Oleh Bahron Ansori*
Tidak tanggung-tanggung,
setiap urusan manusia diatur oleh Islam, sampai perkara yang kita anggap sepele
pun Islam ada di sana apalagi dalam perkara yang besar. Ini sebagai bukti bahwa
Allah Maha Mencintai hamba-Nya, karena aturan Allah berarti kasih sayang Allah.
Jika patuh, cinta Allah akan tercurah dan jika membangkang, murka Allah akan
didapat.
Pertama, Islam mengajarkan agar meninggalkan yang
sia-sia. Dalam kaca mata dunia saja, yang sia-sia itu akan mengantarkan kepada
kerugian. Ketika yang lain asyik menyimak guru, si A malah enjoy dengan lamunan
dan khayalannya. 100% si A tidak akan mendapatkan ilmu yang disampaikan guru.
Alhasil, ya... ketika guru memberikan soal latihan, ia sibuk tanya sini tanya
sana, tengok kiri tengok kanan, padahal soalnya mudah banget. Jadi ngerepotin
temen deh....
Kedua, kita dibimbing agar tidak menunda-nunda waktu.
Hari ini, ya... hari ini. Esok, ya... esok. Pemanfaatan waktu yang efektif akan
membuahkan kemenangan dalam kompetisi merebutkan “piala”. Dalam kamus sang
pemenang, tidak akan ditemukan waktu luang. Guliran waktu selalu penuh dengan
hal-hal positif. Mereka memiliki keyakinan tinggi bahwa, hidup itu bukan
kemarin bukan juga esok hari. Hidup itu hari ini, detik ini. Kalau hari ini,
detik ini, tidak dimanfaatkan, berarti ia tidak “hidup”.
Jadi, mari kita gunakan
waktu secara optimal guna menepi di puncak harapan. Pepatah mengatakan, “waktu
itu bagaikan pedang”. Jika waktu tidak dikuasai, maka ia akan menyabit leher
kita alias kita akan terjun ke lembah kerugian. Kuasai waktu, manfaatkan untuk
hal positif, dan azamkan bahwa kita akan meraup keberhasilan dengan tidak
menyisakan waktu luang.
Ketiga, dalam melaksakan aktivitas, kita dituntut untuk
profesional. Profesionalitas yang tinggi akan menjadi salah satu penunjang
untuk menjadi yang pertama sampai di garis finish di sirkuit kehidupan,
sehingga kita akan berdiri di podium dan mengangkat tropi kemenangan sambil
sumringah tersenyum. Rasulullah mewanti-wanti, “Jika suatu urusan diserahkan
bukan pada ahlinya, tunggulah kehancurannya.”
Kehancuran tersebut bisa
datang kapan saja andaikata kita lengah dengan sikap profesional di setiap
aksi. Bisa berupa nilai jeblok andai ia seorang pelajar, hengkangnya rekan
bisnis kalau ia seorang businessman, perginya pelanggan jika ia seorang
pedagang, menjauhnya teman dekat, dihinakan masyarakat jika ia seorang pemabuk,
dll.. Profesionalitas yang ditunjukkan seseorang membuktikan kedewasaan dan
gesag yang dimilikinya. Sehingga orang akan menghargai dan tidak menyepelekannya.
Keempat, Allah Swt. memberikan wejangan bahwa, setiap hal
yang kita perbuat akan berbalaskan ganjaran setimpal. Amal baik ganjarannya
baik. Amal buruk ganjarannya buruk. Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan
yarahu, waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarahu. Maka siapa saja yang
mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah (molekul terkecil) pun, ia akan melihat
ganjarannya (surga); dan siapa saja yang mengerjakan amal kejelekan sebesar
dzarrah pun, ia akan melihat ganjarannya (neraka).” (Qs. Al Zalzalah [99]:
7-8).
Kelima, sikap hati-hati dalam hidup akan menguncupkan
buah yang matang nan manis. Sikap hati-hati bisa juga dikatakan sebagai sikap
takwa. Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab (sekrertaris
wahyu Rasulullah) mengenai arti takwa. Ubay menjawab, “Pernahkah engkau
menyusuri jalan yang penuh dengan duri dan kerikil tajam?” “Ya, pernah,” jawab
Umar.
Ubay membalas, “Apa yang
kau lakukan saat itu?” Sontak Umar menjawab, “Saya hati-hati memilih jalan.”
“Nah, itulah takwa.” jawab Ubay lugas. Yap... berhati-hatilah dalam melangkah
karena takut dosa, berhati-hatilah dalam beribadah karena takut salah,
berhati-hatilah dalam mengonsumsi barang karena takut haram, dan
berhati-hatilah dalam berbicara karena takut menyinggung.
Keenam, Rasulullah mengajarkan kepada kita agar selalu
hidup jujur. Jujur dalam berbicara dan jujur dalam beramal. Sikap jujur akan
membawa kita menuju al-birr (kebaikan) dan kebaikan akan membawa kita menuju
al-jannah (surga). Ketika seseorang sudah berani berbicara tidak jujur, minimal
madaratnya akan dirasakan di dalam hatinya. Ia tidak tenang berhadapan dengan
orang yang dibodohinya, karena takut ketahuan. Ketika seseorang sudah biasa
dengan sikap tidak jujur, maka madaratnya akan ia rasakan dunia-akhirat. So...
jujur adalah mata uang yan berlaku di mana-mana. Dusta adalah mata uang palsu
yang tidak berlaku di seluruh dunia. Mengedarkan “mata uang palsu” akan
dijebloskan ke dalam “sel” oleh Allah swt..
Ketujuh, berprasangka buruk bukanlah solusi hidup yang
benar. Ari Ginanjar Agustian dalam ESQ-nya mengisahkan seorang karyawan yang
tiba-tiba menguap di tengah seriusnya rapat staff. Sontak, peserta rapat
melihatkan muka yang masam kepada karyawan tersebut. Pun dengan pimpinan rapat.
Ia menegurnya dengan emosional. Ia menyalahkan sikap karyawan tersebut yang
seolah tidak menganggap serius rapat yang sedang berlangsung.
Namun, karyawan tersebut
tidak tinggal diam, ia membela dirinya dan mengatakan bahwa semalaman ia tidak
tidur karena anaknya sedang di rawat di rumah sakit. Untuk menghadiri rapat pun
ia harus meninggalkan anaknya yang tengah merasakan sakit yang secara
psikologis memerlukan motivasi untuk sembuh terutama dari ayah dan ibunya.
Merahlah muka si pimpinan rapat tersebut karena telah berburuk sangka. Berprasangka
sama saja dengan memakan daging mayat saudara kita walaupun prasangka itu tepat
sasaran (lihat Qs. Al-Hujuraat [49]: 12).
Nah, bagi kita yang
mendambakan keberhasilan dalam aktivitas, baik hablun minallah (hubungan dengan
Allah) maupun hablun minannas (hubungan dengan sesama), milikilah di dalam diri
dan sikap kita ketujuh hal yang telah disebutkan di muka. Insya Allah, harapan
yang kita rencanakan akan berwujud menjadi kenyataan.
*Pemerhati masalah sosial
dan agama, menetap di Majalengka