FOTO: Makam Tengku Peukan |
ADA begitu banyak sejarah yang terdapat di kabupaten Abdya. Tetapi tidak semua masyarakat, baik dari kalangan orangtua ataupun remaja dan anak-anak yang tahu akan sejarah tersebut.
Saat ini nama seperti Teuku Ben Mahmud,
Tengku Peukan dan pejuang lainnya di Aceh Barat Daya masih kurang begitu
populer dikalangan masyarakat.
Para perjuang tersebut pernah
menorehkan tinta emas bagi semangat kemandirian dan jati diri bangsa dengan
perlawanan rakyat di Aceh Barat Daya terhadap koloniel Belanda.
Tengku Peukan lahir di Sawang, Aceh Selatan pada tahun
1886 dan menetap di Manggeng, Abdya. Jika kita menelusuri kembali sejarah Teungku Peukan Abdya,
ternyata pahlawan yang juga merupakan seorang ulama ini adalah anak dari ulama
kharismatik Teungku Adam atau yang lebih dikenal dengan Teungku Padang Ganting
dan Siti Zulaikha.
Tengku Peukan merupakan seorang ulama
dan juga toloh masyarakat yang sangat berpengaruh di manggeng pada masa itu. pada
masa itu, Belanda menganggap bahwa kehadiran beliau bisa membahayakan posisi
mereka semua, dan ketika Tengku Peukan sudah mulai melakukan dakwahnya dan
beliau mengatakan bahwa membela tanah air dari penjajahan Belanda adalah
ibadah.
Maka sebab itu, Belanda pun mulai memata-matai
setiap gerak dan langkah Tengku Peukan dan melarang beliau untuk tidak meneruskan
dakwahnya lagi.
Belanda tidak berhasil menghalang
dakwah Tengku Peukan, langsung mencari cara lain agar Tengku Peukan mau tunduk
kepada Belanda dan tidak melakukan perlawanan lagi.
Kemudian pihak belanda memerintahkan
para petugasnya untuk menagih semua pajak tanah yang sudah tiga tahun
dibebaskan oleh Ulee Bala Manggeng. Jika tidak dilunasi maka belanda berhak
menangkap Teuku Peukan.
Tetapi Tengku Peukan tidak tinggal
diam, dan beliau adalah orang yang lebih cerdik daripada penjajah belanda,
karena sebelum para penjajah ingin menangkapnya, Tengku Peukan dan para
pasukannya sudah bersiap diri untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu
kepada pihak belanda.
Tepat pada 09 September 1926, menjadi
sejarah yang sangat dikenang masyarakat Abdya, karena pada saat itu Tengku
Peukan bersama pasukannya berhasil menyerang (tangsi) benteng yang terletak di
Blangpidie, sekarang ini tempatnya tepat berada di tempat yang sekarang menjadi
(Asrama Kodim 0110).
Tepat malam hari sebelum penyerangan,
Teungku Peukan dan pasukannya melakukan ritual keagamaan berupa wirid dan zikir
untuk pembersihan diri dari penyerahan diri secara sakral yang dilakukan di
Meunasah Ayah Gadeng Manggeng.
Teungku Peukan lalu mengerahkan
pasukannya menuju Blangpidie dengan menempuh jalan kaki sejauh 20 KM. Seluruh
pasukan memakai pakaian hitam dan celana hitam, khusus panglima menggunakan
seuleumpang kuning, sedangkan para pejuang menggunakan pakaian hitam dengan
lilitan ija kuneng (kain kuning)
dipinggang. Penyerangan dilaukan pada saat menjelang subuh, sehingga serdadu
belanda kaget dan kocar-kacir. Pada penyerangan itu banyak serdadu belanda yang
tewas.
Sebagai wujud rasa syukur kepada
Allah, Teungku Peukan mengumandangkan azan di masjid Jamik baitul adhim. Dan
pada saat itulah seorang tentara belanda melepaskan 1 tembakan yang membuat
Teungku Peukan meninggal. Teungku Peukan pejuang ini meninggal pada hari
Jum’at, 11 September 1926.
Dalam kejadian itu, anak dari Teungku
Peukan yaitu Teungku Tahala sangatlah marah dan langsung melakukan penyerang
kepada serdadu Belanda, dan pada saat itu jugalah dia meninggal dalam
pertempuran.
Dalam peristiwa tersebut terdapat
inisiatif Teungku Yunus Lhong Jenazah Teungku Peukan dan 5 pejuang lainnya
(termasuk Putra dia) dimakamkan di depan Masjid Jamik Baitul Adhim Blangpidie.
Saat ini, nama Teungku di abadikan
pada nama sebuah Rumah Sakit yang terdapat di kabupaten Abdya, dengan nama RSUD
Tengku Peukan. [Ulfa
Tariyama]