SIANG itu matahari menyorot tajam di kawasan Ateuk Jawo, Batoh, Banda Aceh. Putroe (20), mahasiswi salah satu universitas di kota itu, melangkah santai menuju supermarket. Di tengah deru kendaraan, tiba-tiba terdengar suara memanggil keras, “Oi, oi, oi!”
Ia semula mengira suara itu bukan ditujukan
padanya. Namun ketika menoleh, ia tertegun—seorang pria di atas sepeda motor
memperlihatkan kemaluannya ke arah dirinya. “Saya kaget dan panik. Untung ada
bapak-bapak keluar dari masjid, jadi pelakunya langsung kabur,” ujarnya
mengenang kejadian itu, Senin (9/10/2025).
Sejak insiden itu, rasa aman Putroe seolah hilang.
“Saya jadi takut keluar rumah sendirian. Rasanya Aceh belum aman untuk
perempuan,” tuturnya. Catcalling dan pelecehan di ruang publik kini menjadi
bayang-bayang baru bagi banyak perempuan muda di Serambi Mekkah.
Pelecehan di Hari Pertama Kuliah
Kisah yang hampir serupa dialami Lina (19),
mahasiswi baru di Banda Aceh. Hari itu adalah hari pertamanya kuliah, seharusnya
penuh semangat. Namun di tengah perjalanan menuju kelas berikutnya, sebuah
pengalaman mengerikan justru membekas.
“Tiba-tiba ada bapak-bapak di motor yang manggil
‘hey, hey’. Waktu saya noleh, dia menampakkan kemaluannya. Saya langsung kabur,
tapi dia malah ngejar,” kenangnya dengan nada getir.
Lina mencoba berteriak meminta tolong, namun suara
motornya menenggelamkan teriakannya. “Untung saya lihat teman di depan, saya
langsung dekati dia. Pelaku akhirnya putar balik. Tapi saya trauma,” ujarnya.
Sejak peristiwa itu, Lina selalu waspada di jalan.
“Sekarang kalau pulang sore, saya minta dijemput. Rasanya gak aman, bahkan di
jalan kampus sendiri,” tambahnya.
Fenomena yang Dianggap Sepele
Catcalling sering kali dianggap hal biasa—candaan
atau bahkan “bentuk pujian.” Padahal, menurut para aktivis gender, ini adalah
bentuk pelecehan seksual yang nyata dan dapat berdampak psikologis serius.
“Catcalling memperkuat budaya patriarki yang
menempatkan perempuan sebagai objek seksual,” kata Cut Azharida, Kepala Dinas
Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan KB
(DP3AP2KB) Banda Aceh.
Meski hingga kini belum ada laporan resmi yang
masuk ke lembaganya terkait kasus catcalling, Cut mengakui bahwa tindak pelecehan
terhadap perempuan masih terjadi di berbagai ruang publik, bahkan di lingkungan
pendidikan dan keagamaan.
“Kami terus melakukan sosialisasi ke berbagai
lapisan masyarakat, agar masyarakat sadar bahwa pelecehan sekecil apa pun
bentuknya tidak boleh dianggap lumrah,” ujarnya.
Trauma dan Ruang Publik yang Tak
Aman
Catcalling bukan hanya tentang siulan atau sapaan
tak diinginkan—ia merampas kebebasan perempuan untuk merasa aman. Banyak korban
akhirnya mengubah rutinitas mereka: memilih jalan memutar, menunda keluar
rumah, atau mengenakan pakaian tertentu demi menghindari pelecehan.
“Bentuk kontrol seperti ini adalah kekerasan
simbolik,” ujar seorang dosen sosiologi dari Universitas Syiah Kuala. “Ketika
perempuan mulai menyesuaikan perilaku karena takut dilecehkan, artinya ruang
publik sudah tidak netral lagi.”
Mengembalikan Martabat Ruang
Publik
Mencegah catcalling bukan tugas perempuan semata.
Masyarakat, kampus, hingga aparat penegak hukum perlu bersinergi untuk
memulihkan rasa aman di ruang publik. Edukasi dan literasi gender harus terus
digalakkan agar masyarakat memahami bahwa catcalling bukanlah pujian, melainkan
pelecehan.
Mahasiswa pun punya peran penting. Mereka bisa
menjadi pelapor, pendamping, sekaligus penggerak kampanye antipelecehan.
“Jangan diam. Saat kita membiarkan catcalling, kita sedang membiarkan pelecehan
menjadi budaya,” ujar salah satu aktivis perempuan muda di Banda Aceh.
Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah,
seharusnya menjadi tempat paling aman dan bermartabat bagi perempuan. Namun
kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak yang perlu dibenahi.
“Perempuan Aceh bukan hanya simbol moralitas,
mereka juga warga yang berhak atas rasa aman,” kata Cut Azharida.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti menertawakan
siulan di jalan. Karena di balik tawa itu, ada trauma yang tak terlihat, dan
perempuan-perempuan yang kehilangan ruang aman mereka di tanah yang menjunjung
tinggi kehormatan. []