SAMPAI kapan mobil angkutan umum bau solar ini harus terus kunaiki. Mobil
L300 jurusan Banda Aceh santer dengan kebut-kebutan di jalan.
Berliak-liuk
berkejaran satu sama lain demi memperebutkan seorang penumpang. Dan jika perlu
menyalib mobil berat sekelas tronton dengan jejalan kayu glondong diatasnya.
Bah! Menerjang bahu jalan pun jadi. Mendadak isi perut menguap naik. Mendesaki
rongga olfaktoriku. Aroma rokok penumpang menguar kencang. Melumatku tanpa
ampun. Hatta, lidah menari salsa menahan getir yang menjalar.
Tetapi, no choice! Hanya itu pilihannya. Kadang
disemati mabuk darat, naik bus ber –AC yang lebih aman dan nyaman bukan juga
obat manjur bagiku. Setali tiga uang. Andai cukup bernyali, naik Vario-lah yang jadi pilihan terbaikku!
“Minggir...Dek,
geser ke sana lagi!.” Kernet L300 menyuruhku merapat lebih ke dalam, membuat
aku hanya senyum kecut. Minggir kemana lagi? Ini sudah dekat sekali dengan
gagang starter gigi mobil. Kutoleh sekilas ke arah sopir di samping kiriku.
Nyaris bahu kami bertemu. Teramat sesak berhimpitan. Tak terbayangkan deretan
depan dipaksa penuh dengan empat atau sampai lima penumpang beserta sopirnya.
Apatah lagi di belakang sana, para penumpang saling bertumpuk seperti ikan asin
dikeranjangnya.
Dug!
Sikut ibu
bertubuh bongsor yang ada di sampingku menyodok tulang igaku. Lumayan sakit!.
Buru-buru aku memberinya jarak dengan tas gendong yang semula dipangkuanku.
Lalu kuapit erat-erat. Aku tak mau rasa mual yang membuncah sedari tadi
menyembur keluar karenanya. Mau di taruh dimana muka innocent ini kalo sempat cairan ijo
royo-royo itu mengotori pakaiannya dan kaca mobil?
“Alahai,
kernet mabok! Udah penuh masih saja nambah penumpang! Kajak let keubeu keudeh ken!” umpat pak tua berkumis baplang di
belakangku. Aku mengangkat wajah. Sejurus aku memantau ke belakang, dan
mendadak seram. Ternyata, nyaris seluruh penumpang L300 ini adalah lelaki. Bisa
dikatakan sembilan puluh delapan persen! Sisanya dua persen hanya aku dan si Ibu
tadi.
Senja mulai
turun dan selimut malam mulai terbentang. Sementara di luar sana mendung pekat masih
menggelanyut langit. Pertanda hujan lebat sedang mengguyur daerah sebelah barat
tujuanku.
Hh... nekat
kali diriku balik ke Banda Aceh malam-malam. Aku nyengir kecut. Besok pagi
midterm tes mata kuliah Linguistics.
“Bang...stop
bang simpang lampu merah depan.” Tiba-tiba ibu bertubuh bongsor memberikan
aba-aba pada sopir untuk berhenti.
“Ya!”
Laju mobil
perlahan berhenti. Ibu itu turun diikuti suami dan anak laki-lakinya.
Ah...lega!
Seorang
lelaki tua- mungkin sebaya bapakku di kampung, mengambil alih kekosongan tempat
duduk itu. Yah...baru semenit kosong udah ada lagi yang duduk. Sungutku. Si Bapak
melempar senyum. Aku membalas dengan anggukan. Seulas senyum agak kupaksakan
sedikit.
“Mau kemana, Dek?”
“Darussalam, Pak!”
“Masih jauh sekali. Adek ini kuliah di
mana?”
“UIN, Pak!”
“Wah, sekitar empat jam lagi. Apa nggak
kemaleman nanti sampenya?”
“Malem sih
Pak. Tapi gimana lagi? Susah dapat mobil yang mau berhenti tadi, rata-rata
penuh penumpang semua.”
