Iklan

Iklan

Saatnya Disabilitas Bangkit!

1/23/22, 18:21 WIB Last Updated 2022-01-23T11:58:01Z


Oleh: Fathayatul Husna | P
egiat media sosial yang sangat tertarik dengan isu-isu sosial, salah satunya adalah isu keberagaman di Aceh

 


DI TENGAH keterbatasan yang dialami oleh para disabilitas, tidak menyurutkan langkah mereka beraktivitas setiap harinya. Meskipun hanya berada dalam lingkungan sederhana, daya pikir dan kreatifitas mereka patut diapresiasi. 


Semasa kuliah, saya berkenalan dengan penyandang disabilitas tuna rungu dan tuna wicara. Uniknya, ia memilih untuk kuliah di jurusan ilmu komunikasi. Sekilas membayangkan, ia tidak akan mampu untuk melanjutkan kuliah di jurusan tersebut. Hal ini dikarenakan keilmuan di bidang ilmu komunikasi akan banyak sekali mempraktikkan cara berkomunikasi secara lisan, seperti menjadi penyiar radio, menjadi seorang jurnalis, pembawa berita (news anchor) dan praktik lainnya. Uniknya lagi, ia berhasil melewati perkuliahan dengan baik. Tentunya didukung oleh para pengajar handal dan teman-teman sekitarnya.

 

Saat perkuliahan, ia memilih untuk fokus pada konsentrasi advertising. Melalui konsentrasi ini ia mengasah bakatnya di dunia iklan, merancang struktur grafis, pembuatan video dan sebagainya. Tidak hanya di bidang perkuliahan, ia juga mengembangkan organisasi khusus tuna rungu Deaf Art Community (DAC) Yogyakarta. Melalui organisasi ini, ia mengajak rekan-rekan tuna rungu untuk mengembangkan diri mereka di bidang seni pertujukan, pantomim, melukis, pembuatan video dan olahraga. Mereka juga berpartisipasi mengajar di Sekolah Semangat Tuli.

 

Deaf Art Community (DAC) menjadi salah satu pilot komunitas berbasis peduli tuna rungu, telah berhasil berkembang dan membimbing setiap anggotanya penuh dengan kreatifitas terbaik. Terbukti, setiap anggota menuai prestasi gemilang tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di kancah internasional. Misalnya, beberapa dari mereka menunjukkan bakat pantomimnya di pentas Swiss. Tidak hanya itu, beberapa lainnya juga telah mengikuti diskusi tuli di New York dan juga berhasil mewakili Indonesia menunjukkan bakat pantomim di Australia. Prestasi gemilang ini menunjukkan bahwa difabel memiliki keahlian khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh non-disabilitas pada umumnya.

 

Berbeda dari cerita ini, saya juga berteman dengan seorang penyandang disabilitas tuna daksa dengan jenis pengidap celebral palsy. Masih dengan cerita di bangku perkuliahan, seorang rekan ini juga menempuh pendidikan sarjana di jurusan ilmu komunikasi. Setiap hari ia kuliah engan menggunakan sepeda motor roda tiga yang dirancang khusus untuk pengidap tuna daksa. Ia juga sesekali membawa kursi roda untuk digunakan saat kaki tidak sanggup lagi berjalan. Beruntung sekali, ia dikelilingi orang-orang baik. Setiap kali akan masuk kelas atau melakukan aktivitas di lantai 2 atau 3, ia dibantu oleh siapa saja yang berada di dekatnya untuk menaiki tangga. Ia sangat pandai dibidang advertising dan siaran radio. Hingga saat ini, ia berhasil menyelesaikan perkuliahannya dan berkarir di bidang periklanan.

 

Cerita disabilitas lainnya juga ditemukan di Aceh, misalnya seorang penyandang tuna daksa bernama Rejeki Meutuhadi. Dalam konten video yang dipublikasi oleh tim Labpsa TV ia menceritakan kehidupannya sebagai penyandang tuna daksa. Sejauh yang ia alami, Aceh masih perlu melakukan pembaharuan dan pembinaan lebih lanjut kepada para disabilitas, misalnya menyediakan layanan fasilitas khusus bagi disabilitas di area masjid. Selain itu, perlu adanya edukasi kepada masyarakat bahwa penyandang disabilitas bukanlah pengemis yang kehadirannya sering diabaikan saat berada di ruang publik. Ia menegaskan bahwa penyandang disabilitas berhak menerima perlakuan secara hormat sama seperti masyarakat pada umumnya. Anjuran ini ia sampaikan untuk menjaga toleransi antar manusia, terutama kepada para penyandang disabilitas.

 

Berdasarkan cerita di atas menunjukkan bahwa penyandang disabilitas tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka tidak berhak untuk diperlakukan secara tidak wajar dan tidak baik untuk diremehkan. Setiap penyandang disabilitas juga ingin membuktikan bahwa kehadiran mereka juga dapat membawakan kebahagian dan manfaat yang besar bagi kehidupan. Buktinya, mereka bisa bersaing di dunia pendidikan, bahkan hingga mancanegara.

