T Lembong Misbah |
KONON katanya, jurus tepat untuk menaklukkan harimau si raja hutan, jika berpapasan
di belantara yaitu dengan memelototi matanya sambil berdiri tegak dengan sikap
berani.
Sikap seperti itu diyakini membuat harimau kecut dan akan segera
menjauhi kita.
Filosofi
dan jurus di atas sejatinya menjadi sikap mental seorang da’i dalam menjalankan
amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam menapaki tugasnya, da’i acapkali
berhadapan dengan “manusia harimau” yang gemar memangsa masyarakat terutama
kaum lemah. Batu, kerikil, semen dan pasir acapkali menjadi makanan favoritnya.
Suaranya kerap meraung keras manakala jatah “daging” yang diincarnya tidak dia
dapatkan. Menekan dan mengancam biasa baginya, manakala ada orang yang berani
menghalagi nafsu besarnya, termasuk juru dakwah yang berkata lantang akan
dibuat meringis dan kesakitan dengan berbagai dalih dan tuduhan.
Rasulullah
SAW dalam perjalanan dakwahnya, kerap mendapat tekanan dan ancaman semacam itu dari
kaum kafir. Tekanan dan ancaman tersebut acapkali di luar nalar kemanusiaan, dikarenakan
Nabi SAW berani menyuarakan ketimpangan yang dilakukan oleh para pembesar
Quraisy.
Tekanan
dan ancaman yang ditujukan kepada Nabi
SAW tersebut, ternyata tak pernah membuatnya “keder” apalagi lempar
handuk meninggalkan medan dakwah, akan tetapi semakin membuatnya lebih kuat dan
berani menantang berbagai kedzaliman yang terhidang di tengah-tengah
masyarakatnya kala itu, sekalipun nyawa sebagai taruhannya.
Kekuatan jiwa dan ketangguhan
pribadi Rasullah dalam menegakkan kebenaran itu, membawanya pada pengakuan
sebagai pemegang otoritas keagamaan dan politik.
Sikap
dan mentalitas Rasul di atas sejatinya menjadi ibrah bagi pengikutnya di
zaman kini, betapa jalan dakwah dibutuhkan sosok da’i yang memiliki keberanian
untuk menatap tajam mata harimau (koruptor) yang telah merusak tatanan sosial
kehidupan masyarakat.
Sejatinya, seorang da’i memiliki daya tawar politik yang
kuat untuk dapat mendaprat para pemangsa masyarakat itu.
Jika
otoritas politik ini dimiliki para da’i, maka diyakini para koruptor tersebut
akan tak berkutik, sekalipun pesan dakwah yang disampaikan para da’i dengan
suara kecil, tidak seperti yang dijumpai pada tabligh akbar--berteriak kencang
di mimbar besar dengan sound system berukuran jumbo.
Teriakan
keras itu kadangkala tidak membuat koruptor takut tapi semakin membuatnya
tertawa, karena dalam benaknya suara besar tanpa otoritas ibarat bayi menangis
keras dalam ayunan.
[T. Lembong Misbah]