Foto Google
MUNGKIN tidak semua masyarakat
tahu apa yang dimaksud dengan kata individualisme dan kolektivisme,
karena kata ini termasuk kedalam kata yang digunakan dalam dunia akademisi.
Namun secara tidak langsung, setiap individu sudah mengategorikan dirinya
sendiri, apakah ia termasuk kedalam golongan individualism atau kolektivisme?
Kedua kata tersebut
memiliki makna yang berlawanan. Perbedaan individualisme dengan kolektivisme
selama ini sering dirancukan pada prakteknya di dalam masyarakat. Entah karena
propaganda atau minimnya kepedulian di masyarakat atau bahkan lebih buruk lagi
kombinasi keduanya seringkali kolektivisme diagung-agungkan di masyarakat Timur
dan dianggap sebagai praktek kebersamaan, keharmonisan, rukun, gotong-royong
dan sebagainya. Sebaliknya individualisme dimaknai secara negatif, dan ini
lebih ditujukan kepada masyarakat Barat, mereka dicap sebagai orang yang
egoisme, hedoisme dan sebagainya.
Individualisme memiliki
arti lebih mementingkan kebebasan pribadi artinya lebih mementingkan diri
sendiri dibandingkan mementingkan orang lain. Individualisme merujuk pada
kecenderungan orang untuk mengutamakan identitas individual dibandingkan
identitas kelompok, hak individual dibandingkan hak kelompok, dan kebutuhan
individu dibandingkan kebutuhan kelompok. Individualisme adalah identitas
dengan kata “Aku”.
Larry Samovar dan Richard
poter (2004) percaya bahwa individualisme merupakan suatu pola yang
penting di Amerika Serikat. Menurut mereka individualisme lebih menekankan pada
sikap individu, kemandirian, ekspresi individu, dan bersifat privasi.
Nilai-nilai individualisme menekankan adanya nilai kebebasan, kejujuran,
kenyamanan, dan kesetaraan pribadi.
Masyarakat individualisme
biasanya berkomunikasi secara efektif, tegas, terus terang, to
the point, dan tanpa basa-basi. Dan pada saat bekerja, mereka lebih
mengutamakan kesuksesan dan keberhasilan pribadi mereka, seringkali mereka
tidak menghiraukan bagaimana kondisi dan juga kabar orang disekitar mereka, dan
tak segan bersaing dengan rekannya hanya untuk memperebutkan posisi atau
jabatan tertentu.
Nah, apabila
individualisme berfokus pada identitas personal seseorang, berbeda halnya
dengan kolektivisme. Kolektivisme melihat keluar diri
senidiri. Kolektivisme adalah penekanan pada tujuan kelompok dibandingkan
tujuan individu, kewajiban kelompok dibandingkan hak individu dan kebutuhan
kelompok dibandingkan kebutuhan pribadi. Kolektivisme adalah identitas dengan
kata “Kita”.
Orang-orang di dalam
budaya kolektivisme menganggap penting apabila berkerja sama,
memandang diri mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Masyarakat
kolektivistisme mementingkan keterlibatan, harapan dan hubungan yang baik
dengan rekannya didalam suatu kelompok atau komunitas tertentu. Beberapa nilai
kolektivisme diantaranya adalah menekankan keselarasan, menghargai keinginan
orang tua, dan pemenuhan kebutuhan orang lain.
Lantas apakah makna
dibalik keduanya? Meski pada dasarnya mungkin bagi penganutnya dipandang
bertujuan positif dengan caranya masing-masing, namun secara politis keduanya
memiliki perbedaan.
Dari asal muasalnya saja
pandangan individualisme yang lahir dan berkembang di masyarakat
Barat berasal dari pandangan serta keyakinan bahwa Tuhan menciptakan
setiap manusia setara. Manusia bisa saja tidak setara dari sisi atribut duniawi
seperti kekayaan (strata ekonomi), pendidikan, jabatan dan sebagainya. Namun
secara moral setiap orang adalah sejajar di hadapan Tuhan. Si A bisa saja lebih
kaya atau lebih berpendidikan dari si B, namun bukan berarti bahwa si B lebih
rendah atau perlu merendahkan diri di hadapan si A. Dengan landasan tersebut
maka setiap orang memiliki kesamaan hak yang wajib dilindungi oleh pemerintah
karena pemerintah merupakan pihak yang diberi mandat oleh Tuhan. Setiap individu
bebas mengekspresikan dirinya, melakukan pencapaian dengan cara dan
penilaiannya masing-masing selama tidak merugikan hak individu lainnya.
