DI TENGAH keterbatasan yang dialami oleh para disabilitas, tidak menyurutkan langkah mereka beraktivitas setiap harinya. Meskipun hanya berada dalam lingkungan sederhana, daya pikir dan kreatifitas mereka patut diapresiasi.
Semasa kuliah, saya berkenalan dengan penyandang disabilitas tuna
rungu dan tuna wicara. Uniknya, ia memilih untuk kuliah di jurusan ilmu
komunikasi. Sekilas membayangkan, ia tidak akan mampu untuk melanjutkan kuliah
di jurusan tersebut. Hal ini dikarenakan keilmuan di bidang ilmu komunikasi
akan banyak sekali mempraktikkan cara berkomunikasi secara lisan, seperti
menjadi penyiar radio, menjadi seorang jurnalis, pembawa berita (news anchor) dan praktik lainnya.
Uniknya lagi, ia berhasil melewati perkuliahan dengan baik. Tentunya didukung
oleh para pengajar handal dan teman-teman sekitarnya.
Saat perkuliahan, ia memilih untuk fokus pada konsentrasi advertising.
Melalui konsentrasi ini ia mengasah bakatnya di dunia iklan, merancang
struktur grafis, pembuatan video dan sebagainya. Tidak hanya di bidang
perkuliahan, ia juga mengembangkan organisasi khusus tuna rungu Deaf Art
Community (DAC) Yogyakarta. Melalui organisasi ini, ia mengajak rekan-rekan
tuna rungu untuk mengembangkan diri mereka di bidang seni pertujukan, pantomim,
melukis, pembuatan video dan olahraga. Mereka juga berpartisipasi mengajar di
Sekolah Semangat Tuli.
Deaf Art
Community (DAC) menjadi salah satu pilot komunitas berbasis peduli tuna rungu,
telah berhasil berkembang dan membimbing setiap anggotanya penuh dengan
kreatifitas terbaik. Terbukti, setiap anggota menuai prestasi gemilang tidak
hanya di tingkat nasional, tetapi juga di kancah internasional. Misalnya, beberapa dari mereka menunjukkan bakat pantomimnya di pentas
Swiss. Tidak hanya itu, beberapa lainnya juga telah mengikuti diskusi tuli di
New York dan juga berhasil mewakili Indonesia menunjukkan bakat pantomim di
Australia. Prestasi gemilang ini menunjukkan bahwa difabel memiliki keahlian
khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh non-disabilitas pada umumnya.
Berbeda dari cerita ini, saya juga berteman dengan seorang
penyandang disabilitas tuna daksa dengan jenis pengidap celebral palsy. Masih
dengan cerita di bangku perkuliahan, seorang rekan ini juga menempuh pendidikan
sarjana di jurusan ilmu komunikasi. Setiap hari ia kuliah engan menggunakan sepeda motor roda tiga yang dirancang khusus
untuk pengidap tuna daksa. Ia juga sesekali membawa kursi roda untuk digunakan saat
kaki tidak sanggup lagi berjalan. Beruntung sekali, ia dikelilingi orang-orang
baik. Setiap kali akan masuk kelas atau melakukan aktivitas di lantai 2 atau 3,
ia dibantu oleh siapa saja yang berada di dekatnya untuk menaiki tangga. Ia
sangat pandai dibidang advertising dan siaran radio. Hingga saat ini, ia
berhasil menyelesaikan perkuliahannya dan berkarir di bidang periklanan.
Cerita disabilitas lainnya juga ditemukan di Aceh, misalnya seorang
penyandang tuna daksa bernama Rejeki Meutuhadi. Dalam konten video yang
dipublikasi oleh tim Labpsa TV ia menceritakan kehidupannya sebagai penyandang
tuna daksa. Sejauh yang ia alami, Aceh masih perlu melakukan pembaharuan dan
pembinaan lebih lanjut kepada para disabilitas, misalnya menyediakan layanan
fasilitas khusus bagi disabilitas di area masjid. Selain itu, perlu adanya
edukasi kepada masyarakat bahwa penyandang disabilitas bukanlah pengemis yang
kehadirannya sering diabaikan saat berada di ruang publik. Ia menegaskan bahwa
penyandang disabilitas berhak menerima perlakuan secara hormat sama seperti
masyarakat pada umumnya. Anjuran ini ia sampaikan untuk menjaga toleransi antar
manusia, terutama kepada para penyandang disabilitas.
Berdasarkan cerita di atas menunjukkan bahwa penyandang disabilitas
tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka tidak berhak untuk diperlakukan
secara tidak wajar dan tidak baik untuk diremehkan. Setiap penyandang
disabilitas juga ingin membuktikan bahwa kehadiran mereka juga dapat membawakan
kebahagian dan manfaat yang besar bagi kehidupan. Buktinya, mereka bisa
bersaing di dunia pendidikan, bahkan hingga mancanegara.
