wikipedia.org |
BERBICARA tentang sejarah memang tak akan pernah ada bosannya.
Justeru sejarah itu harus tetap dikenang dan dicatat, agar ia menjadi saksi
nyata bukan hanya sebatas kata. Seperti halnya Kota Meulaboh.
Kota ini lahir pada 11 Oktober 1588 M tepat pada kenaikan
tahta Sultan ‘Ala Id-Din Riayat Syah Sayyid Mukammil (1588-1604). Penanggalan
tersebut disesuaikan dengan naskah Bustanus
Salatinfi Zikri al-Awwalin wal Akhirin karya
Nuruddin Ar-Raniry pada masa Sultan Iskandar Tsani (w. 1641 M).
Dalam buku yang ditulis oleh Teuku Dadek dan Hermansyah
yang berjudul Meulaboh
dalam Lintas Sejarah Aceh disebutkan
Bahwa Kepulauan Semenanjung Melayu dan Kepulauan Nusantara
merupakan wilayah yang sangat strategis sepanjang sejarah, hal ini disebabkan
karena terletak di antara Lautan Hindia dan Laut Cina Selatan yang
menghubungkan Negeri-negeri sebelah timur, seperti Cina dan Jepang dengan
negeri-negeri sebelah barat atau biasa dikenal dengan negeri di atas angin, yaitu
Anak benua India, Persia, Jazirah Timur Tengah, Afrika, dan Eropa.
Kepulauan Nusantara, khususnya Aceh yang terletak di ujung
Pulau Sumatera, merupakan satu dari ribuan wilayah penghasil rempah-rempah yang
sangat diminati oleh para pedagang dari timur dan barat.
Sebagian besar hasil alamnya menjadi kebutuhan primer di
negeri-negeri seberang laut. Secara khusus, aceh secara sadar telah memainkan
sebuah peran yang amat penting dalam bisnis dan transaksi perdagangan di
perairan, maka muncullah pelabuhan-pelabuhan transit internasional sebagai
tempat para pedagang melakukan transaksi dan kapalnya singgah dari segenap
penjuru dunia, salah satu destinasinya adalah Meulaboh yang di kenal dengan
Negeri Pasir Karam.
Wilayah pesisir Pantai Barat Aceh ini dahulu di kenal
dengan minimnya informasi jika dibandingkan dengan pesisir pantai belahan Timur
Aceh, seperti Peureulak (Perlak), Pasai, Pidie (Pidir), Lamuri dan sebagainya.
Dalam sebuah karya yang sering bahkan menjadi rujukan banyak orang di Aceh
adalah karya Zainuddin, meskipun sumber yang diungkapkan dari beberapa
Kebudayaan dan cerita Rakyat yang disampaikan secara tradisional melalui
lisan (folklor) atau Asal Usul dan Pemberian Nama
Tempat (tuponim). Menurutnya, Asal mula kata
Meulaboh ini merupakan ungkapan orang Minangkabau yang sebelumnya dinamai
dari Negeri Pasir Karam.
Tidak lepas dari itu semua penamaan untuk kota Aceh Barat,
yaitu Meulaboh di masa silam dengan sebutan “ Negeri Pasir Karam.” Istilah
“Pasir Karam” diakibatkan wilayah tersebut pernah dilanda gempa dan tsunami
tempo dulu, sehingga daerah pesisir pantai karam akibat tsunami dan terjadi
migrasi penduduk dari pesisir tersebut ke pedalaman, lebih jauh dari pinggiran
pantai.
Seiring berjalannya waktu negeri itu kembali dibangun pada
masa Sultan ‘Ala Id- Din Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1588-1604), dan pada
masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu
ditambah pembangunannya.
Sejarah membuktikan bahwa negeri Pantai Barat Aceh ini kaya
akan sumber alamnya, sehingga dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk
mengolah kebun-kebun disana, maka didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh
Besar yang kemudian disusul dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari
dari negerinya akibat perang Padri (1805-1836).
