WASATHA.COM, BANDA ACEH – Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPAA) mengapresiasi kinerja kepolisian dalam penanganan kasus prostitusi yang melibatkan anak di Pidie, dan juga kinerja P2TPA dan pihak-pihak terkait lainnya dalam memberikan pendampingan medis, hukum dan psikologis terhadap anak-anak yang menjadi korban prositusi tersebut.
“KPPPA mengharapkan pelaku utama
yang menyediakan jasa prostitusi anak dan pengguna serta pihak-pihak terkait
lainnya dihukum seberat-beratnya dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan
Anak. Selanjutnya, harus dilakukan pendampingan terhadap korban secara holistik
dan berkelanjutan, sehingga korban terpulihkan dan tidak kembali terjerumus ke
dalam praktik prostitusi. Jika dibutuhkan, korban juga dapat dirujuk sementara
waktu di rumah aman atau tempat penampungan sementara untuk pemulihan, rehabilitasi
medis dan psikososialnya”, tegas Ayu Ningsih SH,M.Kn, Komisioner KPPAA.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Nevi Ariani SE menjelaskan posisi korban
saat ini dalam pendampingan P2TP2A Pidie dengan tetap berkoordinasi dengan
pihak-pihak terkait.
“Korban sudah mendapatkan
pendampingan hukum dan psikologis oleh P2TP2A Pidie sejak penggerebekan
terjadi. Saat ini dalam proses pendampingan untuk dilakukannya diversi. Kepada
orang tua dan masyarakat harus membantu korban untuk pulih dan menerimanya
dengan baik tanpa lebel negatif, juga penting mengawasi perkembangannya,
sehingga korban merasa lebih diperhatikan. Selain itu upaya memperkuat
ketahanan keluarga melalui 8 fungsi keluraga sebagai pondasi ketahanan juga
menjadi keharusan sebagai tindakan pencegahan”, paparnya
Direktur Flower Aceh, Riswati
mengingatakan pentingnya komitmen dan aksi nyata semua pihak untuk melindungi
dan mencegah anak dari kekerasan dan kejahatan seksual.
“Komitmen semua pihak harus jelas
melalui macam-macam intervensi yang berdampak kepada korban. Dapat melalui
dukungan kebijakan dan anggaran perlindungan anak, partisipasi
aktif aparatur desa, tokoh adat dan tokoh agama, serta masyarakat di
desa dalam melindungi dan mengawasi anak menjadi hal utama agar anak dapat
hidup aman dan layak. Terhadap korban, pemerintah harus memastikan
hak-haknya mendapatkan pendampingan, pemulihan fisik dan psikis, dan proses
reintegrasi ke masyarakat berjalan dengan baik sehingga korban tidak menjadi
korban kedua kalinya karena label-label negatif yang dilekatkan akibat
pemberitaan buruk”, jelasnya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh
Lolandra, Ketua Forum Anak Tanah Rencong (FATAR), “Kami berharap pemeritah Aceh
dan semua pihak melakukan upaya pencegahan dan memberikan hak kepada anak
korban kekerasan seksual secara paripurna, untuk pelaku yang terlibat dalam
prostitusi yang melibatkan anak harus dihukum seberat-beratnya. Anak merupakan
aset yang paling berharga dan harus dilindungi karena anak adalah penerus
bangsa yang akan menggantikan peran-peran orang dewasa di masa depan”,
tutupnya.
Menyikapi kasus pembunuhan anak
usia 9 tahun dan pemerkosaan terhadap ibunya di Aceh Timur, maka Nevi Ariani,
Ayu Ningsih, Riswati dan Lolandra berharap agar pelaku dihukum seumur hidup
serta merekomendasikan kepada pihak terkait agar pelaku kejahatan seksual tidak
mendapatkan remisi atau bentuk pemotongan masa tahanan lainnya. Sementara untuk
korban, harus dipastikan mendapatkan keadilan dan pemenuhan terhadap hak-haknya.