Foto : Google
MEUREUDU nama kota dari Kabupaten Pidie Jaya, Peranan
Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam peraturan politik Pemerintahan
Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan
(ekspansi) ke Semenanjung Malaka.
Ia mengangkat Malem dagang dari Negeri
Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Japakeh juga putra Meureudu
sebagai penasehat perang, mendampingi panglima Malem Dagang. Para panglima asal
Negeri Meureudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya
kadang terbelalak (kalau sedang marah), maka orang-orang dari Meureudu dikenal
sebagai orang yang “mata hu su meutaga”, yakni mata terbelalak
dan bersuara keras.
Hal ini secara historis menjadi karakter masyarakat
di Negeri Meureudu yang bersikap tegas, disiplin, dan konsekuen.
Meskipun secara bahasa, orang Meureudu mata hu su
meutaga ini bisa ditafsir sebagai karakter pemarah, emosional, mudah
tersinggung, bahkan bengis atau semacam memiliki sifar yang menakutkan.
Sebab
secara bahasa, mata hu su meu taga jelas sikap emosional yang sudah di luar
control. Dasar sejarahnya, bukan berarti orang Meureudu berkarakter galak,
berwatak keras, atau masyarakat yang mudah marah, melainkan pada ketegasan
sikap, displin, serius, dan tidak main-main dalam setiap pengambilan keputusan
dalam kepemimpinan, sejauh keputusan itu untuk kebenaran dan kemeslahatan orang
banyak.
Nah, sejarah Kesultanan Aceh, belum pernah ada orang
yang berani menantang Sultan, kecuali orang Meureudu, yaitu Tgk, Japakeh yang
berani menantang Sultan Iskandar Muda karena tidak konsekuen pada janjinya
ketika Sultan datang ke Meureudu untuk mengangkat Tgk Japakeh sebagai konsultan
(penasihat) perang pada waktu Iskandar Muda hendak menaklukkan Johor dan
Malaka.
Tgk. Japakeh pertama datang ke Meuredu menetap di Rawue. Rawue ini satu
pemukiman awal di Meureudu yang dibangun oleh Meurah Dua di lembah pucuk sungai
Meureudu yang kemudian diberi nama kampung Rawue. Sekarang letaknya sekitar 40
kilometer arah Selatan Kota Meureudu dan sangat berdekatan dengan Aceh Barat,
karena Rawue ini termasuk wilayah perbatasan antara Kabupaten Pidie dan Aceh
Barat.
Ketika Sultan Iskandar Muda hendak datang ke Meureudu
pada hari yang telah ditentukan, semua rakyat dari Rawue yang dipimpin Tgk
Japakeh turun dengan segala bawaan hasil pertanian untuk menyambut kedatangan
Sultan. Namun setelah beberapa hari mereka menungu di Meureudu, Sultan tak
kunjung datang.
Akhirnya Tgk Japakeh bersama rakyat kembali ke Rawue. Sehingga
begitu Sultan Iskandar Muda tiba di Meureudu tidak seorang rakyat pun yang
menyambutnya. Sultan marah besar pada rakyat Meureudu dan Tgk Japakeh karena
tak ada yang menyambut kedatangannya. Hingga Sultan mengirim utusan ke Rawue
memberitahu bahwa Sultan sudah tujuh hari tiba di Meureudu dan tak seorang pun
yang menyambutnya.
Maka dengan penuh sesal rakyat pun terpaksa turun
kembali dari Rawue ke Meureudu untuk menemui Sultan Iskandar Muda dengan segala
bawaan hasil pertaniannya yang akan dipersembahkan kepada Sultan dan
rombongannya.
Begitu sampai di Meureudu, Tgk Japakeh langsung menghadap Sultan
Iskandar Muda dan meminta maaf atas keterlambatan rakyat Meureudu menyambut
kedatangannya. Tapi permintaan maaf Tgk Japakeh ini malah disambut oleh Sultan
dengan kemarahan, bahkan segala persembahan hasil pertanian rakyat Meureudu tidak mau diterima oleh Sultan Iskandar Muda.
