Ilustrasi |
FAKTA sejarah yang dikutip dari buku Biografi 60 Sahabat Rasulullah ada
sekian banyak orang di zaman dahulu yang menjadi sebuah saksi keistimewaan dari
agama yang penuh keberkahan yaitu Islam.
Islam berkibar
melalui orang-orang pilihan, yang Allah tunjuk untuk menghidupkan agama yang
diridhoi-Nya. Salah satu dari sekian banyak manusia itu ialah Shuhaib Ibn
Sinan. Pemuda yang rela mengorbankan seluruh harta bendanya demi Islam.
Sebelum masuk
Islam Shuhaib adalah orang yang terlahir dalam kenikmatan dunia yang penuh
kebahagiaan. Ayahnya adalah seorang hakim dan Kepala Daerah Uballah yang berada
di bawah kekuasaan Kisra.
Ia adalah
keturunan orang-orang Arab yang mengungsi ke Irak jauh sebelum datangnya Islam.
Ia tinggal di tepi sungai Eufrat, berbatasan dengan al-Jazirah dan al-Maushil.
Suatu hari
negerinya mendapat serangan dari Romawi. Para Agresor menawan banyak penduduk
dan mereka membawa pemuda yang bernama Shuhaib Ibn Sinan tersebut.
Perjalanan
panjangnya berakhir di Mekkah. Ketika itu ia dijual kepada Abdullah ibn Jad’an.
Karena kecerdasan, ketangkasan dan kejujuran yang ada pada dirinya maka ia
dimerdekakan oleh majikannya dan ia diberi kesempatan untuk ikut berdagang
bersamanya.
Pertemuannya
dengan seorang laki-laki yang bernama Ammar ibn Yasir di depan rumah Arqam
telah membawa dirinya bertemu dengan manusia mulia, rahmat bagi seluruh alam,
yaitu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Pada saat
itulah kebahagian yang sebenar-benarnya ia dapatkan. Kini ia telah mengetahui
jalan yang bisa membawa dirinya menuju hidayah, cahaya, pengorbanan yang berat
dan besar.
Shuhaib ibn
Sinan ialah seorang laki-laki asing dan seorang perantau yang memiliki
keteguhan iman. Pengorbanannya melewati ambang pintu rumah Arqam yang dikatakan
luasnya tidak lebih dari sejengkal itu pada hakikatnya menyeberangi lautan
hiruk-piruk yang luas dan berbahaya.
Keberaniannya
untuk melangkahi ambang pintu tersebut berarti mendeklarasikan datangnya suatu
masa yang penuh dengan tanggung jawab yang besar. Semua itu terjadi melalui
kepribadian Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang
jejaknya telah memenuhi hati orang-orang yang beriman dengan hidayah dan cinta
yang luar biasa.
Semua itu
adalah rahmat Allah yang dilimpahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya serta
hidayah yang diberikan kepada orang-orang yang mau berserah diri kepada-Nya.
Shuhaib telah
mengambil tempat yang tinggi di tengah orang-orang yang beriman dan berjuang
keras demi agama yang ia yakini saat ini, Islam. Dengan jujur, ia berbicara
dengan loyalitas yang tinggi terhadap tanggung jawab sebagai seorang muslim
yang telah berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Ia berkata
“Tidak pernah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyaksikan suatu peristiwa,
kecuali aku pasti bersama beliau. Tidak pernah beliau melakukan bai’at, kecuali
aku ada di dekatnya. Tidak pernah beliau memimpin suatu rombongan kecuali aku
di dalamnya. Tidak pernah beliau berperang sepanjang masa, baik pada masa
awal-awal Islam maupun masa-masa akhir, kecuali aku berada di sisi kanan atau
kiri beliau. Apabila kaum Muslimin mengkhawatirkan sesuatu terjadi di depan
beliau, aku segera berada di depan beliau. Begitu juga jika mereka mencemaskan
sesuatu di belakang beliau, pasti aku mundur ke belakang beliau. Aku selalu
menjadi penghalang antara Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam dan musuh
hingga ia wafat”.
Itulah wujud
dari sebuah kesetian yang tinggi dan keistimewaan iman yang tiada duanya. Ia
memang pantas mendapatkan iman yang tinggi sejak ia Ridhoi Islam sebagai
agamanya dan berjabat tangan dengan Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam.
Saat itu
hubungannya dengan manusia, dengan dunia bahkan dengan dirinya sendiri memiliki
karakter baru. Hijrahnya telah di mulai.
Rasulullah Sangat
Mencintai Shuhaib
Di samping
memiliki sifat wara’ dan takwa ia adalah orang yang periang juga
humoris. Dia adalah pemuda yang pemurah dan suka memberi.
Seluruh gajinya
dari Baitul Mal ia nafkahkan di jalan Allah, membantu orang yang membutuhkan,
dan menolong orang yang kesusahan. Ia juga memberi makan orang yang miskin,
anak yatim dan tawanan dengan suka rela.
Bahkan dengan
kedermawanannya yang luar biasa itu menarik perhatian Umar. Ia berkata, “Aku
melihatmu banyak memberikan makan hingga melampaui batas.” Shuhaib pun
menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda: “Orang terbaik di antara kalian adalah orang yang suka memberi
makanan.”
Meskipun ia
hidup dengan penuh keistimewaan dan keagungan, pilihan Umar ibn Khaththab terhadapnya
untuk menjadi imam kaum Muslimin dalam shalat adalah suatu keistimewaan yang
memenuhi hidupnya dengan cahaya dan keagungan.
Pada saat Umar
ditikam saat sedang menjadi imam dalam shalat subuh bersama kaum muslimin, ia
menyampaikan wasiat dan kata-kata terakhir kepada para sahabatnya, “Hendaklah
Shuhaib mengimami umat!”
Tentunya Umar
tidak akan sembarangan dalam mengambil keputusan, terlebih dalam kondisi
demikian. Ia pasti akan berpikir seribu kali sebelum memilih. Ketika ia telah
memilih, tentulah tidak ada seorang pun yang lebih layak daripada orang yang
dipilihnya itu. Ia telah memilih Shuhaib sebagai imam kaum Muslimin dalam
shalat, tentunya bukan karena ia tidak tahu bahwa lidah Shuhaib adalah lidah asing.
Sungguh
peristiwa ini merupakan salah satu nikmat dan karunia Allah yang paling
sempurna bagi hambanya yang shaleh, Shuhaib Ibn Sinnan. [Nurmalasari]