T Lembong Misbah |
SEORANG dosen terutama yang senior acapkali disapa oleh seseorang yang tidak dikenalinya, orang itu kerap dengan bangga mengaku sebagai mahasiswa pada tahun atau leting sekian.
Wajar saja sang dosen kadang lupa dengan mahasiswa yang dulu pernah diajarinya karena rentang waktu yang cukup lama memisahkan mereka, sebab ada yang menyebut leting 80-an, 90-an dan seterusnya.
Dalam pertemuan seperti itu biasanya ada kisah haru, sang dosen acapkali menanyakan posisi atau kegiatan si mahasiswa dalam kesehariannya.
Kerap si mahasiswa menyebut sudah jadi Kepala Sekolah, Kepala Dinas, anggota dewan, jadi pengusaha sukses dan lain sebagainya.
Sang dosen pun acapkali merasa kagum, bangga dan senang mendengar kesuksesan yang diraih oleh si mahasiswa itu, namun tak jarang pula sang dosen jadi “malu hati” manakala ia mengingat dengan pasti siapa sebenarnya mahasiswa yang berada di hadapannya.
Ironisnya mahasiswa yang terlanjur dipuji dan dibangga-banggakannya pada awal perjumpaan itu ternyata adalah si Mae yang dulu pernah dimarahi, direndahkan, dicemoohi dan dianggap bodoh oleh sang dosen karena dinilai tidak mampu menguasai materi kuliah yang diajarkan.
Mengetahui hal itu jantung sang dosen berdegup kencang dan dari lubuk hatinya yang paling dalam, batinnya berkata seakan tak percaya “bagaimana mungkin orang yang dulu dianggap lemah tidak potensial, bodoh lalu muncul sebagai sosok yang energik dan sukses.”
Goncangan jiwa sang dosen semakin kencang, ketika si mahasiswa berkata “untung bapak dulu memarahi saya, mungkin jika bapak tidak marah-marah maka tidak mungkin saya bisa seperti ini”.
Ungkapan ini boleh jadi tulus dan benar dan boleh jadi kata satir yang ingin memberi pesan pada sang dosen “anda jangan pernah memandang orang lain bodoh, lemah dan hina, setiap orang punya potensi untuk sukses dan maju.”
Mungkin juga hal itu suatu ungkapan balas dendam, sebagaimana kerap diucapkan orang bijak bahwa cara balas dendam paling indah adalah menjadi lebih sukses daripada orang yang sudah menghina diri kita.
Karena itu menghina dan menyepelekan orang lain tentunya bukanlah sesuatu yang bijak, justru kerap dijumpai orang yang suka menghinalah kemudian jadi orang terhina.
Jadi! jangan pernah meremehkan orang paling bodoh sekalipun. Karena bisa jadi suatu saat kita akan mengemis meminta pertolongan padanya. Kita tidak pernah tahu orang yang kita remehkan itu memiliki kelebihan unik yang tidak kita miliki.
Firman Nofeky berkata: “Jangan suka meremehkan kelemahan orang lain. Sebab jika kata remeh Anda itu menjadi kendaraan motivasi baginya, Anda akan ditabrak oleh perkataan Anda sendiri.”
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11).
Ayat di atas menyiratkan bahwa sikap dan perilaku seseorang yang suka merendahkan orang lain, bagaikan kodok menertawai kepompong.
Kodok tidak pernah tahu bahwa kepompong itu akan bisa terbang nantinya, tidak seperti kodok yang cuma pandai melompat. Karena itu hanya orang kerdil sajalah seperti kodok yang bisa meremehkan orang lain, karena orang hebat selalu menghormati orang-orang yang lebih lemah darinya.
So! sejatinya setiap insan beriman terutama seorang dosen, dituntut agar tidak pernah meremehkan siapapun, jika tidak ingin “malu hati” dikemudian hari. Sebab sikap dan perilaku semacam itu akan bisa berbalik gagang dan menghantam diri kita suatu saat.
Seyogyanya hargailah setiap potensi orang lain dan tidak ada manusia yang pantas untuk diremehkan. Semua manusia sama di mata Allah, kecuali orang yang paling bertakwa. []