“Sefuluh,
dua fuluh, tiga fuluh.”
Terdengar seorang remaja sedang melafalkan
angka-angka dalam bahasa Indonesia dengan pengucapan yang tidak fasih, sambil
terus mengulang-mengulang pelafalan angka tersebut.
Tiba-tiba
ia berhenti melafalkan angkat-angka, saat sadar seseorang sedang
memperhatikannya. Selasa (4/9/2018)
Toyly sedikit kebinggungan ketika saya menyapanya dengan bahasa Indonesia
ketika ia berada di Gedung Museum UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
“what?,
I do not understand,” jawab Toyly terheran-heran.
“I’m
from Turkmenistan,” kata Toyly.
Bernama
lengkap Toyly Ashyyev, ia terlahir sebagai putra ketiga dari dua bersaudara, Toyly
lahir 31 Maret 1999 sebagai warga Negara
Turkmenistan. Menetap di Ashgabat ibukota
Turkmenistan.
Turkmenistan
adalah Negara pecahan Uni Soviet, negara ini terletak di
Asia Tengah dan berbatasan langsung dengan Iran di bagian Selatan, Afghanistan
di bagian Tenggara, Kazakhstan di Barat Laut, dan juga berbatasan langsung
dengan Uzbekiztan di bagian Utara.
Turkmenia,
sebutan lain Turkmenistan termasuk salah satu negara pemiliki cadangan gas alam
terbesar di dunia. Sebagian besar wilayah negara ini diselimuti hamparan gurun
pasir. Negara dengan jumlah penduduk 5,663 juta ini mayoritasnya beragama Islam
dan bermazhab Hanafi.
Toyly
adalah remaja 19 tahun yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah atas di
Turkmenistan. Tidak seperti kebanyakan siswa pada umumnya yang notabenenya
dipastikan akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, seorang Toyly lebih
memilih mengApply program Darma Siswa Indonesian Scholarship.
Darma
Siswa Indonesian Scholarship atau Program Beasiswa Indonesia Darmasiswa adalah
beasiswa yang diberikan oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan Republik
Indoensia untuk mahasiswa asing di negara-negara yang mempunyai hubungan
diplotik dengan Indonesia.
Beasiswa
ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa asing untuk mempelajari bahasa
Indonesia, seni dan budaya Indonesia di sejumlah Universitas di Indonesia
termasuk Unsyiah dan Uin Ar-Raniry.
Berawal
dari informasi yang didapat dari guru di sekolahnya, Toyly tertarik mendaftarkan
diri mengikuti seleksi program ini, ia pun mendaftarkan namanya sambil
dibimbing oleh gurunya dan menulis essay sekitar 500 kata tentang mengapa ia tertarik
mengikuti program ini.
Setelah
menunggu beberapa minggu, Toyly menjadi salah satu calon partisipan yang
dinyatakan lulus seleksi berkas beasiswa ini. Kemudian, tahapan selanjutnya
adalah wawancara, tahap ini merupakan tahapan terakhir dalam serangkaian proses
seleksi. Kemudian
pihak panitia menelpon saya dari Iran,” jawab Toyly , menjelaskan.
Toyly
mengatakan sesi wawacaranya dilakukan via
telefon, ia ditelfon langsung dari kedutaan besar Indonesia untuk Iran. Dalam
sesi wawancara ini calon partisipan ditanyai beberapa pertanyaan umum tentang
Indonesia.
“Mereka
hanya ingin mengetahui kemampuan bahasa Inggris saya,” kata Toyly lanjut
menjelaskan.
“Mereka
juga menanyakan mengapa kamu mendaftar beasiswa ini, pertaanyaan yang sudah
terprediksi,” sambung Toyly sambil sedikit tertawa.
Setelah
melewati sesi interview, Toyly
dinyakan sebagai salah satu dari lima partisipan yang dinyatakan lusus dari
negaranya Turkmenistan.
“I’m
really happy “ terang Toyly sambil tersenyum.
Ia
berterimakasih kepada pemerintah Indonesia untuk kesempatan yang telah
diberikan kepadanya. Tanggal 10 Agustus 2017 merupakan hari keberangkatan Toyly
ke Indonesia, suasana hati bercampur senang dan sedih, dengan berat hati Toyly
harus meninggalkan ibunya dengan dengan
abangnya yang kedua.
Toyly
bercerita ia sangat sedih karena tidak
bisa berpamitan pergi ke Indonesia pada ayahnya, sekitar dua tahun lalu ayahnya
meninggal dunia secara tiba-tiba ketika dia masih menjadi seorang siswa sekolah
menengah atas.
Ia meminta
abangnya untuk mengantarkan dirinya ke Bandara, setelah berpamitan kepada ibunya.
Toyly dengan berat hati harus meninggalkan ibu dan abangnya yang ke dua karena
tidak bisa membantu ibunya berjualan lagi.
Abang Toyly
yang pertama kuliah di Negara Eropa Ukraina mengambil jurusan ekonomi dan
bisnis, sementara abangnya yang kedua membantu ibunya berjualan alat-alat
sekolah ditoko yang mereka sewa perbulannya.
