Iklan

Iklan

FDK UIN Ar-Raniry Tandatangan MoA Kerjasama dengan PCINU Tiongkok

Mabrur Muhammad
3/20/24, 17:01 WIB Last Updated 2024-03-20T10:01:40Z

Dok. Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry


WASATHA.COM | Banda Aceh - Fakultas dakwah dan komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh bersama Pengurus Cabang Istimewa Nahdatul Ulama (PCINU) Tiongkok menggelar kegiatan Bedah Buku “Santri Indonesia di Tiongkok”, Seminar Beasiswa,  dan Penandatanganan MoA oleh FDK dan PCINU Tiongkok, di Aula FDK, Selasa (19/3/2024).


Dekan FDK, Prof Kusmawati Hatta dalam sambutannya menyatakan bahwa belajar di Tiongkok merupakan hal yang istimewa. PCINU diharapkan dapat menjadi pintu terbuka bagi para mahasiswa, khususnya mahasiswa FDK UIN Ar-Raniry, untuk belajar di Tiongkok dan mendapatkan pengalaman berharga di sana. Hal ini diharapkan dapat melahirkan banyak program-program kegiatan yang bermanfaat bagi mahasiswa Indonesia, khususnya mahasiswa FDK UIN Ar-Raniry.


“Ini merupakan hal yang paling kita istimewakan. Mudah-mudahan nanti bayak lagi yang datang atau yang berguru kesana atau yang belajar disana, melalui pintu terbuka hari ini adalah PCINU ini. Kita harapkan adalah PCINU ini adalah pintu yang terbuka lebar untuk bisa fakultas khusunya FDK mahasiswanya bisa memasuki pintu itu. Sehingga nanti bisa melahirkan banyak program-program kegiatan yang bisa dimanfaaatkan anak-anak indonesia khususnya aceh dan dalam hal ini kita khusukan lagi FDK UIN Ar-Raniry,“ katanya.


Ia menyampaikan rasa syukurnya atas terjalinnya silaturahmi dengan PCINU. Ia juga berharap silaturahmi ini dapat membuka banyak peluang bagi mahasiswa, seperti beasiswa untuk belajar di Tiongkok dan program-program lain seperti Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Beliau optimis bahwa PCINU dapat membantu memfasilitasi program PKM, meskipun jumlahnya mungkin tidak banyak.


“Saya sangat bersyukur dengan adanya silaturahmi ini banyak pintu yang bisa terbuka. Salah satunya bagaimana mendapatkan beasiswa untuk sampai ke Tiongkok untuk kuliah di sana. Atau mungkin ada pintu lain yang kita harapkan nanti juga ada program-program selain dari beasiswa. Misalnya Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Pengabdian Masyarakat Kolaborasi Antar Mahasiswa dan Dosen. Jadi artinya dosen nanti bisa bergerak dalam mengembangkan keilmuan-keilmuannya dan berbagi kepada masyarakat kewilayah-wilayah industri. Dengan adanya pintu terbuka dari PCINU ini, kemungkinan besar PKM ini walaupun tidak banyak bisa difasilitasi dan di bantu oleh pak Yudi dan PCINU,” ujarnya.


Sebelumnya, Atase Pendidikan dan Budaya (Kedutaan Besar Republik Indonesia)KBRI Beijing, Yudi Chatim dalam sambutannya sekaligus membuaka acara lewat zoom meeting menyampaikan bahwa mereka telah menyiapkan banyak program untuk para pelajar. Salah satu programnya adalah program dua plus dua, di mana para pelajar akan menempuh pendidikan selama dua tahun di Indonesia dan dua tahun di Tiongkok. Program lainnya adalah program satu plus satu plus satu, yang dirancang khusus untuk para pelajar D3. Dalam program ini, para pelajar akan belajar selama satu tahun di Indonesia, satu tahun di Tiongkok, dan satu tahun di industri.


“Banyak yang kita siapkan, kami selaku Atase Pendidikan Dan Kebudayaan memiliki program. Yang pertama ada program dua plus dua yaitu dua tahun di indonesia dan dua tahun di Tiongkok. Untuk D3 kita ada satu plus satu plus satu yaitu satu tahun di indonesia, satu tahun di Tiongkok, dan satu tahun di industri,” ungkap Atase Pendidikan Dan Kebudayaan KBRI Tiongkok.


Ia juga menjelaskan bahwa mereka juga menawarkan program tiga plus satu, di mana mahasiswa Tiongkok yang telah menyelesaikan studi selama tiga tahun dapat melanjutkan studi S1 di Indonesia melalui program alih jenjang. Program ini memungkinkan mahasiswa untuk menempuh pendidikan selama satu tahun di Indonesia atau mengikuti program yang telah disiapkan untuk 2000 mahasiswa Tiongkok untuk kuliah di Indonesia. Selain itu, terdapat program satu plus tiga, di mana mahasiswa Tiongkok dapat berkuliah di Indonesia selama empat tahun dengan satu tahun perkuliahan online di Tiongkok. Program ini dilengkapi dengan program les bahasa Indonesia selama tiga tahun di Indonesia dan bersifat berbayar.


