Oleh Ulfa Alfia, Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
“Anak zaman sekarang kerjaannya cuma rebahan, main HP, nonton TikTok!”
“Gen Z tuh manja, dikit-dikit stres, mental lemah!”
“Wajar, Gen Z kan... pantes gampang ngeluh!”
Kalimat seperti itu mungkin sudah terlalu sering
terdengar di telinga generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Namun
benarkah Generasi Z hanya sekadar “kaum rebahan”? Atau justru, kita sedang
gagal memahami cara baru mereka berjuang di tengah dunia yang berubah begitu
cepat?
Siapa
Sebenarnya Gen Z?
Generasi Z tumbuh dalam dunia yang nyaris
seluruhnya terkoneksi oleh teknologi. Mereka lahir di era digital, tumbuh bersama
media sosial, dan belajar beradaptasi di tengah arus perubahan global: pandemi,
krisis ekonomi, hingga kenaikan harga kebutuhan pokok dan pendidikan.
Menurut laporan Pew Research Center (2020), Gen Z adalah generasi yang
paling adaptif terhadap teknologi dan perubahan digital. Namun di sisi lain,
mereka juga menghadapi tantangan berat—mulai dari tekanan ekonomi hingga
meningkatnya masalah kesehatan mental.
Mereka bukan hidup di zaman “peluang terbuka
lebar,” tetapi di masa di mana segala sesuatu serba cepat, mahal, dan
kompetitif.
Stereotip
yang Salah Kaprah
Label “kaum rebahan” sering dilekatkan karena
gaya hidup mereka yang tampak santai dan banyak menghabiskan waktu di depan
layar. Padahal dari layar itulah mereka bekerja, belajar, dan menciptakan
peluang.
Banyak dari mereka yang menjalankan bisnis
online, menjadi freelancer, content creator, desainer, penulis digital,
atau pengembang aplikasi. Aktivitas yang dulu dianggap “tidak produktif” kini
bisa menghasilkan jutaan rupiah hanya dari rumah.
Apa yang dulu disebut “rebahan”, kini bisa
berarti remote working, online learning, atau digital entrepreneurship. Dunia kerja sudah berubah, dan Gen
Z adalah pelopornya.
Produktif
dengan Cara Baru
Bagi Gen Z, produktivitas tidak lagi diukur
dari lamanya bekerja di kantor, melainkan dari hasil dan keseimbangan hidup.
Mereka menolak sistem kerja toksik dan budaya “lembur adalah bukti loyalitas.”
Mereka mengutamakan work-life balance. Bagi mereka, istirahat bukan bentuk
kemalasan, tapi bagian dari menjaga kesehatan mental dan keberlanjutan
produktivitas.
“Kerja cerdas” menjadi prinsip baru. Dengan
koneksi internet dan kreativitas, mereka bisa bekerja dari mana saja, kapan
saja, tanpa terikat ruang dan waktu.
Kesehatan
Mental Bukan Tanda Lemah
Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z
lebih terbuka membicarakan kesehatan mental. Menurut survei American Psychological Association (2022),
sekitar 60% Gen Z mengaku pernah mengalami masalah kesehatan mental dan aktif
mencari bantuan atau terapi.
Mereka berani berkata jujur bahwa mereka
lelah, cemas, atau stres—bukan untuk mengeluh, melainkan untuk bertahan.
Keterbukaan ini justru menjadi bentuk keberanian baru: keberanian untuk
mengenali diri dan mencari solusi.
Bagi mereka, rebahan bukan bentuk menyerah,
tetapi waktu untuk memulihkan energi dan mental. Dalam dunia yang menuntut
produktivitas tanpa henti, mereka sadar: istirahat juga bentuk perjuangan.
Saatnya
Mengubah Cara Pandang
Generasi Z bukan kaum malas, tapi generasi
yang menyesuaikan diri dengan realitas baru. Mereka belajar di tengah krisis,
bekerja di tengah ketidakpastian, dan membangun masa depan dengan cara yang
mungkin tak dimengerti generasi sebelumnya.
Mereka bukan kehilangan semangat, tapi
menciptakan cara baru untuk tetap waras dan produktif di tengah dunia yang
menekan.
Sebelum menilai, mari kita lihat lebih dekat.
Mungkin “rebahan” yang terlihat malas itu justru sedang merancang masa depan,
menulis ide, mengedit konten, atau membangun bisnis digital.
Karena di zaman ini, bekerja tidak selalu
berarti duduk di kantor. Kadang, masa depan
justru sedang dibangun dari atas kasur, dengan laptop di pangkuan dan ide-ide
besar di kepala. []