WASATHA.COM, Banda Aceh - Jumlah penduduk miskin di Aceh saat ini mencapai 15,68 persen. Meski menurun dibanding periode sebelumnya, yaitu sebesar 15,97 persen, namun angka tersebut masih yang tertinggi di Pulau Sumatera.
Salah satu upaya untuk menurunkan persentase kemiskinan di Aceh
adalah pemerintah harus memperkuat atau memberdayakan sektor pertanian dan
perikanan yang didukung dengan industri dan usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM). Demikian antara lain disampaikan Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI)
Aceh, Zainal Arifin Lubis, kepada Serambi, Rabu (16/1).
Selain itu,
menurutnya, pada Agustus 2018 persentase pengangguran di Aceh sebesar 6,36
persen dan menempatkan Aceh pada posisi tertinggi kedua di Sumatera. Angka ini
juga menurun dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu 6,57 persen.
“Tantangan ekonomi Aceh dari domestik yaitu peningkatan angka pengangguran dan
kemiskinan. Hal ini jelas perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah,”
ungkapnya.
Ia menyarankan,
secara struktural agar dilakukan pemberdayaan terhadap sektor pertanian dan
perikanan. Sebab, kedua sektor itu dapat menyerap tenaga kerja yang lebih
banyak. “Itu saja fokusnya, karena Aceh punya pertanian dan perikanan,”
katanya.
Zainal Arifin
menjelaskan, tantangan ekonomi Aceh yang lain adalah 2019 merupakan tahun
politik. Bila tak dikelola dengan baik, maka tahun politik dapat menimbulkan
ketidaknyamanan bagi investor. Kemudian, elite dan masyarakat terfokus ke isu
politik, sehingga mengesampingkan masalah ekonomi. Selanjutnya, menurut Zainal,
praktik korupsi dapat meningkat karena tingginya biaya politik.
Ia juga menyatakan,
ekonomi Aceh masih sangat tergantung pada APBA. Buktinya, dari rata-rata
pertumbuhan ekonomi tahunan Aceh (2013-2017) sebesar 2,18 persen, 0,55 persen
di antaranya merupakan kontribusi dari belanja pemerintah. Sementara APBA masih
bergantung pada dana otsus. Tahun 2018 dana otsus menyumbang 83 persen dari
total APBA. Namun, dana otsus akan berkurang mulai 2023 dan berakhir pada 2027.
Tantangan lain bagi
ekonomi Aceh, kata Zainal Arifin, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dikatakan, hal itu sebagai akibat dari ditundanya beberapa proyek strategis
nasional (PSN) di Aceh dan berkurangnya investasi swasta akibat penguatan dolar
Amerika. “Perlambatan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan harga barang dapat
mendorong peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan,” sebutnya.
Ditmbahkan, Aceh
memiliki banyak peluang yang dapat dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi. Salah satunya, kemampuan pembiayaan dari APBA yang tinggi. “APBA
sebesar Rp 15,1 triliun merupakan yang terbesar di Sumatera. Karena itu, perlu
dioptimalkan penggunaannya dengan cara disalurkan ke sektor yang memiliki daya
ungkit tinggi terhadap perekonomian,” jelas alumnus Fakultas Ekonomi Unsyiah,
Banda Aceh ini.
Peluang lain bagi
ekonomi Aceh, tambah Zainal Arifin, adalah Aceh memiliki potensi yang besar
untuk mengembangkan perikanan, karena wilayahnya dikelilingi perairan yang kaya
ikan. “Contohnya, Banda Aceh merupakan satu dari tiga tempat di dunia yang
cocok dijadikan tempat budidaya tuna,” demikian Zainal Arifin Lubis seraya
menambahkan pariwisata juga merupakan peluang ekonomi Aceh.
Dana desa melimpah
Sementara itu,
kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan akademisi terkejut dan
mempertanyakan fenomena yang terjadi di Aceh saat ini. Dana desa tahun 2018
terserap 99,9 persen (Rp 4,455) triliun dari total pagu Rp 4,459 triliun.
Anehnya, jumlah penduduk miskin di desa menurut data dari BPS pada periode
Maret-September 2018 malah naik 0,03 persen dari 18,49 menjadi 18,52 persen.
Kondisi itu sangat bertolak belakang dengan tujuan penyaluran dana desa yaitu
untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan menimgkatkan kesejahteraan
masyarakat desa. Ini berarti ada yang salah dalam penggunaan dan pemanfaatan
dana desa.
Hal ini disampaikan
Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian dan Pakar Ekonomi
Unsyiah, Rustam Effendi, secara terpisah kepada Serambi, Rabu (17/1), ketika
dimintai tanggapan soal meningkatkan jumlah penduduk miskin di desa pada
periode Maret-September 2018, seperti dipublis BPS Aceh, Selasa (15/1).
Hal ini disampaikan
Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian dan Pakar Ekonomi
Unsyiah, Rustam Effendi, secara terpisah kepada Serambi, Rabu (17/1), ketika
dimintai tanggapan soal meningkatkan jumlah penduduk miskin di desa pada
periode Maret-September 2018, seperti dipublish BPS Aceh, Selasa (15/1).
