![]() |
Andi Yoga Tama, Kepala UNICEF Perwakilan Aceh, saat orasi ilmiah dalam Yudisium Gelombang II Tahun 2025 FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh. (Foto: Wasatha.com) |
Banda Aceh – Kepala Kantor UNICEF Perwakilan Aceh, Andi Yoga Tama, menyampaikan orasi ilmiah dalam Yudisium Gelombang II Tahun 2025 Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry yang digelar di Auditorium Ali Hasjmy pada, Kamis (8/5/2025).
Dalam orasinya, Andi mengangkat tema penting tentang komitmen kampus dalam mendukung perlindungan anak dan perempuan, sebagai kontribusi menuju Indonesia Emas 2045.
"Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak sejak tahun 1990, yang menetapkan empat hak dasar anak, hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, mendapatkan perlindungan, dan berpartisipasi," kata Andi di hadapan peserta yudisium.
Ia menyoroti bahwa kekerasan terhadap anak dan perempuan masih menjadi masalah serius yang kerap tersembunyi akibat stigma masyarakat.
Bentuk kekerasan yang terjadi beragam, mulai dari psikis, fisik, hingga seksual.
Tak hanya itu, isu perkawinan anak dan keterbatasan akses terhadap hak-hak anak penyandang disabilitas juga menjadi perhatian utama.
“Data survei nasional 2024 menunjukkan bahwa 1 dari 2 anak berusia 13–17 tahun di Indonesia pernah mengalami sedikitnya satu bentuk kekerasan. Sedangkan 1 dari 4 perempuan berusia 15–64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual,” ungkap Andi.
Lebih miris lagi, ia menyebut bahwa hanya sekitar 5% anak korban kekerasan yang memperoleh layanan perlindungan secara layak.
Di Aceh, lebih dari 300 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tercatat, mayoritas korbannya adalah anak perempuan dan banyak terjadi di lingkungan rumah tangga.
Andi juga memaparkan sejumlah indikator pemenuhan hak anak di Aceh yang masih memprihatinkan. Di antaranya, angka kematian bayi yang melebihi rata-rata nasional, cakupan imunisasi dasar yang rendah, dan prevalensi stunting yang masih tinggi.
Menghadapi kenyataan tersebut, ia menekankan pentingnya peran kampus Islam, khususnya FDK UIN Ar-Raniry, dalam mengubah norma sosial yang masih membenarkan kekerasan dan ketimpangan gender.
“Lulusan FDK harus mampu menjadi agen perubahan sosial melalui pemahaman terhadap komunikasi, tabligh, dan da'wah bilhal. Inilah kontribusi nyata menuju Indonesia yang lebih berkeadilan,” tegasnya.
UNICEF, kata Andi, mengidentifikasi empat kontribusi utama yang dapat dilakukan fakultas dan lulusannya, diantaranya mendorong perubahan norma sosial, mengarusutamakan isu perlindungan anak dalam pengabdian masyarakat, mengintegrasikan isu anak dan perempuan dalam kurikulum serta riset, dan melakukan advokasi serta kampanye sebagai agen perubahan sosial.
Ia juga menyoroti pentingnya pendekatan Social Behavior Change Communication (SBCC) dalam mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap isu-isu penting seperti kesehatan dan sanitasi.
“Lulusan FDK sangat potensial untuk mendalami dan meneliti pendekatan SBCC karena mereka memiliki landasan komunikasi yang kuat, baik secara teoritis maupun praktis,” jelas Andi.
Menutup orasinya, Andi mengajak para lulusan untuk tidak sekadar menjadi penyampai pesan, tetapi juga fasilitator perubahan dan pembela nilai-nilai kemanusiaan.
“Jadilah suara bagi anak-anak yang belum bisa berbicara. Indonesia Emas bukan hanya tentang kekuatan ekonomi, tetapi juga tentang keadilan dan kepedulian. Tidak boleh ada anak yang tertinggal, dan setiap perempuan harus memiliki masa depan yang terjamin,” tutup Andi. [Muhammad Khalifah]