata Sri.
“Ketika berdiskusi para guru memohon kepada
pihak perusahaan agar tidak mengusur bagunan sekolah ini, minimal sampai akhir
semester dikarenakan anak-anak masih tetap bersekolah, tetapi mereka tidak mau
mendengarkan,” tutur Sri kepada FJL saat berkunjung
ke Banda Aceh.
Desa sungai Iyu sudah mereka tempati sejak
tahun 1953, jauh sebelum PT Rapala membuka perkebunan disana.
“Pada awalnya sekolah dasar Yayasan Gani
Mutiara hanya beralaskan tanah dan dinding kayu yang dibangun oleh masyarakat secara gotong royong,” kata Sri. “Sekitar 1970-an barulah sekolah dibangun secara permanen oleh perusahaan sawit PT P aneuk atra Gani mutiara sebagai pemegang mandat pengelola lahan,” lanjutnya.
Desa perkebunan sungai iyu sudah lama ada
sebelum diterbitkan HGU (Hak Guna Usaha) PT P aneuk atra Gani, kemudian diperpanjang pada tahun 1990 dan
selanjutnya beralih ke PT Rapala pada tahun 2018, sejak peralihan itulah warga mulai
diusir oleh perusahaan untuk meninggalkan desa serta mengkosongkan rumah masing-masing.
Beberapa warga tak sanggup dan terpaksa keluar
dari desa. Warga yang keluar itu diiming-imingkan uang senilai Rp. 2,5 juta dan pekerjaan. Mereka diperkerjakan sebagai
buruh harian lepas (BHL) tetapi mereka sudah diberhentikan juga.
“Warga yang dulunya BHL disana sekarang tidak
berkerja lagi. Mereka pulang kampung menumpang tinggal di rumah orang tuanya dan memilih tinggal
diluar desa. Sekarang warga yang masih tinggal didesa keseluruhannya berjumlah
64 KK (Kartu
Keluarga),” kata Sri.
Sri mengaku selama sengketa tanah terjadi,
bila ada warga yang meninggal dunia mereka terpaksa harus menguburkan didesa
tetangga, karena pihak perusahaan tidak mengizinkan untuk menguburkan didesa
sungai Iyu, Aceh tamiang yang mereka tempati saat ini. [Saskia Rammadhani dan Muhammad Khaliq Nasution].