Menurut Rustam,
penduduk miskin di Aceh meningkat meski dana desa yang terserap pada tahun 2018
mencapai 99,9 persen disebabkan oleh dana desa tahun lalu senilai Rp 4,4
triliun lebih banyak digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa yang kurang
menyerap tenaga kerja lokal dan bukan padat karya. Begitu juga pada tahun-tahun
sebelumnya. Padahal, kata Rustam, Presiden serta Kementerian Desa dan
PDTmengamanatkan agar pembangunan fisik menggunakan dana desa harus dikerjakan
dengan pola swakelola atau padata karya, yang melibatkan banyak warga setempat.
Sehingga upah yang diberikan kepada pekerja diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan penduduk miskin di desa yang bersangkutan.
Selain itu, lanjut
Rustam, dalam pelaksanaan proyek fisik, sumber daya tenaga dan bahan material
desa setempat tak dipakai secara maksimal. Banyak proyek desa yang dibangun
tidak menggunakan bahan material dari desa setempat, tapi didatangkan dari desa
lain. Akibatnya, dana desa tidak memberdayakan ekonomi warga setempat secara
maksimal. Selain itu, tambah Rustam Effendi, dana desa tak diarahkan secara
proporsional untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Padahal, jika porsi untuk
pemberdayaan masyarakat besar, pasti akan memberi dampak positif bagi
pengurangan penduduk miskin.
Program pengurangan
penduduk miskin yang dilakukan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota
selama ini, menurut Rustam, belum mampu menjawab fenomena yang ada. Hampir
semua dinas mengusulkan program pengentasan kemiskinan dalam rencana kerja
tahunannya dengan anggaran yang cukup besar. Tapi proyek dan kegiatan yang
dijalankan belum mengacu pada kebutuhan warga miskin.
Ditambahkan, daya serap
APBA 2018 sekitar 80-an persen dari total pagu Rp 15,08 triliun juga ikut
memengaruhi pengurangan penduduk miskin di desa menjadi sangat rendah. Apalagi,
pembangunan 4.000 rumah duafa pada tahun lalu tak terlaksana. Sehingga
pengurangan penduduk miskin menjadi semakin kecil. Padahal, peran proyek rumah
duafa untuk pengurangan penduduk miskinbisa mencapai 7,2 persen. Kecuali itu,
pada tahun lalu banyak proyek APBA yang seharusnya menjadi sumber pekerjaan
buruh bangunan, tidak terealisasi. “Ini juga menjadi salah satu faktor menambah
jumlah penduduk miskin di desa,” pungkas Rustam Effendi.
Sementara Koordinator
MaTA, Alfian mengatakan, penduduk miskin di Aceh meningkat karena program
percepatan pemberantasan kemiskinan di provinsi dan kabupaten/kota belum berjalan
terintegrasi di level gampong. Menurutnya, program pemberantasan yang
dilaksanakan di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan gampong, berjalan
sendiri-sendiri.
Selain itu, sejak
dana desa digulirkan tahun 2015 hingga 2018, usulan program gampong masih tetap
difokuskan pada pembangunan fisik atau infrastruktur nonpadat karya yang kurang
mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam jangka pendek. Padahal,
menghidupkan berbagai kegiatan usaha di desa, menjadi hal utama dalam usulan
pembangunan desa.
Penyebab ketiga,
sebut Alfian, perencanaan gampong masih cenderung tertutup dan tidak
transparan. Padahal, pelibatan warga menjadi tujuan utama dalam perencanaan
gampong. Keempat tata kelola keuangan yang masih rawan penyimpangan, akses
transparansi dan akuntabilitas masih jauh dari harapan warga dan berujung
kepada terjadi krisis ketidakpercayaan kepada keuchik dan runtuhnya nilai
sosial secara nyata.
Kadis Pemberdayaan
Masyarakat dan Gampong Aceh, Bukhari yang dimintai tanggapan terkait meningkatnya
penduduk miskin di desa mengatakan, mulai tahun ini dana desa senilai Rp 4,9
triliun akan difokuskan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan. “Kalau
pun ada dana desa tahun 2019 yang digunakan untuk pembangunan fisik, itu
sifatnya mendorong pemberdayaan ekonomi masyarakat. Tujuannya, untuk mengurangi
penduduk miskin di pedesaan dalam jumlah yang lebih banyak lagi,” ungkap
Bukhari didampingi Kabid Pemberdayaan Masyarakata Desa, T Zul Husni.
Hal itu, menurutnya,
sesuai Permendes Nomor 18 Tahun 2018, usulan program pemberdayaan ekonomi harus
mendapat porsi terbesar dalam penggunaan desa tahun 2019. Porsinya bisa
mencapai 70 persen dan sisanya 30 persen untuk infrastruktur dan lain-lain.
Karena itu, kata
Husni, diperlukan regulasi dari bupati/wali kota yang mewajibkan usulan program
dan penggunaan dana desa pada tahun ini agar semua gampong memberikan porsi
besar atau minimal 70 persen untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. [Sumber : Serambinews.com]