Tentu saja para pedagang tetap harus membuka warungnya untuk menjaga kestabilan ekonomi mereka, dengan cara tidak mengizinkan para pengunjung minum di tempat. Pengunjung cukup datang dan membeli apa yang mereka butuhkan kemudian dinikmati di rumah masing-masing.
Ruhul Maisyarah |
HINGGA saat ini, virus Corona masih menjadi momok menakutkan bagi masyarakat dunia. Berawal dari kemunculannya di Wuhan, China kemudian menyebar ke berbagai negara termasuk Indonesia. Angka kematian akibat virus Corona di Indonesia menjadi yang paling tinggi di Asia Tenggara, dengan total 309 kasus korban positif dan angka kematian mencapai 25 orang.
Imbauan untuk mencuci tangan dan menghindari keramaian kerap kali diimbau oleh pemerintah untuk menghindari penyebaran virus tersebut. Tak hanya itu, pemerintah juga mengambil kebijakan lockdown (isolasi mandiri) dengan cara meliburkan kegiatan belajar mengajar mulai dari tingkat PAUD hingga Universitas. Para pemilik perusahaan pun banyak yang menghimbau pekerjanya untuk bekerja dari rumah.
Di Aceh sendiri, pemerintah juga ikut mengedarkan imbauan untuk melakukan isolasi mandiri selama 2 pekan (14 hari). Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah telah mengeluarkan surat edaran berisi imbauan agar proses belajar mengajar dilakukan di rumah selama dua pekan (14 hari), sebagai upaya pencegahan virus Corona.
Namun uniknya, masih ada saja masyarakat yang tidak patuh dengan hal tersebut. Memang, sebagian tempat di pusat-pusat kota terlihat lengang, namun siapa sangka kebanyakan masyarakat masih memadati warung kopi. Mungkin ini memang salah satu bagian dari budaya masyarakat Aceh yang sangat menyukai kopi hingga Aceh sering kali disebut sebagai “Negeri Seribu Warung Kopi”.
Dengan mewabahnya virus ini, seharusnya masyarakat lebih bisa menjaga diri agar angka penyebaran virus Corona bisa ditekan. Karena kebijakan ini ditetapkan untuk kebaikan masyarakatnya sendiri. Jika masjid saja sudah tidak menggunakan sajadah, warkop juga tidak perlu pakai “nongkrong”.
Tentu saja para pedagang tetap harus membuka warungnya untuk menjaga kestabilan ekonomi mereka, dengan cara tidak mengizinkan para pengunjung minum di tempat. Pengunjung cukup datang dan membeli apa yang mereka butuhkan kemudian dinikmati di rumah masing-masing.
Bercermin dari beberapa negara yang terdampak pandemik ini, hampir seluruhnya mengalami kekurangan rumah sakit. Di antaranya bahkan harus menjadikan hotel dan asrama untuk menampung para pasien Corona.
Akankah warung kopi di Aceh akan ikut menampung pasien? mengingat masyarakat lebih suka meramaikan warung kopi dibandingkan berdiam diri di rumah. Apa salahnya menahan diri untuk sementara waktu hingga semuanya kembali menjadi kondusif. Mungkin kita merasa diri baik-baik saja, namun bukan berarti kita tidak bisa terserang virus tersebut.
Sejatinya, kebijakan libur corona ini ditetapkan untuk melindungi masyarakat dari kepanikan dan bisa megisolasi dirinya sendiri agar tidak terpapar virus Corona, hendaknya kita gunakan dengan semestisnya. Stay safe, libur bukan berarti liburan. Lock Down Warkop!
(Ruhul Maysarah-Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry)