![]() |
| Manisya Alfani. |
Oleh: Manisya Alfani (Mahasiswa Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi USK)
Dunia berubah dengan kecepatan yang memusingkan. Jika dahulu guru adalah ‘gerbang ilmu’ utama, kini, di ujung jari setiap siswa terbentang samudra informasi tak bertepi yang disebut internet. Dalam gelombang transformasi digital ini, muncul pertanyaan mendesak: masih relevankah peran guru?
Jawabannya tidak hanya relevan, tetapi justru menjadi lebih krusial daripada sebelumnya. Namun, peran itu harus bertransformasi. Guru tidak lagi bisa sekadar menjadi source of knowledge atau sumber pengetahuan tunggal, karena Google dan YouTube telah mengambil alih fungsi itu. Tantangan siswa kini bukan lagi pada kekurangan informasi, tetapi pada kelebihan informasi. Di sinilah peran guru bergeser dari pengajar menjadi navigator.
Sebagai navigator, guru memiliki tanggung jawab besar. Pertama, mengajarkan literasi digital. Bukan sekadar bisa mengoperasikan gawai, tetapi kemampuan untuk menyaring, menganalisis, dan memverifikasi informasi. Di tengah banjir hoaks dan misinformasi, guru harus membekali siswa dengan ‘daya tahan kritis’ untuk membedakan fakta dari opini, kebenaran dari tipu daya. Guru adalah benteng pertama dalam membentuk generasi yang tidak mudah termakan oleh ujaran kebencian dan propaganda.
Kedua, guru menjadi fasilitator dan motivator. Dengan segudang tutorial online tersedia, nilai lebih seorang guru terletak pada kemampuannya untuk membangkitkan rasa ingin tahu, mendorong kolaborasi, dan memberikan konteks humanis pada informasi yang dingin. Mesin bisa memberikan data, tetapi hanya guru yang bisa memberikan inspirasi, empati, dan memahami ‘warna’ belajar setiap murid. Interaksi manusiawi di kelas tetaplah sesuatu yang tidak dapat digantikan oleh kecerdasan buatan sekalipun.
Ketiga, guru adalah penjaga karakter dan nilai. Pendidikan bukan hanya tentang menghasilkan individu yang pintar, tetapi juga yang berakhlak mulia. Di ruang digital yang seringkali abai terhadap etika, guru berperan menanamkan nilai-nilai integritas, empati, dan tanggung jawab dalam berkomunikasi dan berjejaring. Mereka mengingatkan bahwa di balik setiap akun media sosial, ada manusia dengan perasaan yang harus dihormati.
Namun, untuk bisa menjalankan peran barunya ini, guru tidak boleh dibiarkan berjuang sendirian. Pemerintah dan institusi pendidikan harus mengambil peran. Pelatihan guru yang berkelanjutan, akses terhadap infrastruktur digital yang merata, dan pengurangan beban administratif yang membelenggu kreativitas adalah hal mutlak. Guru perlu ‘di-upgrade’ agar mampu membimbing anak didiknya menghadapi masa depan.
Pada akhirnya, di tengah gemerlap teknologi, esensi pendidikan tetaplah sama: memanusiakan manusia. Guru, dengan peran barunya sebagai navigator, fasilitator, dan penjaga nilai, adalah jangkar yang menjaga agar kapal generasi muda tidak tersesat di samudra digital. Mereka bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, tetapi pemandu yang paling kita percayai untuk membawa anak-anak kita menjadi warga dunia yang cerdas, kritis, dan berintegritas. Mari kita dukung para guru kita, karena masa depan bangsa ini sedang mereka pahat di dalam kelas-kelas mereka, baik yang nyata maupun yang virtual.
