![]() |
Teuku Alfin Aulia, Founder Halaqah Aneuk Bangsa, Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. |
Oleh: Teuku Alfin Aulia, Founder Halaqah Aneuk Bangsa, Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.
“Binalah Persatuan! Sirnakanlah perpecahan!..Perpecahan melumpuhkan kekuatan…hanya iman tauhid yang dapat menyatukan…”. Kutipan tersebut berasal dari lagu "Panggilan Jihad" yang begitu populer di era 60-an hingga 80-an. Lagu yang diputar setiap hari melalui Radio Republik Indonesia (RRI) tersebut, menjadi suara kolektif yang mengajak umat untuk merapatkan barisan. kutipan lagu tersebut seolah-olah menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya solidaritas di antara kaum Muslimin, di mana pun mereka berada.
Setiap pasang mata kini mungkin tak dapat melupakan berbagai kejadian-kejadian yang hampir dua tahun belakangan ini terjadi, bencana kemanusiaan yang menimpa penduduk Gaza Palestina seakan membuka tabir yang begitu lebar akan realitas dunia saat ini.
Perbedaan sikap yang diambil oleh berbagai pemimpin dunia, menunjukkan wujud sesungguhnya dari tatanan politik global, yang dipenuhi dengan berbagai standar ganda, dan sarat dengan kemunafikan.
Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada Sidang ke-19 Session of the Conference of the Parliamentary Union of the OIC Member States (PUIC) atau Persatuan Parlemen Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (14/5/2025), menyampaikan, “Saya ulangi kembali di forum ini, sudah tiba waktunya jangan kita sekadar berdiskusi, jangan hanya menyusun resolusi-resolusi lagi. Rakyat Palestina terlalu lama menjadi korban. Mereka membutuhkan keberpihakan, tindakan yang nyata,” tegasnya disambut tepuk tangan para delegasi.
Ia juga menyampaikan bahwa Indonesia tidak akan pernah berhenti mendukung perjuangan rakyat Palestina. “Indonesia akan terus berdiri bersama Palestina. Perjuangan ini akan semakin kuat bila kita, dunia Islam, bisa bersatu,” kata Prabowo.
Prabowo dalam beberapa pidatonya dihadapan negara-negara muslim, menyampaikan pentingnya persatuan antar negara-negara muslim diseluruh dunia. Termasuk di hadapan para pemimpin parlemen dari 38 negara anggota PUIC, Presiden mengajak untuk mengesampingkan perbedaan dan rivalitas demi menyatukan kekuatan umat Islam.
Prabowo juga menyinggung tantangan besar yang dihadapi dunia Islam saat ini, seperti kemiskinan, kelaparan, korupsi, dan ketimpangan pendidikan.
Prabowo dalam pidatonya kemarin juga menambahkan bahwa, “Islam pernah memimpin dunia dalam peradaban, dalam sains dan teknologi. Dan kita harus kembali untuk meraih sains dan teknologi supaya kita bisa mengangkat kesejahteraan rakyat kita,” kata Prabowo.
Ide unifikasi dunia Islam sebagai sebuah solusi konkret dalam menyelesaikan masalah-masalah masyarakat global, bukanlah hal yang baru menggelinding. Sejarah telah mencatat, bagaimana gerakan penyatuan umat islam atau pan Islamisme ini, pernah mendapatkan perhatian khusus bagi seluruh masyarakat muslim dan global.
Selama satu abad kebelakang masyarakat dunia seolah dipertontonkan dengan realitas pelik percaturan politik antar bangsa, keberpihakan demi menjaga kepentingan seakan merupakan hak-hak prerogatif yang dimiliki oleh negara-negara adikuasa layaknya Amerika Serikat dan negara-negara eropa lainnya.
Disaat intervensi militer merupakan langkah utama yang diambil oleh negara-negara barat untuk menghentikan bencana manusia di Ukraina yang terjadi akibat invasi Rusia, bencana kemanusiaan diGaza nyatanya terus menerus dibiarkan berlanjut tanpa intervensi yang berarti. Padahal jumlah korban sipil yang berjatuhan tanpa henti di Gaza harusnya membuat dunia internasional segera menjatuhkan sanksinya kepada Israel yang harusnya segera bertanggung jawab atas puluhan ribu korban jiwa yang sudah jatuh disana.
Tatanan dunia baru yang disebut-sebut dapat membawa perdamaian dunia malah terbukti tak mampu menghentikan bencana kemanusiaan yang selama ini terjadi dimana-mana.
Di balik layar tatanan dunia baru yang diproklamirkan sebagai simbol kedamaian, terdapat kepentingan busuk negara-negara barat dan sekutunya. Negara-negara adikuasa seakan berperan sebagai sutradara, mengatur skenario sesuai kepentingan mereka, sementara negara-negara lemah tak lepas menjadi pemeran tambahan, yang sering kali terpinggirkan kapanpun saja.
Jika ratusan tahun sebelumnya, negara-negara penjajah dapat menguasai negara-negara timur melalui penjajahan fisik, kini mereka melakukannya melalui penjajahan ekonomi dan politik. Dalam konteks ini, gagasan Pan Islamisme menjadi relevan untuk dibahas kembali. Ideologi ini menekankan persatuan umat Islam di seluruh dunia, dengan harapan untuk menciptakan solidaritas di antara negara-negara Muslim dalam menghadapi tantangan global.