Penyandang disabilitas ini juga bisa menggunakan ruang publik
seperti biasanya, meskipun mereka mengalami sedikit keterbatasan. Kreativitas
dan daya saing yang mereka bangun sangat patut diapresiasikan. Setiap prestasi yang mampu diraih tidak semudah yang diharapkan. Hampir setiap harinya
mereka mendapatkan perlakuan perundungan yang
secara langsung tidak humanis. Aksi ini menjadi ujian, tidak hanya untuk
mereka, tetapi juga untuk kita semua.
Toleransi Bagi Penyandang Disabilitas
Diskriminasi
muncul karena adanya rasa berbeda dengan orang lain. Pihak tertentu akan
memandang perbedaan adalah sebagai perbedaan dan pasti salah. Hal ini karena
perbedaan dipihak lain dianggap tidak sesuai dengan pendapatnya. Sehingga, konsep perbedaan berujung pada
tindakan penolakan, tidak menghargai, hingga pada tahap diskriminasi. Pada
tahap diskriminasi akan mengundang aksi bully
dan mencela perbedaan. Salah satunya, diskriminasi turut dirasakan oleh para
penyandang disabilitas. Hampir di setiap pemberitaan di berbagai media, banyak
diberitakan tentang aksi bully kepada
para disabilitas, seperti mencelanya dengan istilah “cacat”, menghalangi tuna
netra saat berjalan dan sebagainya. Tindakan ini tidak
semestinya dilakukan. Sehingga, sangat wajar ketika suara mereka terdengar
meminta untuk dilindungi dengan baik.
Dalam sebuah percakapan ringan, Erlina Marlinda selaku pengurus
Children and Youth Disabilities for Change (CYDC) menceritakan bahwa
menjadi disabilitas memang menuai banyak iba dari setiap kalangan, namun masih
perlu diluruskan. Menurutnya, kebanyakan dari kalangan masyarakat umum masih
belum mengerti dengan baik makna toleransi terhadap disabilitas. Mereka hanya
sebatas merasa iba dan menganggap disabilitas adalah kelompok yang patut
dikasihani. Bahkan, menurut pengalamannya, disabilitas kerap dianggap bagian
dari pengemis. Terkait anggapan ini, Erlina meluruskan bahwa toleransi bagi
disabilitas harus ditinjau melalui kesamaan dalam menggunakan akses ruang
publik. Ia menambahkan, para disabilitas juga diberikan hak untuk bersaing
secara kompetitif, baik dalam kegiatan organisasi, pekerjaan dan kegiatan
lainnya. Selain itu, bentuk toleransi lainnya adalah dengan memberikan
pelatihan atau pembinaan kepada para disabilitas agar dapat hidup lebih
mandiri. Harapan ini sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk memberikan
edukasi kepada masyarakat bahwa para disabilitas bukanlah dari kelompok yang
berbeda. Mereka memiliki hak untuk diakui keberadaannya dan prestasinya dengan
bijak.
Berkaca dari cerita di atas, tentu saja perlakuan kebaikan juga perlu
ditorehkan kepada saudara kita yang mengalami disabilitas. Kekurangan yang
mereka alami, sebenarnya adalah kekuatan dan kelebihan yang tidak dimiliki
non-disabilitas. Kelebihan ini tidak sepatutnya direndahkan dan diabaikan,
tetapi beri dukungan dan bantu mereka untuk mengasahkan bakat dan
keterampilannya.
Terkait
usaha untuk menjaga nilai toleransi, sudah banyak sekali komunitas dan lembaga
yang bisa ditiru untuk membina para penyandang disabilitas. Seperti,
terbentuknya ojek online bagi para disabilitas di
Yogyakarta. Ojek online ini didesain khusus untuk para pengguna disabilitas dan diberi nama Difa City Tour. Uniknya, upaya ini juga dinikmati oleh turis dari
mancanegara. Pengemudinya adalah penyandang disabilitas dan telah dilatih
dengan baik untuk mengendarai sepeda motor khusus
difabel. Upaya seperti ini sangat baik untuk ditiru untuk menjaga dan membina
para penyandang disabilitas. Mereka akan terbiasa untuk menikmati hidup bersama dengan orang lain dan memiliki keterampilan mengasah bakat secara
mandiri, meskipun dengan kondisi sebagai penyandang disabilitas. Perlakuan
seperti ini sangat mereka harapkan dan tentu menjadi impian mereka untuk
menduduki tempat yang sama dan diperlakukan sama dengan non-disabilitas. []
Penulis tertarik menulis
tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium
Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA). Dapat dihubungi melalui kontak
fathayatulhusna@gmail.com.