Melihat gelagat Sultan demikian,
Tgk Japakeh pun marah.“Daulat Tuanku jangan seenaknya menyalahkan kami. Ini
semua kesalahan Paduka Mulia, yang tidak konsekuen pada janji kedatangannya. Tuanku
bilang seminggu yang lalu akan datang ke Meureudu. Tapi setelah beberapa
hari kami tunggu dengan segala persiapan penyambutan, Paduka Yang Mulia tidak
kunjung tiba. Sekarang Daulat Tuanku datang marah-marah dan
menyalahi kami,” tukas Tgk Japakeh menantang Sultan Iskandar Muda.
Sangking
marahnya Tgk Japakeh di hadapan Sultan, Japekeh menyuruh rakyat Meureudu untuk
mengambil kembali semua barang bawaan hasil pertanian yang ingin dipersembahkan
kepada Sultan agar diambil kembali:
“Kacok boh gadong ngen boh birah, ureung
han ek muntah darah bek kapumeulia,"
suruh Tgk Japakeh pada semua rakyat Meureudu.
(yang maksudnya, ambil kembali semua ubi, gadung, dan talas untuk kita bawa
pulang semua. Karena tiada guna kita memuliakan orang yang tidak mau menerima
hormat kita).
Mendengar perkataan Japakeh yang demikian marah, Sultan Iskandar
Muda pun menyadari kesalahannya. Sehingga baginda Sultan membujuk Tgk Japakeh
dan rakyat Meureudu untuk tidak kembali ke Rawue, dan semua barang persembahan
hasil pertanian rakyat Meureudu ketika itu diterima Sultan dengan senang hati.
Setelah kedua belah pihak sudah saling memaafkan, dalam pembicaraan Tgk Japakeh dengan Sultan Iskandar Muda, Sultan bertanya pada
Japakeh:
“Mengapa orang negeri Meureudu ini keras kepala, dan berani
menentangku dengan mata hu su mentaga?”.
“Ampun Duli Tuanku Sultan, bukanlah
orang Meureudu ini yang keras kepala, akan tetapi Duli Tuanku jualah yang salah
dan khilaf, karena tidak tepat pada janjinya,” jawab Tgk Japakeh.
Dialog itu
mengisyaratkan, karakter orang Meuruedu sebagai masyarakat mata hu su meutaga
sudah dicap sejak zaman Sultan Iskandar Muda Namun sesungguhnya, bukan makna
masyarakatnya pemberang, melainkan lebih pada sikap tegas dan serius. Bila ada
yang menyalahi aturan yang telah disepakati bagi orang Meureudu tak ada alasan
untuk tidak ditantang, tak kecuali apakah itu Sultan atau rakyat
biasa.
Ternyata, karakter mata hu su meutaga ini juga melekat pada Mustafa
Abu bakar sebagai orang Meureudu ketika memimpin Aceh sebagai penanggung jawab Gubernur
(tahun 2006). Setahun ia memimpin, sampai saat ini masih dipuji banyak
orang. Karakter ini kadang juga kumat pada Bupati Gade Salam, putra Meureudu
yang sekarang jadi bupati Pidie Jaya.
Dalam beberapa hal, sikap Bupati Gade
Salam dianggap sangat arogan. Namun sisi lain itulah karakter yang diwariskan
ulama besar Tgk Japakeh yang selalu tegas dan tidak main-main dengan aturan
kepemimpinan yang telah disepakati.
Sampai sekarang masyarakat sangat
mengharapkan bupati Pidie Jaya Aiyub Abbas agar berjiwa seperti julukan untuk
orang Meureudu mata hu su meutaga, agar semua warga bisa
hidup kembali normal setelah bencana gempa dan dengan berkat bantuan dari
seluruh dunia, bangunan-bangunan dapat berdiri kembali.[Juliati Uly]/
Dhi