SECARA elektoral Aceh ini tidak menarik. Jumlah
pemilih provinsi Aceh saja sama dengan dengan satu kabupaten di Jawa Timur. Kenyataan
politik ini tentu akan memberi dampak terhadap nilai tawar, ketika kepentingan
Aceh dibicarakan pada level nasional.
Apalagi ketika berhadapan dengan
pembicaraan tentang apa yang disebut sebagai kepentingan nasional dan daerah.
Aceh sudah pernah merasakan hal itu. Hal yang membuat daerah ini bergejolak,
baik atas nama Darul Islam maupun Aceh Merdeka.
Maka, acapkali pembicaraan mengenai posisi strategis
dibicarakan, maka tawaran dari Aceh selalu saja bukan kualifikasi kuantitatif,
melainkan kualititatif. Itulah mengapa kita dapat memahami, sepanjang
perjumpaan dengan Indonesia modern, cerita Aceh penuh dengan glorifikasi; Syariat
Islam, patriotisme, modal dan perjuangan politik mempertahankan kedaulatan.
Tetapi, glorifikasi itu tidak akan menjadi narasi
besar, kalau tidak ada menjembatani. Sebab, anti-narasi selalu saja hadir dalam
setiap pergulatan sejarah Aceh di Indonesia. Anti-narasi itulah yang membuat
goncangan demi goncangan. Oleh karena itu, jembatan selalu saja dibutuhkan.
Apa yang dimaksud dengan jembatan, tidak lain adalah
kemampuan untuk melakukan negoisasi dan
diplomasi tingkat tinggi. Sudah harus ditinggalkan diplomasi dengan alat
perang, sebab tidak mungkin sepanjang zaman terus angkat senjata. Negoisasi
yang dimaksud yaitu dengan menempatkan orang-orang yang dapat berbicara dalam
bahasa nasional, namun memiliki agenda daerah.
Hal tersebut harus dipahami dalam konteks, selama
republik ini berdiri, kita baru saja mengalami masa-masa , dimana daerah dapat
mengurus dirinya. Pun sedemikian, daerah juga tidak boleh sesuka hati. Selalu
saja pemerintah di Jakarta memantau dengan jeli, setiap perkembangan dan
dinamika di daerah. Apalagi suasana pembangunan di daerah ini akan juga
membutuhkan persetujuan bahkan penolakan dari pusat, apabila itu dirasa
berhubungan dengan kepentingan bangsa yang lebih besar.
Dalam hubungan Aceh dengan Jakarta, memanglah banyak
kita menemukan orang-orang yang menjadi jembatan. Diawali oleh Daud Beureuh.
Ulama besar yang menjadi jembatan keterhubungan antara Aceh dengan nasion
Indonesia di masa-masa sulit.
Kemudian, ada nama Ali Hasjmy, politisi cum sasterawan, yang memahami betul tentang
kedua entitas yang selalu berhadap-hadapan ini, Aceh dan Indonesia.
Kecakapan
diplomasinya membuat konflik Aceh mereda. Bahkan pendekatan kebudayannya,
selalu saja membuat Aceh dapat berdiri tegak di mata masyarakat dunia lain.
Salah satu contoh terbaik yang dilakukan oleh Hasjmy adalah dengan membangun
gerakan kebudayaan, apa yang disebutnya dengan, Dunia Melayu Raya.
Jangan pula melupakan nama Bustanil Arifin, tokoh
Indonesia dari Sumatera Barat, yang menjadi anak asuh dari tokoh revolusi
nasional, Amir Husin Mujahid.
Kecintaannya kepada daerah ini, dilukiskan oleh
banyak pihak dengan memberi perhatian kepada pembangunan fisik dan manusia Aceh.
Sampai-sampai, Sayid Mudhahar Ahmad, memberikan testimony yang berkesan, bahwa
Pak Bus, panggilan akrab Bustanil Arifin, adalah Ayahnya orang Aceh.
Jadi, jembatan demi jembatan seperti itu perlu terus
dibangun. Kini, dengan perubahan politik sejak tahun 2004, munculah putera dari
Paloh. Ketua Umum nasional yang berpengaruh. Bahkan kini, menjadi pendukung utama pemerintah.
Perannya
diperlukan untuk menjadi jembatan guna membicarakan kepentingan Aceh di
Jakarta. Sebab, ketiadaan jembatan, membuat hubungan akan mandeg, terputus. Dan,
tentu, kita tidak ingin hubungan Aceh dan Indonesia kembali disharmoni seperti
dulu. [Muhammad Alkaf adalah pengajar di IAIN Langsa, kurator di Padeebooks]
Artikel Terkait: