FOTO : Google |
TAHUN 637 M,
pasukan Islam mendekati wilayah Jerusalem. Ketika pasukan Islam di bawah
kepemimpinan Khalid bin Walid dan Amr bin Ash mengepung kota suci itu, Uskup
Sophronius sebagai perwakilan Bizantium dan kepala gereja Kristen Jerusalem
masih menolak untuk menyerahkan Yerusalem. Ia inggin menyerahkannya langsung
pada Umaar bin Kkattab, khalifah Islam pada masa itu.
Kedatangan Umar seorang diri
dengan berjalan kaki di Jerusalem membuat Uskup Sophronius terkesan.
Kesepakatan penyerahan Yerusalem pun dibuat secara damai.
Mereka membuat perjanjian
tertulis dengan penduduk setempat untuk mengatur hak dan kewajiban antara umat
Islam Jerusalem dan penduduk non-Islam.
Perjanjian ini ditandatangani
oleh Umar bin Khattab, Uskup Sophronius, dan beberapa panglima perang Islam.
Berikut ini teks perjanjiannya:
Bismillahirrahmanirrahim.
Ini adalah jaminan keamanan dari
hamba Allah, Umar, amirul mukminin, kepada penduduk Jerusalem. Umar memberikan
jaminan terhadap jiwa mereka, harta, gereja-gereja, salib-salib, orang-orang
yang lemah, dan mereka tidak dipakasa meninggalkan agama mereka.
Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem. Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Jerusalem.
Tidak ada seorang pun diantara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Jerusalem. Dan orang-orang Yahudi tidak akan tinggal bersama mereka di Jerusalem.
(Ini adalah permintaan penduduk
Jerusalem, karena penduduk Jerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi.
Orang-orang Yahudi membunuhi tawanan Nasrani di wilayah Persia. Sampai ada
riwayat yang menyebutkan, Umar menjamin tidak ada Yahudi yang lewat dan
bermalam di Jerusalem).
Penduduk Jerusalem diwajibkan
membayar pajak sebagaimana penduduk kota-kota lainnya, mereka juga harus
mengeluarkan orang-orang Bizantium, dan para perampok.
Orang-orang Jerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka.
Orang-orang Jerusalem yang tetap ingin tinggal di wilayah Bizantium, mereka boleh membawa barang-barang dan salib-salib mereka.
Mereka dijamin aman sampai mereka
tiba di wilayah Bizantium. Setelah itu mereka pun masih diperbolehkan kembali
lagi ke Jerusalem jika ingin berkumpul dengan keluarga mereka, namun mereka
wajib membayar pajak sebagaimana penduduk lainnya.
Apabila mereka membayar pajak
sesuai dengan kewajiban, maka persyaratan yang tercantum dalam surat ini adalah
di bawah perjanjian Allah, Rasul-Nya, Khalifah, dan umat Islam. (Tarikh
at-Thabari).
Perjanjian yang dilakukan oleh
Umar membebaskan penduduk Jerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan mereka
adalah fakta pertama dan sangat berpengaruh dalam hal menjamin kebebasan
melaksanakan ibadah sesuai keyakinan.
Adapun klausul dalam perjanjian
yang mengusir Yahudi dari Jerusalem, masih diperdebatkan (keshahihannya).
Karena nyatanya salah seorang pemandu Umar di Jerusalem adalah seorang Yahudi
yang bernama Kaab al-Ahbar.
Umar mengizinkan orang-orang
Yahudi untuk beribadah di reruntuhan Kuil Sulaiman dan Tembok Ratapan, padahal
sebelumnya Bizantium melarang orang-orang Yahudi melakukan ritual tersebut.
Orang-orang Kristen di wilayah
Bizantium akan dilindungi hak-hak mereka dalam segala kondisi dan orang-orang
yang memaksa mereka untuk mengubah keyakinan menjadi Islam atau selainnya akan
dikenakan sangsi.
Perjanjian tersebut pun menjadi
acuan dalam hubungan umat Islam dan Kristren di seluruh bekas wilayah
Bizantium. [Islampos]