SALAH seorang aktor penantang yang paling keras untuk menghadang dakwah Nabi Muhammad adalah Abu Jahal.
Tokoh ini sangat merepotkan Nabi dalam setiap usahanya menyebarkan ajaran Islam. Di mana Abu Jahal begitu getol menyebar fitnah, intimidasi dan rencana-rencana busuk lainnya untuk memberangus pengikut, keluarga dan diri Nabi Muhammad.
Kegigihan Abu Jahal dalam membendung dakwah Nabi tersebut ternyata bukan didasari oleh rasa benci terhadap agama Islam dan pribadi Rasulullah sendiri, akan tetapi lebih dorong oleh gengsi diri yang memuncak.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, gengsi berarti kehormatan dan pengaruh; harga diri; martabat sebagai simbol kemuliaan seseorang atau kelompoknya.
Suatu ketika Abu Jahal ditanyai oleh keponakannya tentang pribadi Rasulullah, maka Abu Jahal menjawab dengan lantang bahwa Nabi Muhammad adalah pribadi yang benar dan tidak pernah berdusta.
Namun ketika ditanyakan mengapa Abu Jahal tidak mau mengikuti kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad, Abu Jahal menjawab ketus bahwa ia takut jika mengikutinya maka kehormatan kabilah Qurays akan menjadi lebih rendah dari Bani Hasyim (kabilah Nabi Muhammad).
Di samping itu, Abu Jahal secara politis sangat menikmati status quonya sebagai pembesar Arab Qurays. Ia sangat khawatir jika ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad yang berasaskan keadilan, egaliter, kecintaan, keluhuran, ketenangan, keselamatan dan kedamaian akan mendegradasi kemapanan dirinya di tengah-tengah masyarakat Arab, sekaligus memberangus kebiasaan jahiliyah yang sudah mengakar dalam tubuhnya.
Dalam al-Qur’an Allah menukilkan dengan tegas “Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS.Al-Hajj: 46).
Istilah buta hati dalam ayat ini acapkali ditafsirkan oleh para mufassir untuk mensifati orang-orang musyrik dan dzalim. Allah menyebut mereka “Buta” sebagai gambaran dari hakikat asli mereka, yaitu ketika kebenaran telah jelas di depan mata tapi mata hatinya sama sekali tidak menyaksikannya.
Sikap Abu Jahal di atas kerap dijumpai di tengah-tengah kita, terutama dalam dunia politik. Dimana kebenaran dan kebijaksanaan yang ditampilkan oleh lawan-lawan politiknya dibenamkan dan dijungkir balikkan, meskipun hampir semua orang tahu dan merasakan bahwa kebenaran dan kebijakasanaan itu adalah memberi manfaat untuk rakyat, tapi karena membuncahnya perasaan takut kalah pamor sehingga muncul rasa gengsi yang menggelegak di dada dan menutup mata hati mereka untuk mengakui kebaikan dan kearifan yang telah ditunjukkan oleh lawan-lawan politiknya.
Politik gengsi Abu Jahal di atas tentunya sangat berbahaya dan sangat perlu diwaspadai, sebab politisi yang bermental Abu Jahal tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, asal tujuannya tercapai.
Artinya, mereka yang bermental Abu Jahal tersebut baginya agama bukanlah urusan penting, agama acapkali hanya dijadikan sebagai topeng saja untuk mengelabui orang lain. Lagak, cakap dan tutur agamis, tapi hati kadang tidak lebih dari jin, syetan dan saudara-saudaranya.
Karenanya, sebagai insan beriman kita sangat dianjurkan untuk selektif dalam memilih pemimpin, jangan sampai kecerobohan kita melahirkan kepemimpinan yang bermental Abu Jahal yang hanya pandai merusak dan menebar kebencian.
***
T.LEMBONG MISBAH adalah Wakil Dekan Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan Fak.Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry.