BJ Habibie |
KITA yang lahir di
era 70-80 an tentu masih ingat narasi tentang BJ Habibie. Melekat padanya
sebagai orang cerdas, manusia Indonesia yang hebat bisa mencipta pesawat
terbang. Lelaki cerdas itu bernama
lengkap Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc.
Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie.
Orangtua kita
sering memotivasi menjadi manusia cerdas seperti BJ Habibie. Saat sekolah
dasar, saya sangat mudah ingat nama
beliau karena di masa Orde Baru nama kabinet pemerintahan jarang sekali
berubah, berbeda dengan sekarang.
Nama BJ Habibie
sulit kita pisahkan dari jabatannya sebagai Menteri Riset dan Teknologi
(Menristek). Saya sering diajarkan oleh guru dan orangtua di rumah untuk
menjadi seperti seorang Habibie.
Tidak heran,
periode masa kelahiran kami banyak anak bernama Habibie. Rata-rata nama
disematkan sebagai doa dan harapan agar kelak seorang anak menjadi manusia
super cerdas yang dapat membawa nama harum Indonesia.
Beruntung, saya dapat bertemu BJ Habibie ketika saya
bertugas sebagai wartawan. Harapan sebagai anak kampung melihat Habibie
berbicara lebih dekat terwujud pada tahun 2005. Saat itu, kali pertama BJ
Habibie meresmikan asrama yatim bantuan Yayasan Habibie Center di Kuta
Baro, Aceh Besar.
Asrama itu, kini menjadi
Pesantren Sulaimaniyah, pondok tahfizd yang dikelola oleh United Islamic
Cultural Center of Indonesia Foundation. Luar biasa, saya berdiskusi dan bertanya tentang masa
depan Aceh pasca musibah gempa dan tsunami. Tiada kata pesimis dari seorang
Habibie untuk masa depan Aceh. Ia berikan wejangan dan semangat hidup bagi Aceh
pascamusibah. Cara Habibie berkomunikasi sangat enak, ia dapat duduk sama
rendah berdiri sama tegak bersama lawan bicaranya.
Cara menyapa dan
menerima kehadiran orang yang baru bertemu menjadi ciri khas BJ Habibie. Kesan
pertama, penerimaan yang hangat menjadi sulit melupakan pertemuan saya dengan
Habibie. Bersama Tanthawi Ishak, saat itu Habibie masih cukup sehat dan
banyak berkegiatan, ibu Ainun pun masih
terus mendampinginya ke mana pun Habibie pergi. Pertemuan saya tidak lama,
sekira dua jam di sela-sela peresmian asrama untuk yatim di Aceh.
Di era keemasan
nama Habibie, narasi manusia yang beriman takqwa dan iman iptek (imtaq) juga
menghiasi jagat literasi yang digagas Habibi untuk Indonesia maju di era lepas
landas, istilah yang melekat pada masa Orde Baru. Kehadiran Ikatan Cendikiawan
Muslim Indonesia (ICMI) di awal tahun 1990
tidak lepas dari sosok Habibie saat itu. Ia dikenal sebagai aktor yang
membidani kelahiran organisasi tersebut dan menjadi ketua umum pertama.
Habibie adalah
narasi orang pintar di Indonesia, lahir dari keluarga muslim yang taat di
Pare-pare Sulawesi Selatan pada 25 Juni 1936. Karir puncak BJ Habibie ialah
menjadi Presiden Republik Indonesia ke-3 pasca berakhirnya Orde Baru yang juga
membesarkan namanya.
Kembali ke cerita
pertemuan saya dengan Habibie, orang pintar dan cerdas itu sempurna ia miliki dengan
karakter akhlak yang karimah. Cara ia memperlakukan orang di depannya, itu yang
saya rasakan, ialah memberi spirit hidup dan menganggap kita itu juga orang
hebat yang harus bangkit menjadi bagian yang memberi inspirasi bagi masyarakat.
Rabu, 11 September
2019, BJ Habibie kembali kepada Sang Khalik, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun…..
Selamat Jalan Eyang, jasamu untuk negeri sangat luar biasa.
Itulah timbangan
amaliah bagi pencerdasan umat, kelak ini menjadi jalan lurus dan shirat mustaqim yang akan mengantarkan
Eyang ke Surga keabadian, amiin. [Arif Ramdan]