 

Penyandang disabilitas ini juga bisa menggunakan ruang publik seperti biasanya, meskipun mereka mengalami sedikit keterbatasan. Kreativitas dan daya saing yang mereka bangun sangat patut diapresiasikan. Setiap prestasi yang mampu diraih tidak semudah yang diharapkan. Hampir setiap harinya mereka mendapatkan perlakuan perundungan yang secara langsung tidak humanis. Aksi ini menjadi ujian, tidak hanya untuk mereka, tetapi juga untuk kita semua.

 

Toleransi Bagi Penyandang Disabilitas

Diskriminasi muncul karena adanya rasa berbeda dengan orang lain. Pihak tertentu akan memandang perbedaan adalah sebagai perbedaan dan pasti salah. Hal ini karena perbedaan dipihak lain dianggap tidak sesuai dengan pendapatnya. Sehingga, konsep perbedaan berujung pada tindakan penolakan, tidak menghargai, hingga pada tahap diskriminasi. Pada tahap diskriminasi akan mengundang aksi bully dan mencela perbedaan. Salah satunya, diskriminasi turut dirasakan oleh para penyandang disabilitas. Hampir di setiap pemberitaan di berbagai media, banyak diberitakan tentang aksi bully kepada para disabilitas, seperti mencelanya dengan istilah “cacat”, menghalangi tuna netra saat berjalan dan sebagainya. Tindakan ini tidak semestinya dilakukan. Sehingga, sangat wajar ketika suara mereka terdengar meminta untuk dilindungi dengan baik.

 

Dalam sebuah percakapan ringan, Erlina Marlinda selaku pengurus Children and Youth Disabilities for Change (CYDC) menceritakan bahwa menjadi disabilitas memang menuai banyak iba dari setiap kalangan, namun masih perlu diluruskan. Menurutnya, kebanyakan dari kalangan masyarakat umum masih belum mengerti dengan baik makna toleransi terhadap disabilitas. Mereka hanya sebatas merasa iba dan menganggap disabilitas adalah kelompok yang patut dikasihani. Bahkan, menurut pengalamannya, disabilitas kerap dianggap bagian dari pengemis. Terkait anggapan ini, Erlina meluruskan bahwa toleransi bagi disabilitas harus ditinjau melalui kesamaan dalam menggunakan akses ruang publik. Ia menambahkan, para disabilitas juga diberikan hak untuk bersaing secara kompetitif, baik dalam kegiatan organisasi, pekerjaan dan kegiatan lainnya. Selain itu, bentuk toleransi lainnya adalah dengan memberikan pelatihan atau pembinaan kepada para disabilitas agar dapat hidup lebih mandiri. Harapan ini sudah seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa para disabilitas bukanlah dari kelompok yang berbeda. Mereka memiliki hak untuk diakui keberadaannya dan prestasinya dengan bijak.

 

Berkaca dari cerita di atas, tentu saja perlakuan kebaikan juga perlu ditorehkan kepada saudara kita yang mengalami disabilitas. Kekurangan yang mereka alami, sebenarnya adalah kekuatan dan kelebihan yang tidak dimiliki non-disabilitas. Kelebihan ini tidak sepatutnya direndahkan dan diabaikan, tetapi beri dukungan dan bantu mereka untuk mengasahkan bakat dan keterampilannya.

 

Terkait usaha untuk menjaga nilai toleransi, sudah banyak sekali komunitas dan lembaga yang bisa ditiru untuk membina para penyandang disabilitas. Seperti, terbentuknya ojek online bagi para disabilitas di Yogyakarta. Ojek online ini didesain khusus untuk para pengguna disabilitas dan diberi nama Difa City Tour. Uniknya, upaya ini juga dinikmati oleh turis dari mancanegara. Pengemudinya adalah penyandang disabilitas dan telah dilatih dengan baik untuk mengendarai sepeda motor khusus difabel. Upaya seperti ini sangat baik untuk ditiru untuk menjaga dan membina para penyandang disabilitas. Mereka akan terbiasa untuk menikmati hidup bersama dengan orang lain dan memiliki keterampilan mengasah bakat secara mandiri, meskipun dengan kondisi sebagai penyandang disabilitas. Perlakuan seperti ini sangat mereka harapkan dan tentu menjadi impian mereka untuk menduduki tempat yang sama dan diperlakukan sama dengan non-disabilitas. []

 

 

Penulis tertarik menulis tulisan ini setelah melihat dan membaca beberapa karya dari Laboratorium Pengembangan Sosial Keagamaan (LABPSA). Dapat dihubungi melalui kontak fathayatulhusna@gmail.com.

 

 

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Saatnya Disabilitas Bangkit!

Terkini

Topik Populer

Iklan