![]() |
Teuku Alfin Aulia. (Foto: Ist) |
Oleh: Teuku Alfin Aulia (Founder Halaqah Aneuk Bangsa; Mahasiswa Ilmu Politik, Al-Azhar, Kairo).
Indonesia bergolak. Dentuman amarah rakyat menggema dari kota besar hingga pelosok, memuncak dalam aksi pembakaran kantor DPRD di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pemicunya jelas: kenaikan tunjangan anggota DPR-RI yang dianggap tak tahu malu, ditambah ulah segelintir wakil rakyat yang memamerkan arogansi kekuasaan. Tuntutan pembubaran DPR bergema kencang. Tapi, membubarkan DPR bukan jawaban. Saatnya kita bicara revolusi yang sesungguhnya: mengganti total komposisi DPR-RI!
Mengapa bertahan dengan DPR? Lembaga ini ibarat jantung demokrasi kita. Ia penjaga mekanisme checks and balances yang vital. Tanpanya, vacuum of power menganga lebar, membuka pintu bagi otoritarianisme. Persoalan mendasarnya bukan pada eksistensinya, melainkan pada krisis legitimasi yang akut. Rakyat tak lagi percaya, dan mempertanyakan dengan pedih: Siapa sesungguhnya yang diwakili para anggota dewan ini? Apakah mereka Wakil Rakyat, atau sekadar mesin stempel partai?
Kasus Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto atau dikenal sebagai Bambang Pacul, menelanjangi borok sistem ini. Terang-terangan ia mengaku tak berani mengesahkan dua RUU krusial – RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal – tanpa aba-aba dari “Ibu”. Ini bukan sekadar kebimbangan seorang anggota. Ini bukti nyata penyakit sistemik yang menggerogoti representasi rakyat. Praktik “pasal titipan partai” menjadi ritual memalukan yang dianggap lumrah, seolah wajar disetujui tanpa pertimbangan. Loyalitas buta pada partai mengalahkan akuntabilitas kepada pemilih. DPR pun bergeser wujud, dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Dewan Perwakilan Partai (DPP).
Ironinya, oligarki ini diperkuat oleh kenyataan pahit: jabatan fungsional dalam pemerintahan bisa berakhir, namun takhta ketua partai justru menjelma menjadi kerajaan mini. Dipegang oleh satu orang secara turun-temurun, demi alasan “menjaga ideologi partai” yang seringkali hanyalah kedok untuk melanggengkan kekuasaan keluarga. Ketika anggota dewan menjadi pion yang bergerak atas perintah “ibu” di dalam partainya, bukan atas desakan rakyat di dapilnya, maka hakikat demokrasi kita sungguh terluka. Suara siapa yang sesungguhnya mereka bawa ke Senayan?
Oleh karena itu, solusi konkretnya bukanlah pembubaran yang kontraproduktif, melainkan revolusi besar-besaran pada sistem rekrutmen anggota DPR. Sistem saat ini, yang mengistimewakan jalur partai, telah terperangkap dalam jerat kepentingan elit politik. Sudah saatnya pintu dibuka lebar-lebar bagi calon independen untuk maju! Ini bukan hanya jalan alternatif, tapi kebutuhan mendesak agar suara rakyat tidak lagi disalurkan melalui “perantara” yang lebih taat pada komando partai daripada hati nurani dan aspirasi konstituen. Selain itu, praktik dinasti politik harus dipangkas tegas. Jabatan ketua partai wajib memiliki batas periode yang jelas. Ideologi partai tidak boleh dibajak menjadi legitimasi untuk mewariskan kekuasaan bak kerajaan feodal.
Di titik inilah, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi ujian nyata bagi sisa kredibilitas DPR saat ini. RUU ini bukan sekadar instrumen hukum, melainkan simbol nyata komitmen dalam pemberantasan korupsi dan tegaknya keadilan. Jika anggota Dewan, seperti Bambang Pacul, masih gemetar dan takut mengesahkannya hanya karena "belum ada perintah" dari pusat partai, maka itulah bukti terakhir bahwa lembaga ini telah kehilangan nyali dan jati dirinya. Sikap ragu-ragu mereka menjadi tanda kematian representasi rakyat.
Tuntutan rakyat sudah jelas dan mendesak: Sahkan segera RUU Perampasan Aset! Ubah sistem pemilihan DPR dengan memberikan ruang yang setara bagi independen! Hentikan praktek dinasti politik yang menggerogoti demokrasi dari dalam! DPR-RI bukanlah musuh yang harus dimusnahkan. Ia adalah proyek besar demokrasi yang harus direbut kembali oleh kedaulatan rakyat. Mari kita bongkar menara gading tempat partai-partai berkonsolidasi demi kepentingan segelintir elit. Mari isi kursi-kursi legislatif Senayan dengan wajah-wajah baru yang berani dan merakyat, yang hanya mengenal kata "takut" pada satu hal: rakyat yang mempercayakan nasib bangsa di pundak mereka. Saatnya revolusi komposisi, untuk menyelamatkan sisa demokrasi
Tulisan opini menjadi tanggung jawab penulis .