Dr. Hafas Furqani, M.Ec |
CALON Jamaah Haji asal Aceh berjumlah 4.448 orang kembali mendapatkan pembagian dana wakaf Baitul Asyi.
Dana tersebut dibagikan langsung oleh nadzir wakaf Baitul Asyi, Syaikh Dr. Abdullatif Baltho dan didampingi oleh Tgk Jamaluddin Affan al-Asyi.
Dana yang diberikan adalah sebesar 1.200 riyal (Rp. 4.800.000) perorang sebagai kompensasi biaya penginapan kepada calon jamaah haji asal Aceh yang sampai saat ini belum bisa menginap di hotel yang dikelola oleh wakaf Baitul Asyi.
Wakaf Baitul Asyi sudah berumur lebih dari 200 tahun. Adalah Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi yang mengikrarkan wakaf Baitul Asyi yang berupa sebuah rumah besar yang berada di Makkah di gang Al-Qusyasyiyah di hadapan Qadhi Makkah al-Musyarrafah, Syaikh ‘Abdul Hafizh bin Darwisy al-‘Ujaimi pada 18 Rabi’ul Akhir 1224 H (atau sekitar tahun 1809M). Dokumen Wakaf Habib Buja’ Al-Asyi yang dirilis oleh MAPESA pada Pameran PKA 2018.
Habib bin Buja’ al-Asyi sendiri sebenarnya bukanlah pewakif tunggal. Dana wakaf tersebut dikumpulkan dari orang Aceh yang tinggal di Mekkah dan juga dikirim dari Aceh sendiri untuk membeli asset di dekat Masjidil Haram Mekkah (Hermansyah, Serambi Indonesia, 10 November 2011).
Peran beliau sangat penting dalam kepengurusan dana tersebut dan amanah ini ditunaikan dengan sangat baik dengan ikrar wakaf dan penunjukan nadzir wakaf yang jelas.
Untuk mengelola asset wakaf tersebut, nadzir yang ditunjuk adalah Syaikh Muhammad Shalih bin Almarhum Syaikh ‘Abdus Salam Al-Asyi.
Sejak itu, wakaf Baitul Asyi dikelola oleh Nazir secara turun temurun dan sampai saat ini yaitu Syaikh Abdul Ghani bin Mahmud bin Abdul Ghani Al-Asyi yang merupakan generasi keempat pengelola wakaf. Sejak tahun 2004 dibentuk tim nadzir untuk mengelola wakaf Baitul Asyi yang dipimpin oleh anak nadzir sebelumnya yaitu Syaikh Munir bin Abdul Ghani Al-Asyi dan Dr. Abdullatif Baltho.
Alhamdulillah wakaf Baitul Asyi masih terjaga dengan baik sampai hari ini, walaupun maksud dari pewakif seperti dirincikan dalam ikrar wakaf belum terpenuhi sepenuhnya.
Di antara isi ikrar wakaf yang dikemukakan adalah penggunaan tanah wakaf ini untuk dijadikan sebagai tempat tinggal bagi jamaah haji asal Aceh (biladil Asyi) dan tempat tinggal orang asal Aceh (mukimin min biladil Asyi) yang telah menetap di Mekkah.
Jamaah Haji Asal Aceh belum menempati Baitul Asyi yang saat ini sudah dibangun beberapa hotel di atasnya seperti Hotel Ramada dan Hotel Elaf al-Mashair.
Kepada jamaah, nadzir menjelaskan bahwa hotel yang dibangun tersebut adalah dalam bentuk kerjasama jangka panjang di mana hotel yang dibangun di atas tanah wakaf Baitul Asyi dibangun dengan kerjasama investor Arab Saudi karena nadzir tidak memiliki dana untuk mengembangkan asset wakaf.
Kerjasama tersebut dalam bentuk BOT (Built Operation Transfer), dimana investor membangun hotel dan kemudian mengelolanya selama tahun tertentu dan akhirnya menyerahkan asset tersebut kepada Baitul Asyi.
Selama waktu tersebut Wakaf Baitul Asyi juga menerima dana bagi hasil dan dana tersebut yang kemudian dibagi-bagikan kepada setiap orang calon Jemaah Haji asal Aceh.
Saya melihat kegembiraan pada wajah jamaah haji Aceh yang menerima dana Baitul Asyi. Betapa tidak, mereka sudah mempunyai dana tambahan untuk memenuhi berbagai keperluan selama musafir di tanah suci dan juga untuk membeli oleh-oleh kepada sanak saudara untuk dibawa pulang ke Aceh.
Namun, nadzir wakaf Baitul Asyi juga mengingatkan bagaimana semangat filantropi yang dimiliki oleh indatu bangsa Aceh dahulu kala patut ditiru oleh generasi Aceh moderen.
Di samping motivasi pahala ‘amal jariah yang tidak akan putus-putus, mungkin indatu Aceh juga mempunyai visi jangka panjang, bagaimana anak cucu mereka ratusan tahun ke depan juga bisa menjalani ibadah haji dengan nyaman karena tempat tinggal sudah mereka siapkan.
Mungkin semangat itu jugalah yang dibawa oleh orang tua Aceh yang menyumbang uang untuk pembelian kapal perang Turki di era kesultanan dulu, atau pembelian pesawat Seulawah, modal emas tugu Monas Jakarta di era kemerdekaan dan juga mendirikan berbagai asrama mahasiswa dan meunasah Aceh di pulau Jawa era 70 dan 80-an.
Namun, patut menjadi catatan kita juga bahwa semangat kedermawanan tersebut harus dibarengi dengan kesadaran untuk mendaftarkan asset wakaf dan ikrar wakaf yang tertulis. Beberapa cerita di sini mengatakan bahwa ada beberapa Baitul Asyi di seputaran kota Mekkah, namun tidak ketahui lagi bagaimana nasibnya.
Kita juga mendengar cerita bagaimana asrama mahasiswa Aceh di Pulau Jawa disengketakan. Di Aceh sendiri kita juga banyak melihat asset tanah wakaf yang terlantar, beralih status menjadi milik pribadi atau tidak diketahui lagi wujudnya.
Tujuan (maqsud atau maqasid) dari wakaf adalah memberikan manfaat yang berterusan kepada masyarakat. Untuk terlaksananya maksud tersebut dengan lancar, perlu adanya wasilah atau wasa’il (cara, mekanisme, manajemen dan strategi yang bagus) agar maksud seperti dirincikan dalam ikrar wakaf dapat tercapai.
Dalam diskursus maqasid Syariah keduanya, maqasid dan wasa’il, adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, dimensi wasa’il ini juga harus menjadi perhatian dalam setiap wakaf yang diberikan.
Sekali lagi kita bersyukur bahwa nadzir wakaf Baitul Asyi telah menjalankan amanah dengan baik. Aset wakaf Baitul Asyi terus berkembang. Dan tentunya kita berharap bahwa suatu hari nanti, Jamaah haji asal Aceh dapat menempati hotel yang dibangun di atas tanah wakaf Baitul Asyi dan menerima manfaat lainnya sebagaimana diinginkan oleh Habib Bin Buja’ Al-Asyi. Al-fatihah untuk beliau.
* Dr. Hafas Furqani, M.Ec adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry dan salah satu Jamaah Haji Aceh, Kloter 6, tahun 2018.