Para perantau dari Minangkabau yang berhasil tiba di Teluk
Pasir Karam itu sepakat untuk berlabuh dan menyebut “Disikolah kita berlaboh”,
kemudian Zainuddin menambahkan, semenjak itulah negeri Pasir Karam dikenal
dengan nama Meulaboh dari asal kata berlaboh. Padahal kata laboh berasal dari bahasa Aceh yang sudah
sering diucapkan oleh masyarakat Aceh sebagai kata kerja yang memiliki arti
membuang, melemparkan, menjatuhkan, jatuh, turun, bergantung rendah.
Di samping itu juga, kata “laboh” sudah dikenal di kalangan
Masyarakat Melayu Nusantara, jauh sebelum julukan itu diberikan oleh Musafir
Minangkabau akibat Perang Padri. Sebagai masyarakat Aceh, kita juga tidak bisa
memungkiri bahwa di tahun 2004 merupakan tahun yang sangat memilukan dan
meneteskan ribuan air mata akibat bencana tsunami yang menerpa wilayah Aceh,
Bahkan beberapa abad yang lalu, khususnya Meulaboh ini juga pernah
beberapa kali dilanda tsunami.
Penelitan yang dilakukan Coastal
progradation Patterns AS A Potential Tool Inseismic Hazard Assement yang di lakukan oleh multi NGO dalam
lembaga riset dari berbagai penjuru dunia, seperti Katrin Monecke, Wellesley
College USA, Willi Finger, Swiss Agency For Development And Cooperation, dan
lainnya, menyimpulkan bahwa “Tsunami pernah terjadi beberapa kali di perairan
Meulaboh (Aceh Barat) denga perkiraan waktu antara tahun yang berbeda, sesuai
dengan ditemukan deposit tanah bekas tsunami.”
Melalui penelitian ilmiah dan lapangan tersebut, maka
semakin mendukung catatan-catatan gempa dalam manuskrip di Aceh, misalnya pada
bulan Februari tepat di tahun 1797 gempang yang berkekuatan 8,4 SR telah
melanda perairan Laut Hindia tepatnya Mentawai dan Padang menimbulkan tsunami
yang melanda pesisir pantai barat Sumatra.
Pada 3 November tahun 1832 gempa besar kedua kalinya. Lima
tahun selanjutnya pada september 1837 pada masa Sultan Muhammad Syah
(1824-1838), Belanda mencatat kembali gempa yang terjadi di wilayah Aceh dan
epicenter di perairan barat Aceh. Pada abad yang sama pula tepatnya pada tahun
1861 terjadi gempa tekntonik di Kota Singkil, yang menghancurkan infrastruktur
Belanda yang dibangun pada tahun 1852. Mungkin, pada tahun inilah yang dimaksud
pasir karam oleh Zainuddin karena terjadi beberapa gempa di perairan Aceh.
Di samping itu pula, terdapat sumber asing menampilkan
banyak referensi baik yang diperoleh dari catatan penjelajah asing di aceh
ataupun dari hasil penelitian akademik. Di kawasan teluk Barat Aceh yang
disebut-sebut dalam Manuskrip Arab, Cina, sebagai pusat perdagangan
penting. Tempat ini juga banyak dikunjungi para pedagang dari belahan bumi
Timur Tengah, Gujarat hingga Asia Tenggara. Salah satu pelabuhan yang disebut
adalah Nalabo, yang
dimaksud Meulaboh.
Augustin De Beaulieu Dalam sebuah perjalanannya ke Aceh dan sumatera pada tahun 1621 menyampaikan bahwa di antara pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di bagian pantai barat Kerajaan Aceh diantaranya yang dikenal dengan sebutan Lab, yang kemudian menjadi nama Meulaboh. [Nurmalasari] /Rzk
Augustin De Beaulieu Dalam sebuah perjalanannya ke Aceh dan sumatera pada tahun 1621 menyampaikan bahwa di antara pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di bagian pantai barat Kerajaan Aceh diantaranya yang dikenal dengan sebutan Lab, yang kemudian menjadi nama Meulaboh. [Nurmalasari] /Rzk