“Kita juga punya program tiga plus satu yaitu mahasiswa tiongkok yang sudah kuliah tiga tahun mereka mau melanjutkan S1 kita pakai program alih jenjang, itu bisa nanti kita ambil mereka satu tahun di indonesia atau kami sudah menyiapkan 2000 mahasiswa Tiongkok untuk kuliah di Indonesia. Lalu ada juga program satu plus tiga yaitu mahasiswa Tiongko kuliah di indonesia untuk empat tahun tapi satu tahunnya  di  Tiongkok untuk online nanti kita tabahkan les bahasa Indonesianya, tiga tahunnya di Indonesia, dan mereka berbayar,” bebernya.


Disamping itu, PCINU Tiongkok, M. Hasim Habibil, dalam sambutannya menyampaikan bahwa program Nihao Ramadhan telah berlangsung selama empat tahun, dan diadakan di beberapa titik di Indonesia, dan Aceh menjadi titik kedua setelah Jawa Tengah.


“Setiap tahunnya, saat ramadhan kami dari pcinu tiongkok membuat program Nihao Ramadhan, dan ini adalah tahun empat kami. Dari yang awalnya  hanya via zoom karena kondisi pandemi, alhamdulilllah tahun ini kita bisa mengadakan Nihao ramadhan di beberapa titik di indonesia secara langsung. Ini adalah Titik ke dua, sebelumnya  berada di jawa tengah,“ ungkap Hasim.


Lebih lanjut, Hasim juga menjelaskan tujuan dari program ini adalah sebagai ajang silaturahmi dan juga menjadi tanggung jawab sebagai tanggung jawab sebagai mahasiswa dan santri yang penerima beasiwa. Dan mereka sudah menerbitkan 1500 buku.

 

“Tujuannya adalah  untuk menyambung silaturahim. Tujuan kedua dari program ini adalah sebagai tanggung jawab kami, bahwa kami diberikan beasiswa, belajar, S1, S2 S3 di Tiongkok itu oleh olehnya gak kami simpan. Sejauh ini kami sudah menerbitkan 1500 buku,” jelasnya.


Pada kegiatan ini FDK dengan PCINU Tiongkok melakukan penandatanganan MoA, yang ditandatangani langsung oleh Dekan FDK, Prof Dr Kusmawati Hatta dan Ahmad Syaifuddin Zuhri.


Bedah Buku “Santri Indonesia di Tiongkok”


Tidak hanya itu, pada kesempatan ini pula diikuti dengan kegiatan bedah buku “Santri Indonesia di Tiongkok” oleh PCINU dan salah satu dosen FDK. 


Pembedah buku pertama yaitu Ahmad Syaifuddin Zuhri menjelaskan bahwa PCINU Tiongkok pertama kali di adakan pada tanggal 20 Agustus 2017 di kota Malang. Pada saat itu, jumlah santri di Tiongkok masih sedikit, terutama dibandingkan dengan sebelum tahun 2015. Mencari WNI yang berjilbab pun sangat sulit pada waktu itu, dan bahkan bisa dihitung dengan jari. Selain itu, mencari makanan halal juga merupakan suatu hal yang sulit.


“Kami 2017, 20 Agustus waktu itu di konferensi cabang pertama dari PCINU Tiongkok, kami adakan di salah satu kota Malang. Setelah itu di 2018, kami mencoba, karena waktu itu santri-santri di Tiongkok itu tidak begitu banyak. Apalagi kalau dibandingkan dengan sebelum 2015, mencari WNI yang berjilbab apalagi sebelum 2015 itu susahnya minta ampun dan bisa dihitung dengan jari. Mencari makanan halal pun susah,” terang Syaifuddin.


Ia menceritakan bahwa setelah tahun 2015, terdapat pertumbuhan yang luar biasa terkait dengan halal dan keislaman di Tiongkok. Hal ini didorong oleh banyaknya WNI yang berkuliah di sana. Potensi inilah yang mendorong pembentukan PCINU Tiongkok pada tahun 2017. Pada tahun 2018, PCINU Tiongkok mulai mengumpulkan para anggotanya untuk menceritakan pengalaman mereka di daerah masing-masing. Pengalaman-pengalaman ini kemudian ditulis dan dikompilasi menjadi sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 2019.


“Pasca 2015, saya menyaksikan pertumbuhan terkait dengan halal dan keislaman itu cukup luar biasa. Apalagi banyak WNI Indonesia yang berkuliah di sana. Potensi inilah yang saat ini resmi membentuk PCINU Tiongkok 2017, 2018 kami mencoba mengumpulkan teman-teman untuk bisa menceritakan pengalamannya di daerah masing-masing untuk menulis, dan kami kompilasi dan buku itu terkumpul di 2019,” ujarnya.


Di samping itu, Syaifuddin juga menjelaskan ssebagian penulis buku tersebut adalah mahasiswa Indonesia yang baru tinggal di Tiongkok selama satu semester atau satu tahun. Mereka masih baru dan polos, sehingga mereka dapat menceritakan pengalaman mereka dengan apa adanya. Hal ini disengaja agar buku tersebut dapat memberikan pandangan yang segar dan objektif tentang kehidupan di Tiongkok.


“Sebagian penulis buku tersebut, adalah mahasiswa Indonesia yang baru tinggal satu semester atau satu tahun di Tiongkok. Jadi mereka masih awal-awal di Tiongkok sehingga masih polos-polosnya, dan itu yang memang kita inginkan. Karena mereka mengetahui dengan apa adanya,” tambahnya.


Lalu, pembedah buku kedua, salah satu dosen program Studi (Prodi), Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Dr Fahri mengungkapkan kekagumannya terhadap buku tersebut. Menurutnya, selama ini santri sering distereotipkan sebagai orang yang tidak modern, kuno, kampungan, dan tidak mengerti apa-apa. Namun, buku ini menunjukkan bahwa santri telah memiliki posisi yang luar biasa.

 

“Saya kagum sama buku ini. Sebab selama ini santri dipojokkan, distereotipkan, tidak modern, kuno, kampungan, tidak mengerti apa-apa, dan kolot. Tapi di buku ini santri sudah luar biasa posisinya,” tuturnya.


Kemudian, ia melanjutkan dengan mengkritik judul buku tersebut, namun dia juga memberikan masukan. Menurutnya, judul tersebut sulit dipahami oleh orang yang tidak mengerti konteksnya, tetapi bagi yang mengerti, judul tersebut sangat menarik.


“Pertama kali saya kritik itu adalah judulnya, tapi juga sekaligus masukan. Judulnya ini kalau orang tidak mengerti susah dia, tapi kalau orang ngerti luar biasa menarik,” lanjutnya.


Fahri juga mengkritik dua hal dari buku tersebut. Pertama, judulnya, yang menurutnya sulit dipahami orang awam. Kedua, warnanya. Meskipun begitu, Fahri memuji desain sampul buku tersebut. Ia tidak tahu filosofi di balik lambang-lambang yang ada di sana, tetapi ia melihat bahwa warna kuning, masjid, pura, gereja, dan merah memiliki makna positif dalam budaya Tiongkok dan Islam. Fahri menilai perpaduan filosofi Tiongkok dan Islam dalam desain sampul buku tersebut sangat cocok.


“Yang kedua, warnanya. Buku ini warnanya menarik sekali. Saya tidak tahu filosofi dari lambang yang ada di sini.  Ada warna kuning, masjid, pura, gereja lalu warna merah. Jadi filosofi orang China kalau warna merah itu menguntungkan, warna kuning hampir sama seperti itu. Di dalam islam juga warna merah itu sangat positif keberanian, energi, semangat, dan percepata. Jadi cocok sekali filosofi china ini diintegrasi dengan Islam,“ tambahnya.


Fahri juga mengomentari isi buku tersebut. Ia tertarik dengan topik toleransi di Tiongkok. Menurutnya, Tiongkok memiliki 58 suku dan konstitusi negara tersebut menganut politik persamaan bangsa. Hal ini berarti tidak ada diskriminasi antara suku besar dan kecil. Fahri juga membahas peraturan di Tiongkok yang membatasi satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak. Akan tetapi aturan ini tidak berlaku bagi orang Muslim.


“Ketiga isinya  juga menarik, bagi saya yang menarik adalah toleransi. Jadi di China ini ada 58 suku. Ada prinsip China konstitusinya itu politik persamaan bangsa. Politik ini antara suku besar dengan suku kecil itu tidak ada diskriminasi, itu yang menarik pertama. Yang kedua ada peraturan China  pada penduduknya yang sudah 1,4 miliar, jadi orang komunis itu satu keluarga satu anak kalau lebih dia kena tendang sama seperti Singapura. Tapi itu tidak berlaku sama orang muslim,” jelasnya.


“Dan yang terakhir refleksi buku ini, saya akan arahnya ikut ke pelajar-pelajar UIN Ar-Raniry agar manfaatkan forum ini,” pungkasnya.


Kegiatan ini ditutup dengan tausiah ramadhan dan buka puasa bersama. []

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • FDK UIN Ar-Raniry Tandatangan MoA Kerjasama dengan PCINU Tiongkok

Terkini

Topik Populer

Iklan