Iklan

Iklan

Kesedihan Nek Masyita di Sumur Tua

7/06/18, 07:00 WIB Last Updated 2020-06-27T09:03:31Z
T Lembong Misbah 

NEK Masyita yang tinggal sebatang kara, begitu bangga menjaga sumur tua peninggalan moyangnya.

Seperti biasa, menjelang Subuh ia sudah terjaga dan bersiap menunaikan shalat.

Masya Allah, Nek Masyita terperanjat mendapati timba situek (pelepah pinang), yang biasa dia gunakan untuk mengambil air dari sumur berganti dengan timba plastik.

Nek Masyita melongo seakan tak percaya apa yang dilihatnya.

Tubuhnya yang ringkih dan bungkuk, Nek Masyita melirik ke arah belakang sumur tua yang ditumbuhi ilalang.

Sontak, Nek Masyita kaget bukan kepalang “siapa kiranya manusia yang tak punya perasaan itu, teganya dia membuang timba situek saya,” ujar Nek Masyita dengan bibir bergetar.

“Alangkah sombongnya orang itu, mentang-mentang dia punya uang banyak lalu dengan seenaknya menyingkirkan timba situek saya," gerutu Nek Masyita dalam batinnya.

Air mata Nek Masyita mengalir deras menganak sungai membasahi pipinya yang keriput, karena merasa telah dipermainkan.

Dalam kesedihan yang amat dalam, Nek Masyita memungut kembali timba situeknya yang tergelatak tak beraturan.

Efek dari kekesalannya dengan refleks ia melemparkan timba plastik yang berjejer di sekitar bibir sumur.

Hati Nek Masyita teriris pilu, maklum usianya yang renta memiliki sensitifitas perasaan yang cukup tinggi. Entah bisikan apa yang meraung-raung di telinganya, ia pun menutup sumur tua itu untuk warga.

Akibatnya masyarakat Lam-lam kesulitan mendapatkan air bersih apalagi saat itu musim kemarau di mana semua sumur warga hampir semuanya kering.

Warga Lam-lam heboh, mereka bertanya-tanya mengapa Nek Masyita tiba-tiba menutup sumur tua, sebab selama ini ia begitu senang bila ada warga yang mengambil air di sumur yang ia punyai, bahkan tak jarang Nek Masyita turut membantu menuangkan air ke dalam bejana yang dibawa warga.

Baginya sumur tua itu adalah ladang amal pada diri, keluarga dan nenek moyangnya.

'Tapi kok bisa seperti itu ya,  ini pasti ada apa-apanya ucap," Tgk. Lah yang menjabat sebagai salah seorang Tuha Peut Gampong Lam-lam.

" Ya," sahut Bang Is.

"Jika begitu kita harus jumpai Nek Masyita, apa sebenarnya yang telah terjadi," sambung Tgk. Lah.

Awalnya Nek Masyita tidak menghiraukan siapapun yang datang, tapi karena Tgk.Lah adalah tokoh masyarakat Lam-lam yang sangat dihormati, maka sekalipun dengan berat hati akhirnya Nek Masyita keluar juga dari kamarnya dan menjumpai Tgk. Lah.

“Nek apa yang membuatmu marah sehingga menutup sumur tua untuk warga?”, tanya Tgk. Lah dengan lembut.

“Aku sedih karena ada orang kampung ini yang tidak menghargai aku,” jawab Nek Masyita setengah menahan tangis.

 Tgk. Lah semakin penasaran atas ucapan Nek Masyita. Setelah berbincang beberapa lama akhirnya Tgk. Lah paham duduk masalahnya.

Tgk. Lah kemudian segera menemui seorang pemuda Gampong yang Sukses, Ihsan.

Ia baru pulang dari Kota Besar setelah puluhan tahun merantau. Perasaan Tgk. Lah tidak ada yang bisa membelikan timba plastik seperti yang diceritakan Nek Masyita, selain Ihsan.

Karena rata-rata kehidupan masyarakat Lam-lam serba tidak berkecukupan. Ketika Tgk. Lah menanyakan tentang hal ihwal timba plastik, dengan tersipu malu Ihsan berkata,

 “Ya, sayalah yang mengganti situek itu dengan timba plastik, saya sedih melihat masyarakat Gampongku ini masih menggunakan situek untuk mengambil air, jadi saya hanya ingin membuat kejutan kecil," kata Ihsan.

Wahai saudaraku, saya mengerti maksudmu, tapi tahukah engkau bahwa tindakanmu itu membuat Nek Masyita si pemilik sumur tua itu tersinggung dan kini warga menjadi ribut, karena Nek Masyita menutup sumur tersebut kepada warga.

"Astaghfirullah, pekik Ihsan. Maafkan saya Tgk. Lah, bawalah saya ke Nek Masyita, saya ingin segera minta maaf atas kelancangan saya terhadap Nek Masyita," kata Ihsan

Cuplikan cerita ini, mengisyaratkan bahwa berbuat baik itu tidak cukup hanya dengan niat saja.

Pada galibnya setiap orang menerima kebaikan, akan tetapi acapkali kebaikan itu ditolak dan ditentang manakala kebaikan itu dilakukan dengan cara tidak beretika dan tidak memahami situasi dan kondisi seseorang atau masyarakat yang hendak dibantu.

Seseorang acapkali lebih memilih menahan lapar, demi mempertahankan harga dirinya.

Demikian pula dengan sebuah nasihat, baik lisan maupun tulisan, tentu dianggap sebagai mutiara yang indah manakala diucapkan dan ditulis dengan bahasa santun, lembut dan menyejukkan jiwa.

Berkaca dari sikap Nek Masyita, sekalipun hatinya teriris, terluka dan terasa berdarah, manakala diulurkan tangan dengan ucapan maaf yang tulus dari Ihsan, maka dengan segala kerendahan hati dan jiwa besarnya ia membuka pintu maaf yang selebar-lebarnya.

Karena Nek Masyita tahu sekalipun kulitnya keriput, ringkih tulangnya, tapi ia tetap menjaga hatinya agar tidak memendam dendam yang akan membakar dirinya.

[T Lembong Misbah adalah Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam [PMI] Fak. Dakwah Dan Komunikasi UIN Ar-Raniry]

Artikel Terkait:
Tragedi Di Lembah Sabil
Mencambuk Pelakor
Minggu Abeh
Memelototi Mata Harimau


 Beli pulsa, bayar listrik? pakai Paytren Saja. Klik


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Kesedihan Nek Masyita di Sumur Tua

Terkini

Topik Populer

Iklan