Iklan

Iklan

Catcalling di Aceh, Saat Ruang Aman Perempuan Dirampas di Jalanan

10/22/25, 16:55 WIB Last Updated 2025-10-22T10:15:48Z


Oleh Dhiya Firyaluna Edsa, Mahasiswa Prodi Bimbingan Konseling Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh


SIANG itu matahari menyorot tajam di kawasan Ateuk Jawo, Batoh, Banda Aceh. Putroe (20), mahasiswi salah satu universitas di kota itu, melangkah santai menuju supermarket. Di tengah deru kendaraan, tiba-tiba terdengar suara memanggil keras, “Oi, oi, oi!”


Ia semula mengira suara itu bukan ditujukan padanya. Namun ketika menoleh, ia tertegun—seorang pria di atas sepeda motor memperlihatkan kemaluannya ke arah dirinya. “Saya kaget dan panik. Untung ada bapak-bapak keluar dari masjid, jadi pelakunya langsung kabur,” ujarnya mengenang kejadian itu, Senin (9/10/2025).


Sejak insiden itu, rasa aman Putroe seolah hilang. “Saya jadi takut keluar rumah sendirian. Rasanya Aceh belum aman untuk perempuan,” tuturnya. Catcalling dan pelecehan di ruang publik kini menjadi bayang-bayang baru bagi banyak perempuan muda di Serambi Mekkah.


Pelecehan di Hari Pertama Kuliah

Kisah yang hampir serupa dialami Lina (19), mahasiswi baru di Banda Aceh. Hari itu adalah hari pertamanya kuliah, seharusnya penuh semangat. Namun di tengah perjalanan menuju kelas berikutnya, sebuah pengalaman mengerikan justru membekas.


“Tiba-tiba ada bapak-bapak di motor yang manggil ‘hey, hey’. Waktu saya noleh, dia menampakkan kemaluannya. Saya langsung kabur, tapi dia malah ngejar,” kenangnya dengan nada getir.


Lina mencoba berteriak meminta tolong, namun suara motornya menenggelamkan teriakannya. “Untung saya lihat teman di depan, saya langsung dekati dia. Pelaku akhirnya putar balik. Tapi saya trauma,” ujarnya.


Sejak peristiwa itu, Lina selalu waspada di jalan. “Sekarang kalau pulang sore, saya minta dijemput. Rasanya gak aman, bahkan di jalan kampus sendiri,” tambahnya.


Fenomena yang Dianggap Sepele

Catcalling sering kali dianggap hal biasa—candaan atau bahkan “bentuk pujian.” Padahal, menurut para aktivis gender, ini adalah bentuk pelecehan seksual yang nyata dan dapat berdampak psikologis serius.


“Catcalling memperkuat budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual,” kata Cut Azharida, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan KB (DP3AP2KB) Banda Aceh.


Meski hingga kini belum ada laporan resmi yang masuk ke lembaganya terkait kasus catcalling, Cut mengakui bahwa tindak pelecehan terhadap perempuan masih terjadi di berbagai ruang publik, bahkan di lingkungan pendidikan dan keagamaan.


“Kami terus melakukan sosialisasi ke berbagai lapisan masyarakat, agar masyarakat sadar bahwa pelecehan sekecil apa pun bentuknya tidak boleh dianggap lumrah,” ujarnya.


Trauma dan Ruang Publik yang Tak Aman

Catcalling bukan hanya tentang siulan atau sapaan tak diinginkan—ia merampas kebebasan perempuan untuk merasa aman. Banyak korban akhirnya mengubah rutinitas mereka: memilih jalan memutar, menunda keluar rumah, atau mengenakan pakaian tertentu demi menghindari pelecehan.


“Bentuk kontrol seperti ini adalah kekerasan simbolik,” ujar seorang dosen sosiologi dari Universitas Syiah Kuala. “Ketika perempuan mulai menyesuaikan perilaku karena takut dilecehkan, artinya ruang publik sudah tidak netral lagi.”


Mengembalikan Martabat Ruang Publik

Mencegah catcalling bukan tugas perempuan semata. Masyarakat, kampus, hingga aparat penegak hukum perlu bersinergi untuk memulihkan rasa aman di ruang publik. Edukasi dan literasi gender harus terus digalakkan agar masyarakat memahami bahwa catcalling bukanlah pujian, melainkan pelecehan.


Mahasiswa pun punya peran penting. Mereka bisa menjadi pelapor, pendamping, sekaligus penggerak kampanye antipelecehan. “Jangan diam. Saat kita membiarkan catcalling, kita sedang membiarkan pelecehan menjadi budaya,” ujar salah satu aktivis perempuan muda di Banda Aceh.


Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, seharusnya menjadi tempat paling aman dan bermartabat bagi perempuan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak yang perlu dibenahi.


“Perempuan Aceh bukan hanya simbol moralitas, mereka juga warga yang berhak atas rasa aman,” kata Cut Azharida.


Mungkin sudah saatnya kita berhenti menertawakan siulan di jalan. Karena di balik tawa itu, ada trauma yang tak terlihat, dan perempuan-perempuan yang kehilangan ruang aman mereka di tanah yang menjunjung tinggi kehormatan. []

 


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Catcalling di Aceh, Saat Ruang Aman Perempuan Dirampas di Jalanan

Terkini

Topik Populer

Iklan