"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik." (QS: An-Nahl: 125)
Ayat di atas mengidentifikasikan kepada kita bahwa ada tiga metode dalam
berdakwah yang dapat dilakukan para dai, tiga metode itu antara lain:
Bil-Hikmah (dengan kebijaksanaan)
Hikmah dalam konteks ini bukan hanya berarti kebijaksanaan, tetapi juga mencakup pengetahuan yang mendalam, pemahaman situasional, dan kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan cara yang paling efektif.
Bayangkan Anda sedang berbicara dengan seorang teman yang memiliki
pandangan berbeda. Apa yang Anda lakukan? Al-Qur'an menyarankan untuk
menggunakan 'hikmah' atau kebijaksanaan. Ini bukan hanya tentang apa yang Anda
katakan, tapi juga bagaimana Anda mengatakannya.
Dr. Ahmad Syafii, seorang pakar komunikasi Islam, menjelaskan, "Hikmah
berarti memahami audiens Anda. Anda tidak bisa berbicara dengan seorang ilmuwan
dan seorang petani dengan cara yang sama. Pesan Anda mungkin sama, tapi cara
menyampaikannya harus disesuaikan."
Al-Mau'idzah Al-Hasanah (nasihat yang baik)
Konsep ini lebih dari sekadar memberikan nasihat; ini adalah seni memberikan nasihat yang menyentuh hati. Melibatkan penggunaan bahasa yang lembut, empatik, dan memotivasi, bukan menghakimi atau mengintimidasi.
Termasuk penggunaan metafora, analogi, dan kisah-kisah inspiratif yang
dapat memudahkan pemahaman dan menginspirasi perubahan positif. Menekankan pada
aspek emosional dan spiritual, tidak hanya aspek intelektual.
Al-Qur'an juga berbicara tentang 'mau'izhah hasanah' atau nasihat yang
baik. Ini seperti menawarkan secangkir teh hangat kepada seseorang di hari yang
dingin - menenangkan dan mengundang. Orang cenderung mendengarkan ketika mereka
merasa dihargai, nasihat yang disampaikan dengan kelembutan lebih mudah meresap
ke hati.
Al-Jidal bil-lati Hiya Ahsan (debat dengan cara yang terbaik)
Jidal di sini bukan sekadar debat, tetapi dialog konstruktif yang bertujuan untuk mencapai kebenaran.
Melibatkan kemampuan untuk mendengarkan dengan aktif, memahami sudut
pandang lawan bicara, dan merespons dengan argumen yang logis dan etis. Mengharuskan
penguasaan teknik retorika, logika, dan etika berdebat.
Menekankan pada pencarian titik temu dan pemahaman bersama, bukan
kemenangan dalam perdebatan.
"Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."
Ini mengingatkan bahwa tugas da'i hanyalah menyampaikan, sedangkan hidayah
adalah hak prerogatif Allah. Mengajarkan sikap rendah hati dan tidak memaksakan
kehendak dalam berdakwah.
Menariknya,
Al-Qur'an tidak melarang perdebatan. Justru, ia mengajarkan cara berdebat yang
baik. Ini bukan tentang memenangkan argumen, tapi tentang mencari kebenaran
bersama.
Prof. Quraish Shihab, seorang ulama terkemuka, mengatakan, debat dalam Islam bukanlah kontes, melainkan dialog. Tujuannya bukan untuk mengalahkan, tapi untuk saling memahami.
Dalam dunia yang beragam, Al-Qur'an mengajarkan untuk menghormati keyakinan
orang lain. Ini bukan berarti setuju dengan semua hal, tapi lebih kepada
membangun jembatan pemahaman, dimana kita diajarkan untuk mencari titik temu,
bukan memperbesar perbedaan
Di tengah dunia yang sering diwarnai dengan ketegangan dan konflik, ajaran
Al-Qur'an ini menawarkan pendekatan yang menyejukkan. Ini bukan hanya tentang
menyebarkan pesan, tapi juga tentang membangun hubungan, memahami orang lain,
dan menciptakan perubahan positif.
Mungkin, di sinilah letak kebijaksanaan sejati: kemampuan untuk
menyampaikan kebenaran dengan cara yang tidak hanya didengar, tapi juga
dirasakan dan dihayati. Dalam era informasi yang berlebihan ini, mungkin inilah
jenis komunikasi yang kita butuhkan - yang menyentuh hati sekaligus membuka
pikiran.
Metode Dakwah Dalam Perspektif Al-Ankabut Ayat 46
Sementara itu pada Surah Al-Ankabut ayat 46, Allah Ta’ala
menjelaskan kepada kita bahwa ayat teresebut, memandu kita untuk melakukan Pendekatan Khusus terhadap Ahli Kitab.
Memberikan panduan spesifik
dalam berdialog dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ayat ini juga menekankan
pentingnya memahami teologi dan sejarah agama-agama Abrahamik untuk dialog yang
efektif.
Selain itu, Al Ankabut ayat 46 juga menjelaskan adanya pengecualian untuk
Orang yang Zalim: Memberikan fleksibilitas dalam menghadapi mereka yang
bersikap agresif atau tidak adil.
Namun, ini bukan izin untuk bersikap kasar, melainkan untuk bersikap tegas
dalam membela kebenaran. Mengajarkan keseimbangan antara toleransi dan
ketegasan dalam menegakkan prinsip.
Selain itu, ayat ini juga menerangkan Pengakuan atas Wahyu Terdahulu: "Kami beriman kepada apa yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepadamu". Mengajarkan kepada kita sikap
inklusif dan pengakuan terhadap kontinuitas wahyu ilahi.
Dalam kaitan metode dakwah, ayat pada surat Al Ankabut di atas juga
merupakan penegasan tauhid: "Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu". Ini
menekankan konsep monoteisme sebagai titik temu utama antar agama Abrahamik dan
membuka peluang untuk diskusi teologis yang lebih dalam tentang konsep
ketuhanan. []