Lalu bagaimana dengan
kolektivisme? Kolektivisme memandang bahwa individu pada dasarnya tidak
memiliki hak atas dirinya sendiri. Tingkah laku, keputusan dan sebagainya
diatur serta ditentukan oleh kelompok. Demi kelompoknya pengorbanan individu
dipandang sebagai sebuah kewajaran dan bahkan kewajiban. Karena itu jika
individu dalam masyarakat penganut paham kolektivisme mencoba melakukan
terobosan, atau menempuh cara berbeda, maka dengan cepat dan mudah dirinya akan
dianggap sebagai pemberontak. Individu tidak memiliki hak untuk menikmati
sesuatu kecuali apabila kelompok atau masyarakat dimana ia berada menganggap
kenikmatan tersebut layak dinikmatinya. Demikian pula individu tidak
diperkenankan melakukan pencapaian-pencapaian tertentu dengan cara-cara
tertentu menurut dirinya sendiri kecuali sudah disetujui oleh kelompoknya.
Meskipun
memiliki banyak sisi positif, kolektivisme juga memiliki sisi negatif. Nampak
jelas yang terjadi di negara kita, seorang kolektivis cendrung kurang
responsif, enggan bersaing dengan orang lain, selalu bergantung pada intruksi
seorang figur panutan, dan kurang terampil mengelola konflik.
Tidak
hanya itu saja, kolektivisme juga mampu menyuburkan korupsi berjama’ah. Seorang
kolektivisme cendrung mengangkat orang yang memiliki hubungan kekerabatan
(politik hierarki) untuk menduduki suatu jabatan, meskipun integritas dan
kapasitas orang yang bersangkutan diragukan. Itulah beberapa contoh dampak
negatif dari penganut kolektivisme. Menurut ilmuan lintas budaya,
individualisme dianggap penting di Amerika Serikat, selain itu ada
Australia, Inggris, Kanada, Belanda, Selindia Baru, Italia, Belgia dan Denmark
juga dianggap negara yang menganut individualisme.
Banyak sekali contoh
perilaku atau sikap yang menunjukkan bahwa masyarakat di negara tersebut
menganut individualisme. Seperti di negara Amerika, orang-orangnya
mengembangkan relasi dalam pekerjaannya semata-mata hanya untuk kepentingan
pribadi, mereka fokus terhadap pekerjaannya, dengan tidak menghiraukan
rekannya, mereka berteman hanya sebatas rekan kerja, tidak melanjutkan
silaturrahmi diluar pekerjaan mereka. Mereka juga bekerja keras untuk mencapai
jabatan tertinggi, dan tak segan untuk bersaing ketat untuk memperebutkan posisi
tertentu, tanpa memikirkan orang lain.
Di negara-negara Barat,
pada saat mereka mau menikah, mereka menganggapnya sebagai urusan pribadi dan
tidak perlu untuk melibatkan keluarga atau orang-orang disekitarnya. Keputusan
dan kebijakan yang mereka ambil jarang sekali mempertimbangkan individu yang
lain, mereka hanya memikirkan dampak atau efek untuk diri mereka sendiri.
Sedangkan
untuk negara-negara yang menganut kolektivisme meliputi Indonesia, China,
Vietnam, Kolumbia, Venezuela, Panama, Meksiko, Ekuador, dan Guatemala.
Negara-negara ini umumnya miskin, bahkan beberapa kemiskinan yang paling parah
ditemukan di negara-negara kategori budaya kolektivisme. Karenanya orang-orang
di beberapa budaya ini lebih tidak dituntun oleh aturan dan berfungsi sebagai
kelompok lebih karena kebutuhan fisik dan ekonomi. Namun sebagian negara
yang paham akan agama, mereka diwajibakan untuk memiliki rasa peduli,
tolong-menolong, dan bersilaturrahmi dengan saudara yang
lain.
Dalam berorganisasi
di Cina, mereka menggunakan kata “kami“ dalam berkomunikasi. Di dalam
perusahaan, loyalitas dan keharmonisan antar karyawan sangat terjaga sehingga
bentrokan pribadi dapat dihindari. Di negara-negara timur, khususnya Indonesia,
hubungan antar karyawan dalam suatu pekerjaan tidak hanya didalam kantor saja,
melainkan mempunyai hubungan yang kental seperti persaudaraan, mereka tetap
menjalin hubungan meskipun diluar kantor. Kemudian apabila seseorang ingin
menikah, maka pasangan itu harus melibatkan seluruh sanak keluaranya, baik
dalam hal persiapan maupun persetujuan, namun jika hal ini tidak dilakukan,
maka akan banyak pihak yang mengklaim atas tindakan tersebut.
Perilaku
penganut kolektivisme juga sangat berbeda dengan kaun penganut individualistik,
contohnya saja di Indonesia, kita memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan
pak, bu, mas, mbak, abang atau kakak. Sedangkan orang barat hanya memakai kata
“you”. Kemudian pada saat melewati orang yang lebih tua, orang ketimuran merasa
segan dan menghormatinya, dengan cara menunduk kebawah, yang hal itu tidak
dilakukan oleh orang barat, mereka menganggap sama semua kalangan, tanpa ada
perbedaan dalam segi penghormatan.
