Iklan

Iklan

Paloh

5/16/18, 10:46 WIB Last Updated 2020-06-27T09:05:56Z


SECARA elektoral Aceh ini tidak menarik. Jumlah pemilih provinsi Aceh saja sama dengan dengan satu kabupaten di Jawa Timur. Kenyataan politik ini tentu akan memberi dampak terhadap nilai tawar, ketika kepentingan Aceh dibicarakan pada level nasional. 

Apalagi ketika berhadapan dengan pembicaraan tentang apa yang disebut sebagai kepentingan nasional dan daerah. Aceh sudah pernah merasakan hal itu. Hal yang membuat daerah ini bergejolak, baik atas nama Darul Islam maupun Aceh Merdeka.

Maka, acapkali pembicaraan mengenai posisi strategis dibicarakan, maka tawaran dari Aceh selalu saja bukan kualifikasi kuantitatif, melainkan kualititatif. Itulah mengapa kita dapat memahami, sepanjang perjumpaan dengan Indonesia modern, cerita Aceh penuh dengan glorifikasi; Syariat Islam, patriotisme, modal dan perjuangan politik mempertahankan kedaulatan.

Tetapi, glorifikasi itu tidak akan menjadi narasi besar, kalau tidak ada menjembatani. Sebab, anti-narasi selalu saja hadir dalam setiap pergulatan sejarah Aceh di Indonesia. Anti-narasi itulah yang membuat goncangan demi goncangan. Oleh karena itu, jembatan selalu saja dibutuhkan.

Apa yang dimaksud dengan jembatan, tidak lain adalah kemampuan untuk  melakukan negoisasi dan diplomasi tingkat tinggi. Sudah harus ditinggalkan diplomasi dengan alat perang, sebab tidak mungkin sepanjang zaman terus angkat senjata. Negoisasi yang dimaksud yaitu dengan menempatkan orang-orang yang dapat berbicara dalam bahasa nasional, namun memiliki agenda daerah.

Hal tersebut harus dipahami dalam konteks, selama republik ini berdiri, kita baru saja mengalami masa-masa , dimana daerah dapat mengurus dirinya. Pun sedemikian, daerah juga tidak boleh sesuka hati. Selalu saja pemerintah di Jakarta memantau dengan jeli, setiap perkembangan dan dinamika di daerah. Apalagi suasana pembangunan di daerah ini akan juga membutuhkan persetujuan bahkan penolakan dari pusat, apabila itu dirasa berhubungan dengan kepentingan bangsa yang lebih besar.

Dalam hubungan Aceh dengan Jakarta, memanglah banyak kita menemukan orang-orang yang menjadi jembatan. Diawali oleh Daud Beureuh. Ulama besar yang menjadi jembatan keterhubungan antara Aceh dengan nasion Indonesia di masa-masa sulit. 

Kemudian, ada nama Ali Hasjmy, politisi cum sasterawan, yang memahami betul tentang kedua entitas yang selalu berhadap-hadapan ini, Aceh dan Indonesia. 

Kecakapan diplomasinya membuat konflik Aceh mereda. Bahkan pendekatan kebudayannya, selalu saja membuat Aceh dapat berdiri tegak di mata masyarakat dunia lain. Salah satu contoh terbaik yang dilakukan oleh Hasjmy adalah dengan membangun gerakan kebudayaan, apa yang disebutnya dengan, Dunia Melayu Raya.

Jangan pula melupakan nama Bustanil Arifin, tokoh Indonesia dari Sumatera Barat, yang menjadi anak asuh dari tokoh revolusi nasional, Amir Husin Mujahid. 

Kecintaannya kepada daerah ini, dilukiskan oleh banyak pihak dengan memberi perhatian kepada pembangunan fisik dan manusia Aceh. Sampai-sampai, Sayid Mudhahar Ahmad, memberikan testimony yang berkesan, bahwa Pak Bus, panggilan akrab Bustanil Arifin, adalah Ayahnya orang Aceh.

Jadi, jembatan demi jembatan seperti itu perlu terus dibangun. Kini, dengan perubahan politik sejak tahun 2004, munculah putera dari Paloh. Ketua Umum nasional yang berpengaruh.  Bahkan kini, menjadi  pendukung utama pemerintah. 

Perannya diperlukan untuk menjadi jembatan guna membicarakan kepentingan Aceh di Jakarta. Sebab, ketiadaan jembatan, membuat hubungan akan mandeg, terputus. Dan, tentu, kita tidak ingin hubungan Aceh dan Indonesia kembali disharmoni seperti dulu. [Muhammad Alkaf adalah pengajar di IAIN Langsa, kurator di Padeebooks] 



Artikel Terkait:
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Paloh

Terkini

Topik Populer

Iklan