“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan
kepada kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum
kamu, mudah-mudahan kamu bertaqwa”.
Dari firman ini diketahui bahwa puasa telah diperintahkan kepada
umat terdahulu sebelum umat Muhammad SAW.
Ritual puasa sejak umat terdahulu mengindikasikan puasa merupakan
suatu kebutuhan bagi manusia. Allah mengatakan bahwa dengan berpuasa derajat
taqwa akan diraih orang yang beriman. Sementara puasa itu sendiri menuntut pengendalian
terhadap hawa nafsu luar dan dalam, fisik dan rohani. Maka dengan pengendalian
diri demikian ketaqwaan baru dapat digapai.
Puasa merupakan ibadah badaniyah sekaligus batiniah. Puasa bukan
sekedar menahan diri dari makan dan
minum namun kualitas puasa justeru sangat ditentukan oleh sejauh mana seseorang
mampu menjaga lisan dan perbuatan sampai ke hati dari berbuat sia-sia dan
dosa.
Saat berpuasa kita sangat dianjurkan
menjaga lisan, perilaku bahkan hati pun harus dikendalikan sedemikian rupa.
Pada tahap ini seseorang dididik oleh Allah untuk berakhlak mulia kepada diri sendiri dan orang lain. Manusia harus mengatur harmonisasi terhadap
diri sendiri dan orang alain. Dengan begini kehidupan yang damai dan harmonis
akan terbina di tengah masyarakat.
Puasa diklasifikasikan dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa
awam, pada level ini seseorang sekedar melepaskan kewajiban untuk tidak makan-minum,
muntah dengan sengaja dan berjima’ di siang hari. Kedua, puasa khawas,
puasa para muttaqin dan shalihin. Ketiga, puasa tingkatan
khawasul khawas. Puasa para muqarrabin dan ‘arifin.
Level ketiga merupakan
gabungan dari dua tingkatan diatas dan ditambah dengan menahan diri dari
memikirkan segala yang melalaikan daripada mengingat Allah. Setiap mukmin mesti
berhajat kepada derajat tertinggi ini.
Pada saat bepuasa terjadi interaksi yang semakin dekat antara hamba
dengan Allah. Rupanya kedekatan dan kesempurnaan seorang hamba dengan Khaliqnya
justeru disaat manusia mampu mengendalikan hawa nafsu baik dari semua kekejian
dan kemungkaran sampai yang halal sekalipun patut ditempuh oleh hamba.
Bukan hanya kesehatan seseorang sering menjadi lebih baik karena
berpuasa bahkan puasa telah membantu orang-orang untuk lebih sehat secara mental. Mulai
tingkatan puasa kedua dan ketiga diatas seseorang harus membiasakan diri
berpikir positif dalam arti luas.Terlebih pada level ketiga semua jiwa raga
senantiasa tertuju kepada Allah. Allah menjadi tumpuan dan tujuan semua
aktivitas hamba. Totalitas penyembahan diri terhadap Sang Khalik tercurah
disini. Ketaatan hamba menjadi begitu mudah tergambar.
Puasa merupakan kebutuhan jasmaniah dan spiritualitas manusia. Pengendalian dari makan-minum di
siang hari saat manusia beraktivitas mengisyaratkan
bahwa manusia tidak membutuhkan banyak makan dan minum dalam kehidupannya walau sarat
dengan aktivitas.
Sebagai ilustrasi ketika perang Badar
berlangsung dengan kemenangan dipihak umat Islam, justeru terjadi di bulan
Ramadhan. Prajurit-prajurit Muslim mampu menghadang musuh dengan perut kosong. Alih-alih makan
dan minum untuk kesehatan, realitasnya orang yang berorientasi kepada makanan
melulu sering dihinggapi oleh berbagai penyakit.
Di antara hikmah lain puasa bagi mukmin adalah dapat menghargai
waktu. Jika telah tiba waktunya orang berpuasa sunat menyegerakan untuk berbuka. Begitu pula sunat makan sahur dan lebih utama
mengakhirkannya. Anjuran agar menyegerakan berbuka
dan mengakhirkan sahur bermakna ajaran Islam mengatur pemanfaatan waktu
sekalipun mengenai dua hal tadi. Artinya dimensi waktu menjadi bagian penting dalam
ramadhan untuk mematri kedisiplinan.
Di samping menempa aspek individualitas puasa juga mengasah apek sosialita.
Ketika
berpuasa dianjurkan untuk memperbanyak ibadah lain seperti bersedekah.
Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan, sampai digambarkan lebih cepat dari angin
yang berhembus. Ini mengisyaratkan bahwa Ramadhan merupakan bulan
solidaritas, simpati, belas kasih. Jalur strategis dan efektif untuk
meningkatkan keshalehan sosial.
Pada dimensi individualitas ibadah puasa
bersifat sangat rahasia antara hamba dan Allah. Berbeda dengan ritual ibadah
lainnya seperti shalat, zakat, haji dan sebagainya, dapat diketahui pengamalannya
oleh orang lain. Puasa tidak mempunyai tanda-tanda khusus bagi pelakunya.
Setetes air begitu mudah langsung dapat direguk seseorang seperti saat wudhuk tanpa diketahui oleh
siapapun walau berdampingan dengan orang lain. Bisa makan dan minum bila tidak
disaksikan orang lain. Namun keimanan membuat orang berpuasa tak sedikitpun mau
melakukannya.
Kepatuhan dalam menjaga kualitas puasa hanya diketahui antara hamba
dan Allah Taala. Allah sendiri mengatakan bahwa Dialah yang akan membalas langsung pahala puasa kepada hamba. Hal ini
mendidik orang beriman agar senantiasa jujur dalam beramal baik saat sendiri
maupun dihadapan orang lain. Ternyata puasa dapat meningkatkan ihsan seseorang.
Ihsan merupakan karakter yang sangat penting untuk mencapai derajat
taqwa. Karakter ihsan mengendalikan insan dari sifat kemunafikan, seperti
kepura-puraan dalam beramal. Seorang Muhsin akan beribadah sepanjang
waktu, baik dikesendirian maupun dikeramaian. Ia meyakini selalu bahwa Allah
SWT. Senantiasa memperhatikannya kapanpun
dimanapun dalam keadaan bagaimanapun. Sehingga tidak menyetel ibadah secara
kuantitas maupu kualitas karena riya dan sum’ah. Jika jiwa ihsan
tidak ada pada seorang yang berpuasa maka sulit ia menjalani puasa dengan
ikhlas.
Allah Swt. menciptakan manusia
dengan qadar tertentu sesuai dengan keberadaan dan kebutuhan manusia itu
sendiri. Manusia diperintahkan menyembah Allah dengan beribadah kepada-Nya.
Semua ibadah berupa kewajiban yang
diperintahkan Allah kepada manusia pada hakikatnya
untuk kebaikan manusia itu sendiri. Allah tidak berhajat dan tidak mengambil
keuntungan sedikitpun dari syariat yang dibebankan kepada hamba-Nya, salah
satunya adalah puasa di bulan Ramadhan.
Oleh Anita T.Iskandariata
*Penulis adalah Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.