Namun
sangat disayangkan, jika di negara Indonesia seperti kota Jakarta, yang secara
perlahan nilai kolektivisme dari masyarakatnya sedikit demi sedikit mulai
luntur, mereka terbawa arus budaya luar yang menekankan sikap acuh tak acuh
terhadap sesama. Sikap individualisme seperti ini muncul akibat beberapa faktor,
seperti pengaruh teman, kesibukan individu, malas berinteraksi, dan sebagainya.
Bahkan faktor lain mengungkapkan adanya smartphone atau media sosial bisa
mempengaruhi seseorang ke arah individualisme, karena dianggap lalai dan asik
berinteraksi melalui dunia maya, hingga mengabaikan orang disekitarnya.
Namun
bagaimana di Aceh? Kota yang dijuluki dengan kota Serambi Mekah ini? Pastinya
masyarakat Aceh menganut paham kolektivisme, karena Aceh dianggap sebuah kota
yang kental akan keislamannya. Seperti firman Allah didalam Quran surat
An-Nisa’ ayat 1 berikut ini :
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Ayat diatas memerintahkan kita untuk selalu menjalin hubungan
baik terhadap sesama. Senantiasa untuk menolong dan bekerja sama, dan selalu
menjaga silaturrahim dengan saudara seiman. Sehingga secara tidak langsung kita
dipaksa untuk memegang teguh sikap kolektivisme.
Di Aceh sendiri, kita bisa melihat bahwa rata-rata penduduknya
menganut sistem kolektivisme, karena eratnya hubungan sesama muslim, baik
hubungan dengan orang tua, keluarga, tetangga,kerabat dan bahkan orang yang tak
dikenal sekalipun.
Surah Al-Kautsar dan Surat Al-Ma’un adalah dua surat yang juga
memerintahkan kaum muslimin untuk peduli terhadap masyarakat. Dalam kedua surat
ini menegaskan tentang ajaran islam yang sangat mendorong umatnya peduli
terhadap lingkungan sosialnya.
Dalam surat Al-Kautsar,
Allah menyejajarkan perintah shalat dan berkurban. Shalat adalah ibadah yang
sangat penting kedudukannya dalam ajaran islam sehingga selama hayat masih
dikandung badan, tak sekalipun Muslim boleh meninggalkan shalat. Sedangkan
berkurban adalah ibadah yang bernilai sosial tinggi. Dengan berkurban, kaum
Muslimin yang mampu dapat berbagi nikmat yang diperolehnya dengan
saudara-saudaranya kaum Muslimin yang kurang mampu. Dengan menyejajarkan
perintah shalat dan berkurban artinya Allah menegaskan bahwa betapa pentingnya
perintah berkurban untuk dilaksanakan oleh kaum Muslimin yang mampu.
Dalam surat Al-Ma’un,
Allah menyebutkan bahwa para pendusta agama adalah mereka yang walaupun shalat
tetapi lalai dan pamrih terhadap manusia. Yang termasuk pendusta agama disini
adalah mereka yang bersikap dzalim terhadap anak yatim dan tidak
peduli kepada kaum kafir miskin. Mereka bersikap kasar dan menyakiti hati
anak-anak yatim serta tak mau peduli kepada kafir miskin yang kelaparan dan
kehausan.
Kedua
surah ini memang memerintahkan kita untuk peduli terhadap limgkungan sosial.
Namun bagi penganut kedua paham inividualisme dan kolektivisme, mereka punya
cara pandang berbeda dan kelebihan masing-masing. Bagi orang Indonesia mungkin
menyapa seseorang mungkin suatu bentuk keramah-tamahan, namun belum tentu bagi
orang Amerika mungkin itu bisa dimaknai hal yang mengganggu.
Tak
dipungkiri bahwa perbedaan penganut individualisme dan kolektivisme ini acap
kali menimbulkan konflik didalam masyarakat. Selama komunikasi antarbudaya
terjadi diantara mereka, gaya yang berlawanan ini dapat menimbulkan
kebingungan, kesalahpahaman, atau bahkan kebencian di antara pelaku komunikasi.
Semoga saja perbedaan ini menjadi pembelajaran bagi seluruh masyarakat,dan bisa
saling memahami dari segala sisi perbedaan yang ada. Dan penulis sangat
berharap agar setiap insan bisa meleburkan sisi individualisme dalam dirinya,
karena sejatinya hal tersebut akan berdampak buruk bagi dirinya, dan tentu
penganut individualisme ini tidak termasuk manusia yang dicintai Allah
SWT. [Ulfa Mudhia]/Tek
Baca Juga: