Kolase Rizki Ardial, Presma UIN Ar-Raniry (Kiri) dan Mahfud MD (Kanan) |
WASATHA.COM | Banda Aceh – Pernyataan Mahfud MD pada salah satu
televisi swasta nasional menjadi viral diperbincangkan di tanah air baru-baru
ini.
Hal tersebut viral karena pernyataannya dalam potongan wawancara
pada siaran tayangan televisi tersebar luas di media sosial.
Menganggapi hal tersebut, Rizki Ardial Z, Presiden Mahasiswa (Presma)
Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, mendesak mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Mahfud MD untuk meminta maaf atas pernyataannya yang melukai hati
masyarakat Aceh.
“Mahfud MD harus meminta maaf kepada rakyat Indonesia, khususnya
Aceh karena pernyataannya yang menyebutkan provinsi garis keras dalam hal agama
termasuk Aceh itu tidak mendasar,” jelasnya kepada Wasatha.com, Senin
(29/4/2019) di Banda Aceh.
Menurutnya, keislaman dan karakteristik masyarakat Aceh jangan
dihubung-hubungkan dengan situasi politik.
“Sangat kita sayangkan seorang profesor yang juga mantan ketua
mahkamah konstitusi mengeluarkan penyataan semacam itu,” sebutnya.
Presma UIN juga mengatakan, secara
konstitusi Aceh mendapatkan kekhususan dan keistimewaan untuk menjalankan
syariat Islam secara kaffah.
“Masyarakat Aceh hampir secara keseluruhan menganut agama Islam,
namun tidak pernah kita dapatkan adanya upaya-upaya pengislaman bagi nonmuslim
secara keras di Aceh,” jelasnya.
Ia juga menyesalkan pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut
karena menurutnya masyarakat Aceh masih sangat menghormati orang yang menganut kepercayaan
agama lain.
“Buktinya masih ada non-muslim yang hidup berdampingan dengan umat
Islam di Aceh. Jadi dari sudut pandang yang bagaimana beliau berani mengatakan
bahwa Aceh salah satu daerah penganut Islam garis keras.
Selain itu, ia juga menjelaskan
bahwa Aceh dulunya memang pernah terjadi konflik, tetapi bukan konflik antar
agama.
“Memang dulu kita pernah terjadi Konflik, tapi itu bukan konflik
agama, bukan konflik antara muslim dengan nonmuslim, melainkan Gerakan Aceh
Merdeka dengan Republik Indonesia,” ungkapnya.
Namun katanya, setelah terjalinkan kesepakatan damai, janganlah
kekerasan ini dihubung-hubungkan dengan hal lain.
“Kalau kita sudah sepakat berdamai, jangan katakan lagi kita garis
keras, kalau memang kita masih dianggap garis keras maka mungkin perdamaian itu
tidak akan pernah terjadi,” terangnya.
Ia berharap agar kedepan
pandangan orang terhadap Aceh tidaklah dibesar-besarkan menjadi sesuatu yang
menakutkan.
“Jadi pandanglah Aceh jangan hanya dari hal itu saja, tapi
pandanglah Aceh dengan rakyatnya yang ramah, bersahabat, mencintai perdamaian
dan Islam itu Rahmatallil'alamin,” pungkasnya. []