T Lembong Misbah |
KISAH ini menjadi cerita tutur yang pernah dan sering kita dengar, seorang lelaki bercerita ketika hendak melaksanakan shalat dzuhur di kampungnya, tiba-tiba saat iqamat dikumandangkan ternyata imam rawatib tak juga muncul.
Para jamaah lain saling lirik satu sama lain dan saling dorong antara satu dengan yang lainnya untuk bertindak sebagai imam.
Saat saling dorong itu terjadi, tiba-tiba masuk seorang laki-laki
paruh baya yang memakai baju gamis dan peci putih lengkap dengan salnya.
Kontan para jamaah segera mempersilahkan agar lelaki paruh baya itu maju ke depan menjadi imam. Ia pun tampak santai dengan penuh percaya diri untuk memimpin shalat dzhur kala itu.
Kontan para jamaah segera mempersilahkan agar lelaki paruh baya itu maju ke depan menjadi imam. Ia pun tampak santai dengan penuh percaya diri untuk memimpin shalat dzhur kala itu.
Usai takbir para jamaah seperti biasa membaca doa-doa shalat.
Namun keunikan mulai muncul setelah hampir sepuluh menit sang imam belum ruku’
juga.
Para jamaah ada yang mulai agak gelisah, namun karena dalam keadaan shalat mereka terus bersabar, dalam benak mereka sang imam bacaannya panjang-panjang.
Para jamaah ada yang mulai agak gelisah, namun karena dalam keadaan shalat mereka terus bersabar, dalam benak mereka sang imam bacaannya panjang-panjang.
Keheningan shalat mulai buyar, dari kejauhan terdengar suara
sayup-sayup ada orang berteriak “kemana dia?” yang lain menyahut “tadi ke arah
sana”. “Ayo cari” timpali yang lainnya.
Suara-suara itu semakin mendekat ke arah Mushalla, dan sangat jelas mereka sedang mengejar dan mencari-cari seseorang.
Suara-suara itu semakin mendekat ke arah Mushalla, dan sangat jelas mereka sedang mengejar dan mencari-cari seseorang.
Tiba-tiba, sang imam alih-alih takbir untuk ruku’ malahan dia
menyahut suara dari luar “nyo lon tuan” (saya ada di sini). Sepertinya
sang imam tahu yang mereka cari adalah dia.
Sontak para jamaah kaget, mereka yakin imam yang mereka ikuti adalah imam yang aneh dan dengan segera menfara’ sang imam.
Sontak para jamaah kaget, mereka yakin imam yang mereka ikuti adalah imam yang aneh dan dengan segera menfara’ sang imam.
Usai salam, rasa penasaran jamaah memuncak tinggi, mereka mencari
tahu siapa sebenarnya imam yang mereka ikuti.
Akhirnya, syok dan kaget bukan kepalang bercampur rasa geli menghiasi jama’ah, ternyata sang imam adalah “Aling” penghuni Rumah Sakit Jiwa yang melarikan diri. Sementara baju muslim yang Ia kenakan diambil dari jemuran.
Akhirnya, syok dan kaget bukan kepalang bercampur rasa geli menghiasi jama’ah, ternyata sang imam adalah “Aling” penghuni Rumah Sakit Jiwa yang melarikan diri. Sementara baju muslim yang Ia kenakan diambil dari jemuran.
Begitulah, kisah ini menyadarkan kita bahwa acapkali kita melihat ke’aliman seseorang itu dari
simbol yang dia kenakan, bukan pada substansinya.
Meskipun simbol kerap diklaim sebagai guratan substansi namun
sejatinya substansi lebih penting
daripada hanya sekadar
simbol.
Simbol
bisa direkayasa dan dikenakan oleh siapapun, sementara substansi adalah
kebenaran yang hanya dimiliki oleh orang yang memang betul-betul, benar.
Allah berfirman: Yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa.
Allah berfirman: Yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa.
Karenanya, tidak eloklah memandang kemuliaan seseorang itu hanya
dari pakaian yang ia kenakan, uang dan harta yang dia punyai, jabatan yang ia
duduki.
Namun kemuliaan itu sejatinya disematkan kepada mereka yang paling berilmu, beramal shaleh, dan paling banyak memberi manfaat pada orang lain. Wallahu a’lam.
[T Lembong Misbah, adalah Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]
Namun kemuliaan itu sejatinya disematkan kepada mereka yang paling berilmu, beramal shaleh, dan paling banyak memberi manfaat pada orang lain. Wallahu a’lam.
[T Lembong Misbah, adalah Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh]