Iklan

Iklan

Mata Hu Sue Meu Taga, Sejarah Khas Pemimpin Meureudu

4/28/17, 12:13 WIB Last Updated 2020-10-16T13:45:58Z
Foto : Google

MEUREUDU nama kota dari Kabupaten Pidie Jaya, Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam peraturan politik Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke Semenanjung Malaka. 

Ia mengangkat Malem dagang dari Negeri Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Japakeh juga putra Meureudu sebagai penasehat perang, mendampingi panglima Malem Dagang. Para panglima asal Negeri Meureudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya kadang terbelalak (kalau sedang marah), maka orang-orang dari Meureudu dikenal sebagai orang yang “mata hu su meutaga”, yakni mata terbelalak dan bersuara keras. 

Hal ini secara historis menjadi karakter masyarakat di Negeri Meureudu yang bersikap tegas, disiplin, dan konsekuen.

Meskipun secara bahasa, orang Meureudu mata hu su meutaga ini bisa ditafsir sebagai karakter pemarah, emosional, mudah tersinggung, bahkan bengis atau semacam memiliki sifar yang menakutkan. 

Sebab secara bahasa, mata hu su meu taga jelas sikap emosional yang sudah di luar control. Dasar sejarahnya, bukan berarti orang Meureudu berkarakter galak, berwatak keras, atau masyarakat yang mudah marah, melainkan pada ketegasan sikap, displin, serius, dan tidak main-main dalam setiap pengambilan keputusan dalam kepemimpinan, sejauh keputusan itu untuk kebenaran dan kemeslahatan orang banyak.

Nah, sejarah Kesultanan Aceh, belum pernah ada orang yang berani menantang Sultan, kecuali orang Meureudu, yaitu Tgk, Japakeh yang berani menantang Sultan Iskandar Muda karena tidak konsekuen pada janjinya ketika Sultan datang ke Meureudu untuk mengangkat Tgk Japakeh sebagai konsultan (penasihat) perang pada waktu Iskandar Muda hendak menaklukkan Johor dan Malaka.

Tgk. Japakeh pertama datang ke Meuredu menetap di Rawue. Rawue ini satu pemukiman awal di Meureudu yang dibangun oleh Meurah Dua di lembah pucuk sungai Meureudu yang kemudian diberi nama kampung Rawue. Sekarang letaknya sekitar 40 kilometer arah Selatan Kota Meureudu dan sangat berdekatan dengan Aceh Barat, karena Rawue ini termasuk wilayah perbatasan antara Kabupaten Pidie dan Aceh Barat. 

Ketika Sultan Iskandar Muda hendak datang ke Meureudu pada hari yang telah ditentukan, semua rakyat dari Rawue yang dipimpin Tgk Japakeh turun dengan segala bawaan hasil pertanian untuk menyambut kedatangan Sultan. Namun setelah beberapa hari mereka menungu di Meureudu, Sultan tak kunjung datang. 

Akhirnya Tgk Japakeh bersama rakyat kembali ke Rawue. Sehingga begitu Sultan Iskandar Muda tiba di Meureudu tidak seorang rakyat pun yang menyambutnya. Sultan marah besar pada rakyat Meureudu dan Tgk Japakeh karena tak ada yang menyambut kedatangannya. Hingga Sultan mengirim utusan ke Rawue memberitahu bahwa Sultan sudah tujuh hari tiba di Meureudu dan tak seorang pun yang menyambutnya.

Maka dengan penuh sesal rakyat pun terpaksa turun kembali dari Rawue ke Meureudu untuk menemui Sultan Iskandar Muda dengan segala bawaan hasil pertaniannya yang akan dipersembahkan kepada Sultan dan rombongannya.

Begitu sampai di Meureudu, Tgk Japakeh langsung menghadap Sultan Iskandar Muda dan meminta maaf atas keterlambatan rakyat Meureudu menyambut kedatangannya. Tapi permintaan maaf Tgk Japakeh ini malah disambut oleh Sultan dengan kemarahan, bahkan segala persembahan hasil pertanian rakyat Meureudu tidak mau diterima oleh Sultan Iskandar Muda. 

Melihat gelagat Sultan demikian, Tgk Japakeh pun marah.“Daulat Tuanku jangan seenaknya menyalahkan kami. Ini semua kesalahan Paduka Mulia, yang tidak konsekuen pada janji kedatangannya. Tuanku bilang seminggu yang lalu akan datang ke Meureudu. Tapi setelah beberapa hari kami tunggu dengan segala persiapan penyambutan, Paduka Yang Mulia tidak kunjung tiba. Sekarang Daulat Tuanku datang marah-marah dan menyalahi kami,” tukas Tgk Japakeh menantang Sultan Iskandar Muda. 

Sangking marahnya Tgk Japakeh di hadapan Sultan, Japekeh menyuruh rakyat Meureudu untuk mengambil kembali semua barang bawaan hasil pertanian yang ingin dipersembahkan kepada Sultan agar diambil kembali: 

“Kacok boh gadong ngen boh birah, ureung han ek muntah darah bek kapumeulia," 

suruh Tgk Japakeh pada semua rakyat Meureudu. (yang maksudnya, ambil kembali semua ubi, gadung, dan talas untuk kita bawa pulang semua. Karena tiada guna kita memuliakan orang yang tidak mau menerima hormat kita). 

Mendengar perkataan Japakeh yang demikian marah, Sultan Iskandar Muda pun menyadari kesalahannya. Sehingga baginda Sultan membujuk Tgk Japakeh dan rakyat Meureudu untuk tidak kembali ke Rawue, dan semua barang persembahan hasil pertanian rakyat Meureudu ketika itu diterima Sultan dengan senang hati.

Setelah kedua belah pihak sudah saling memaafkan, dalam pembicaraan Tgk Japakeh dengan Sultan Iskandar Muda, Sultan bertanya pada Japakeh: 

“Mengapa orang negeri Meureudu ini keras kepala, dan berani menentangku dengan mata hu su mentaga?”. 

“Ampun Duli Tuanku Sultan, bukanlah orang Meureudu ini yang keras kepala, akan tetapi Duli Tuanku jualah yang salah dan khilaf, karena tidak tepat pada janjinya,” jawab Tgk Japakeh. 

Dialog itu mengisyaratkan, karakter orang Meuruedu sebagai masyarakat mata hu su meutaga sudah dicap sejak zaman Sultan Iskandar Muda Namun sesungguhnya, bukan makna masyarakatnya pemberang, melainkan lebih pada sikap tegas dan serius. Bila ada yang menyalahi aturan yang telah disepakati bagi orang Meureudu tak ada alasan untuk tidak ditantang, tak kecuali apakah itu Sultan atau rakyat biasa.

Ternyata, karakter mata hu su meutaga ini juga melekat pada Mustafa Abu bakar sebagai orang Meureudu ketika memimpin Aceh sebagai penanggung jawab Gubernur (tahun 2006). Setahun ia memimpin, sampai saat ini masih dipuji banyak orang. Karakter ini kadang juga kumat pada Bupati Gade Salam, putra Meureudu yang sekarang jadi bupati Pidie Jaya. 

Dalam beberapa hal, sikap Bupati Gade Salam dianggap sangat arogan. Namun sisi lain itulah karakter yang diwariskan ulama besar Tgk Japakeh yang selalu tegas dan tidak main-main dengan aturan kepemimpinan yang telah disepakati.

Sampai sekarang masyarakat sangat mengharapkan bupati Pidie Jaya Aiyub Abbas agar berjiwa seperti julukan untuk orang Meureudu mata hu su meutaga, agar semua warga bisa hidup kembali normal setelah bencana gempa dan dengan berkat bantuan dari seluruh dunia, bangunan-bangunan dapat berdiri kembali.[Juliati Uly]/ Dhi
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Mata Hu Sue Meu Taga, Sejarah Khas Pemimpin Meureudu

Terkini

Topik Populer

Iklan