Namrud murka terhadap Nabi Ibrahim yang
tak mengakui bahwa dirinya ialah tuhan, lalu Namrud menghukum Ibrahim dengan
pembakaran.
Di saat Nabi Ibrahim dibakar, seekor
semut membawa setetes air untuk memadamkan api tersebut.
Konstribusi semut untuk memadamkan api
Namrud yang membakar Nabi Ibrahim memang tidak membuahkan hasil.
Manalah mungkin butiran-butiran air yang
dibawa dalam mulut seekor semut mampu memadamkan api yang membara?
Tapi justru karena itu kita menjadi
tahu, bahwa semut sedang memihak yang mana.
Berbeda halnya dengan Cicak. Binatang
melata itu juga berusaha keras untuk meniup api agar membesar.
Tapi apakah mungkin hanya karena tiupan
seekor cicak api menjadi besar? Namun perbuatannya membuat kita tahu bahwa ia
berpihak kepada siapa.
Kisah kedua binatang ini bukanlah
dongeng semata. Kisah ini benar adanya. Akibat konstribusi cicak terhadap
Namrud, binatang ini di juluki binatang yang 'fasik'.
Bahkan Rasulullah menganjurkan untuk
membunuhnya.
"Dari Sa'ad Ibn Abi Waqqash
bahwasanya Nabi Muhammad memerintahkan untuk membunuh cicak. Dan beliau
menamakannya hewan kecil yang gasik." (HR. Muslim)
Besar atau kecil konstribusinya bukan
menjadi ukuran.
Dalam hadis lain Rasulullah menjelaskan
kenapa cicak dikatakan binatang kecil yang fasik.
Perkara cicak dan semutpun menjadi
perkara serius. Karena menyangkut kefasikan dan kebenaran.
"Dahulu ia (cicak) meniup api yang
membakar Nabi Ibrahim AS" (HR Bukhari dari Ummu Syarik)
Dari kisah tersebut kita hendaknya bisa
mengambil pelajaran. Bahwa sekecil apapun keberpihakan kita kepada kebenaran
atau kefasikan, Allah maha tahu kita berada di pihak yang mana.
Pilihan ada di tangan kita
masing-masing, menjadi Semut atau menjadi Cicak.
Jangan karena ikut-ikutan atau sekedar
iseng-iseng, pada akhirnya kita menjadi pembela kefasikan.
Nauzubillah. [Nurhalimah] / Tek