Kelihatannya,
si Bapak itu ingin lebih banyak mengajakku ngobrol. Sayangnya, aku sudah tak
kuat membuka mata. Rasa kantuk amat mendera. Setelah kepayahan seharian, rasanya
tidur begitu enak. Awalnya
terangguk-angguk lalu...Blek! kepala ini jatuh oleng ke bahu si Bapak. Pandangan
gelap.
“Dek, sudah
sampai Sare!” tiba-tiba tangan si Pak Tua menepuk pahaku, membuat aku terjaga.
Aku terkejut saat tau tertidur di bahunya.
“Oh, eh.
Maaf, Pak!” kataku sembari mengubah posisi duduk dan merapikan letak kerudungku
yang acakadut.
“Iya. Ngga
apa-apa...yuk turun. Semua penumpang sudah turun ke warung makan di sana.”
“Saya nunggu
disini aja, Pak. Kebetulan udah makan tadi di rumah sebelum berangkat.” Jawabku
dengan alasan sekenanya. Padahal, karena isi dompetku hanya tinggal selembar
uang berwarna merah. Cuma cukup untuk bayar ongkos saja.
“Tenang!”
Pak Tua seperti tau apa yang kupikirkan. “Nanti saya yang bayar.”
Aku
buru-buru menolak. Namun, si Bapak ini tetap memaksa.
“Santai
saja... saya ikhlas, saya terbiasa mentraktir orang yang baru saya kenal.”
Aku tergugun
dan tergugu. Di era yang katanya kids
zaman now masih ada yang mau peduli
sesama musafir. Dan rezeki mana boleh ditolak. Pamali!
“Te...terima
kasih, Pak!” ujarku, dengan suara serak.
Lalu kami
turun dari mobil dan duduk semeja makan di warung itu. Si Bapak memesan banyak
menu hingga meja kami penuh dengan hidangan lezat. Dua botol teh sosro juga ikutan nangkring.
Tanpa
kusadari beberapa pasang mata menatap kami lekat yang asyik makan sambil
ngobrol layaknya sudah lama kenal. Mereka saling berbisik satu sama lain.
Setelah
perut kenyang, penumpang kembali menaiki L300. Mobil mulai melaju menembus pekatnya
malam. Satu persatu penumpang turun begitu sampai ditujuannya masing-masing.
Begitu juga Pak Tua mengarahkan sopir untuk belok ke kiri memasuki lorong
komplek perumahan di Lambaro. Lalu berhenti di depan sebuah rumah megah
berwarna putih dengan desain interior pagarnya yang indah. Mobil hitam Jaguar
tampak elegan terparkir di garasi.
Pak Tua
tersenyum padaku sebelum turun. Namun senyumnya tak lagi kebapakan seperti
tadi. Senyum ini... genit!
“Dek, mau
mampir di rumah saya dulu? Besok saya antar ke Darussalam. Tanggung udah
terlalu malam ini.”
“Gimana?
Ongkosnya biar sekalian saya bayar.”lanjutnya lagi.
Aku
terperangah.
“Hah?! Apa?! Ngga usah, Pak! Maaf sekali, besok saya
ada urusan penting ke kampus.” Tolakku mentah-mentah.
“Ya udah
kalo gitu. Ini kartu nama saya. Jangan segan-segan hubungi saya. Oke!”
Ya Ampuun...
si Bapak mengedipkan sebelah matanya! Aku bergeming, lidahku kelu. Tergesa,
sopir menghidupkan mesin mobil. Melaju seketika setelah Pak Tua itu berlalu.
“Ya Allah...
Dek... kayak udah kena pengasihan bapak tu aja. Mau-maunya dengar apa yang dibilang.
Sadar ngga, saya pantau dari tadi terus. Tapi saya ngga tau mau buat apa.”
Kernet yang
merapat ke depan juga manggut-manggut membenarkan apa yang sopir katakan.
Deg!
Aku sontak kaget
mendengar ucapan sopir itu. Astaghfirullah...!
Aku bergidik
ngeri. Kulemparkan segera kartu nama yang ada ditanganku itu keluar jendela.
Uff! Hampir
saja terkena jebakan Batman Zaman Now. [Morina Octavia]
*penulis adalah IRT, 4 anak. Tinggal di Bireuen