Seiring berkembangnya ide Pan Islamisme, dunia Islam dihadapkan pada realitas yang tidak menguntungkan. Meskipun gagasan persatuan umat Islam menawarkan harapan untuk mengatasi perpecahan dan ketidakadilan, situasi yang ada sering kali jauh dari harapan tersebut. Posisi umat Islam dalam upaya menyelesaikan permasalahan internal yang terjadi seakan terkekang oleh kepentingan barat yang dominan.
Kepentingan politik dan ekonomi negara-negara adikuasa sering kali mengintervensi kemandirian negara-negara muslim, menciptakan ketergantungan yang memperlemah kemampuan mereka untuk bertindak secara mandiri.
Dalam banyak kasus, konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia Islam, seperti di Iraq yang menelan 1 juta korban jiwa, Afghanistan, Palestina, Libya, Suriah, dan Yaman. Tindakan diskriminatif terhadap minoritas muslim yang hidup diberbagai belahan dunia layaknya Uighur, Pattani, Moro, Rohingnya, serta muslim di Bosnia dan India tidak dapat dipisahkan dari campur tangan asing yang memperburuk situasi dan mencegah tercapainya solusi yang adil.
Di tengah tantangan ini, ide Pan Islamisme seakan terpinggirkan, terhalang oleh kompleksitas geopolitik yang melibatkan berbagai pihak. Umat Islam yang seharusnya bersatu dalam menghadapi ancaman bersama, sering kali terpecah belah oleh kepentingan politik lokal dan regional, serta tekanan dari kekuatan global. Dalam banyak situasi, alih-alih bersatu, mereka justru terjebak dalam persaingan dan konflik internal yang menguras energi dan sumber daya.
Namun, meskipun dalam situasi yang sulit ini, gagasan Pan Islamisme tetap relevan sebagai landasan untuk membangun solidaritas di antara negara-negara Muslim. Kesadaran akan pentingnya persatuan harus dihidupkan kembali, bukan hanya dalam retorika, tetapi juga dalam tindakan nyata. Kemampuan untuk bersatu dalam menghadapi tantangan bersama adalah kunci untuk mengatasi permasalahan internal dan eksternal yang dihadapi umat Islam.
Dalam konteks ini, umat Islam perlu mengembangkan strategi yang memungkinkan mereka untuk berkolaborasi dan saling mendukung, meskipun terdapat perbedaan politik dan ideologi. Dengan membangun jaringan solidaritas yang kuat, mereka dapat menciptakan kekuatan kolektif yang mampu menghadapi dominasi barat dan mengambil langkah-langkah menuju kemandirian.
Seiring dengan itu, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa persatuan bukanlah tentang menghapuskan perbedaan yang sudah dimiliki masing-masing bangsa selama ini, melainkan tentang menggabungkan kekuatan dan sumber daya dalam menghadapi tantangan yang lebih besar. Hanya dengan cara ini, gagasan Pan Islamisme dapat terwujud sebagai kekuatan yang nyata, mampu membawa perubahan positif dalam menghadapi realitas yang tidak menguntungkan ini.
Dengan situasi yang dihadapi oleh Palestina dan negara-negara muslim lainnya, gagasan untuk bersatu dalam menghadapi penindasan dan ketidakadilan menjadi semakin penting. Perintah untuk bersatu merupakan amanat yang disampaikan dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imran: 103).
Al-Qur'an juga menegaskan bahwa perpecahan merupakan pangkal dari kelemahan, yang selama dua abad belakangan ini menjadi realitas yang tak terhindarkan bagi negara-negara Muslim. Allah SWT berfirman:
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan (berpecah), yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46).
Dalam konteks ini, penting bagi umat Islam untuk menyadari bahwa persatuan bukan hanya sekadar seruan, tetapi merupakan tuntutan spiritual yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengingat amanat-amanat tersebut, kita diingatkan akan kekuatan yang dapat tercipta ketika kita bersatu, saling mendukung, dan mengesampingkan perbedaan demi mencapai tujuan bersama. Sejarah menunjukkan bahwa ketika umat Islam bersatu, mereka mampu mencapai banyak hal, baik dalam konteks politik, ekonomi, maupun sosial.
Fungsi umat yang ditujukan menjadi khalifatullah diatas permukaan bumi, hanya bisa diwujudkan secara bersama hingga perdamaian dan keseimbangan umat manusia yang selama ini dimonopoli oleh kekuatan kapitalis dapat dibangun kembali.
Nilai-nilai liberal yang dibawa barat kepada tatanan sosial manusia saat ini, sangat mengancam nilai-nilai moralitas yang harusnya dimiliki oleh manusia. Karenanya umat muslim harus bersatu guna membangun kembali keseimbangan umat manusia melalui ajaran-ajaran islam yang begitu indah dan pernah menjadi pelita bagi peradaban dunia selama berabad-abad lamanya.
Tulisan opini menjadi tanggung jawab penulis.