Krisis Kashmir berawal dari Inggris yang memberi kemerdekaan kepada India dan Pakistan pada 1947, namun tidak memberikannya kepada rakyat Kashmir. Walhasil, wilayah itu menjadi rebutan hingga kini.
Oleh Imam Yakhsyallah Mansur | Penulis Buku Kashmir yang Membar dan Solusinya
LEMBAH Kashmir yang banyak disebut oleh para penjelajah sebagai “surga dunia” (paradise on earth) tidak cukup membuat rakyatnya hidup aman sentosa. Keindahan alam dan kesuburan tanahnya belum menjadikan keberkahan bagi warganya. Nyatanya, rakyat Kahsmir merasakan pedihnya krisis kemanusiaan akibat persengketaan antar pemimpin yang tak kunjung berkesudahan.
Krisis Kashmir sudah terjadi sejak 75 tahun lalu, hingga hari ini belum menunjukkan tanda-tanda penyelesaian yang paripurna. Warga Kashmir yang dirundung derita menanti perhatian dan bantuan komunitas internasional, termasuk Dunia Islam untuk dapat menyelesaikan krisis yang masih saja mereka rasakan hingga hari ini.
Ratusan ribu jiwa sudah menjadi korban, puluhan ribu anak-anak menjadi yatim-piatu karena orang tuanya yang pergi untuk selamanya. Sementara di sisi lain, para wanita menjadi janda akibat suaminya yang tak kunjung pulang meski sudah berbulan-bulan bahkan bertahun lamanya, entah itu dalam tahanan, atau sudah tiada.
Mereka semua menjadi korban dari keganasan pasukan rezim penguasa sebagai akibat dari kesepakatan yang tak kunjung tiba.
Awal Mula Krisis Kashmir
Krisis Kashmir berawal dari Inggris yang memberi kemerdekaan kepada India dan Pakistan pada 1947, namun tidak memberikannya kepada rakyat Kashmir. Walhasil, wilayah itu menjadi rebutan hingga kini.
India dan Pakistan setidaknya tiga kali terlibat perang besar sejak 1947 karena saling mengklaim atas wilayah Kashmir. Saat kedua negara itu memiliki senjata nuklir pada 1998, keduanya hampir kembali terlibat perang pada 1999 akibat persengketaan tentang Kashmir.
Sementara itu, kekerasan yang dialami warga Kashmir setidaknya telah menewaskan 47 ribu jiwa sejak krisis bermula. Data tersebut tidak termasuk orang-orang yang dinyatakan hilang sepanjang konflik berlangsung. Sejumlah kelompok pembela HAM dan LSM menyebut jumlah korban tewas dua kali lebih banyak dari data tersebut.
Resolusi PBB
Sejak 1 Januari 1948, krisis Kashmir menjadi permasalahan dunia internasional di bawah naungan PBB berdasarkan pertemuan antara Gubernur Jenderal Pakistan Mohammad Ali Jinnah dan Gubernur Jenderal India Lord Mounbatten di Lahore pada 2 November 1947 yang menyepakati pelaksanaan referendum bagi rakyat Kashmir.
PBB kemudian membentuk United Nation Comission for India and Pakistan (UNCIP) yang mengharuskan India dan Pakistan harus berhenti perang, menarik pasukan, mengembalikan pengungsi, membebaskan tahanan politik, serta secepatnya melaksanakan referendum atas status Kashmir. Namun rencana pelaksanaan referendum belum juga dapat dilaksanakan.
UNCIP melakukan berbagai pertemuan mengenai perumusan proses genjatan senjata yang dilakukan. Proses-proses tersebut antara lain mengenai garis genjatan senjata, penarikan pasukan secara bertahap, serta pengawasan proses genjatan senjata.
PBB juga mengirimkan delegasi khusu untuk membantu penyelesaian krisis Kashmir. Perwakilan PBB yang pertama pada 1949, AG L McNaughton yang membawa sebuah proposal yang menyarankan agar kedua negara melakukan demiliterisasi dan memastikan referendum dilaksanakan. Namun, proposal tersebut ditolak oleh India.
Pada 1950 PBB mengutus Sir Owen Dixon bertemu dengan pejabat India dan Pakistan untuk kembali mencari solusi. Dixon juga membawa proposal yang menyarankan agar pelaksanaan referendum hanya dilakukan di daerah yang bermasalah (Valley of Kashmir), dan wilayah lainnya menentukan keputusan sendiri untuk bergabung dengan India atau Pakistan.