Pertama
kali mendarat di Jakarta, Toyly langsung dijemput kemudian diantarkan panitia
ke hotel Kartika Chandra untuk mengikuti kegiatan opening ceremony dan orientasi.
Seluruh partisipan dari berbagai dunia diberi arahan tentang kegiatan yang
akan mereka lakukan selama satu tahun di Indoensia sekaligus pengenalan budaya
Indonesia.
Selesai
menjalani masa orientasi di Jakarta, Toyly berangakat ke Aceh 31
Agustus 2017 besersama seorang gadis asal Jepang yang juga merupakan partisipan
penerima beasiswa ini bermana Natsuko.
Sampai
di Aceh Toyly diantarkan ke Asrama Rusunawa UIN Ar-Raniry menjadi tempat
tinggalnya selama setahun kedepan.
Toyly
bercerita sebelum berangkat ke Aceh, ia sudah membaca beberapa hal tentang
Indonesia dan Aceh, ia juga mengatakan Aceh merupakan daerah yang menerapkan
syari’at Islam. Aceh juga sangat terkenal dengan kualitas kopi yang di akui
dunia. Hal inilah yang membuat Toyly tertarik dengan Aceh dan menjadikan Aceh
sebagai salah satu tempat yang harus dikunjunginya.
Toyly juga
menjelaskan bahwa Turkmenistan merupakan negara dengan mayoritas Muslim dan
bermazhab Hanafi.
“Tapi
mereka tidak mempraktekkan seperti yang kalian lakukan,” sambung Toyly dengan
mimik wajah sedikit malu.
Toyly
mengatakan kami juga shalat lima waktu dan ibadah-ibadah pada umumnya. Namun,
tidak seperti di Aceh kebanyakan wanita di Turkmenistan tidak memakai kerudung,
jika bekerja di instansi pemeritah, laki-laki tidak boleh berjenggot.
Tetapi,
Toyly sangat mengapresiasi upaya penegakan syari’at Islam, karena menurutnya
itu adalah hukum Allah berdasarkan Alquran dan Hadist yang seyogyanya harus
diterapkan, ia juga mengatakan, dengan diterapkannya syari’at Islam,
perempuan-perempuan menjadi lebih terjaga dari berbagai macam tindak kekerasan.
Selama
berada di Aceh hal yang sangat membuat seorang Toyly takjub adalah ketika ia
berkunjung ke Museum Tsunami. Ia menjelaskan betapa besar bencana itu
menprok-porandakan Aceh, tapi sampai di Aceh ia tidak melihat bekas dahsyatnya
hempasan bencana yang tersisa, pembangunan di Aceh luar biasa cepat.
Terlepas
dengan kekagumnya terhadap Aceh, tujuan utama Toyly ke Aceh adalah mempelajari
bahasa Indonesia dan budaya Indoensia. Toyly belajar bahasa Indonesia di kantor
pusat informasi internasional UIN Ar-Raniry mulai Senin hingga Jumat
dengan jadwal yang sudah ditentukan.
Toyly
sudah menguasai bahasa Rusia dengan lancar, ia juga mampu berbica menggunkan
bahasa Inggris dengan baik dan bisa sedikit-sedikit bahasa Turki dan tentu
lancar berbahasa ibunya Turkmen.
Toyly
juga berbagi cara belajar bahasa Rusia. Ia mengajarkan saya cara memperkenal
diri dalam bahasa rusia, namun penulis sangat kesulitan menangkap apa yang ia
jelaskan.
“That how I felt when I was learning bahasa,” sahutnya tertawa melihat saya
kesulitan melafatkan kata-kata dalam bahasa Rusia.
Ketika
diminta untuk menuliskan bahasa Turkmen, Toyly menuliskan kata-kata Men Açehi Şoyyän di bukunya, cara
membacanya “men acehi soyyon” yang berarti saya cinta Aceh.
Ia juga
mengajari saya berapa tongue twister atau pelafalan kata-kata
dengan cepat untuk melatih pengucapan kata dalam bahasa Turkmen. Toyly pun
mengambil pulpennya dan menuliskan lagi dibuku “charing cekkevenden cekkertku chakte chare chammanen cherlop chekte”,
ia juga menulis “Birje çemse şorja çemçe
gorbasy”, yang terakhir ia
menuliskan kalimat “kunjusi cuteje
bitejen tejen”.
Namun, Toyly
sendiri tidak mengetahui apa arti kata tongue
twister sebenarnya yang baru saja iya tuliskan tadi, ia hanya meminta sering-seringlah
mengucapakan kalimat-kalimat itu agar mudah memperlajari bahasa Turkmen.
“Orang-orang
Aceh sangat baik, mereka sangat ramah,” jawab Toyly sambil mengacungkan jempol.
Di pengujung
obrolan, Toyly meminta saya mengajarinya bahasa Indonesia dengan baik dan ia
berjanji mengajari saya bahasa Turkmenistan. [Khairul Azmi]