PBB kembali mengirim perwakilannya, yaitu Frank Graham untuk menyelesaikan konflik dalam waktu tiga bulan. Namun misi tersebut belum juga berhasil. Selanjutnya pada 1957 PBB kembali mengirim perwakilannya, yaitu Gunnar Jarring, namun misinya mengalami kegagalan pula.
Sejak krisis terjadi, PBB sudah mengeluarkan 11 kali resolusi untuk Kashmir. Namun hal itu belum efektif menyelesaikan konflik hingga hari ini.
Solusi yang Ditawarkan
Sungguh setiap jiwa yang lahir ke muka bumi ini memiliki hak untuk hidup, tanpa penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan, tanpa diskriminasi serta mendapat perlakuan sama di depan hukum. Itu semua dijamin dalam Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah disepakati dunia internasional pada 10 Desember 1948 dalam sebuah risalah Deklarasi Universal. Maka sudah menjadi kewajiban semua ummat manusia untuk mewujudkan hal itu menjadi nyata, khususnya bagi rakyat Kashmir.
Pada 4-8 Oktober 2019, beberapa ulama, LSM dan anggota parlemen negara-negara Asia Tenggara, dipimpin oleh Dr. Mohd Azmi Abdul Hamid (presiden MAPIM) Malaysia, diundang oleh Pemerintah Pakistan mengunjungi Kashmir sebagai bagian dari kepedulian mereka terhadap saudara-saudara mereka yang mengalami penderitaan di wilayah itu. Dari Indonesia, penulis adalah satu-satunya wakil Indonesia dalam misi tersebut. Dari hasil kunjungan itu, penulis menyimpulkan, untuk menyelesaikan krisis Kashmir setidaknya perlu dilakukan tiga hal:
Pendekatan Kemanusiaan
Fakta bahwa di wilayah Kashmir ada penduduk yang beragama Islam dan Hindu, maka pendekatan humanisme (kemanusiaan) adalah yang paling memungkinkan untuk wilayah itu. Pendekatan kemanusiaan yang dimaksud adalah bahwa pertolongan harus diberikan kepada siapa saja tanpa memandang suku, agama ras dan golongan. Siapa saja yang membutuhkan, maka merekalah yang harus menjadi prioritas dalam mendapatkan pertolongan dan bantuan.
Siapa pun yang memberikan bantuan, tidak boleh pilih-pilih sesuai dengan seleranya atau sepaham dengan kelompoknya saja, tapi harus secara menyeluruh, adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Pendekatan Kesejahteraan
Rakyat Kashmir sudah lama merasakan penderitaan yang tak kunjung reda, maka salah satu kebutuhan medesak mereka adalah mewujudkan kesejahteraan bagi semua penduduknya. Lantas apa saja yang menjadi hal mendasar dalam mewujudkan kesejahteraan?
Pertama, adalah fasilitas kesehatan. Hal itu mutlak diperlukan oleh masyarakat di sana. Berada dalam zona konflik sudah pasti ada banyak yang terluka, bahkan terbunuh. Maka fasilitas kesehatan itu yang paling utama.
Kedua, selain kesehatan, pendidikan juga menjadi hal urgen bagi masyarakat Kashmir. Para generasi mudanya harus memiliki pendidikan yang cukup. Sehingga mereka bisa berfikir maju dalam menyelesaikan sebuah krisis, tanpa harus menyedepankan kekerasan, baik fisik, verbal, maupun teror yang bersifat intimidasi.
Pendekatan Politis
Pendekatan politis ini juga menjadi kunci bagi penyelesaian krisis Kashmir. Para cendekiawan Kashmir harus mengangkat pena mereka, menyuarakan aspirasi rakyatnya, mengabarkan kepada dunia tentang apa sebenarnya yang terjadi di wilayahnya, tanpa putus asa.
Suarakan kepada dunia tentang perdamaian sebagai solusi utama menyelesaikan krisis, dan itu bisa didapat jika ada kebebasan bagi masyarakat Kashmir. Rakyat Kashmir harus diberi kebebasan memilih, menetukan nasibnya sendiri, memilih jalannya sendiri, tanpa ada intimidasi dan intervensi dari pihak mana pun.
Intervensi dan intimidasi hanya akan menimbulkan tindak kekerasan dan pastinya korbannya adalah rakyat sipil tak berdosa. Mereka akan terus menjadi sasaran keganasan aparat dengan alasan menjaga stabilitas keamanan nasional.
Rakyat lebih tahu tentang kemana mereka harus bergabung. Kepada siapa mereka akan bermitra, dan siapa di antara pemimpin negeri yang mereka percaya. Kesimpulan tersebut penulis uraikan dalam buku “Kashmir yang Membara dan Solusinya”. []