FATWA menduduki
posisi agung dan mulia dalam Islam, karena fatwa merupakan proses memberikan
kepastian hukum terhadap persoalan yang sedang dihadapi umat Islam baik dalam
bidang akidah, syariah dan akhlak.
Kehadiran fatwa di tengah-tengah umat merupakan jawaban atas berbagai persoalan yang sedang dihadapi. Sehingga hadirnya fatwa hendaknya menjadi solusi atas setiap persoalan keagamaan yang masih belum jelas status hukumnya.
"Hadirnya fatwa ulama menjadi jawaban terhadap persoalan-persoalan keislaman, serta menjadi penengah atas berbagai kisruh keagamaan," ujar Ustaz Dr. Nurkhalis Mukhtar Lc MA, Dosen STAI Al-Washliyah Banda Aceh, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Jeulingke, Rabu (6/12) malam.
Menurutnya, akhir dari fatwa keagamaan tidak lain agar masyarakat muslim mengetahui secara persis duduk persoalan sebenarnya dalam menghadapi segala peribadatan, dan non peribadatan ataupun tegasnya mengetahui secara mantap tentang masalah sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.
"Sehingga umat Islam masa modern sekarang ini
tidak canggung menghadapi segala problematika yang muncul di permukaaan bumi.
Namun berkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi, umat Islam mampu
mengantisipasi suatu yang bakal terjadi melalui proses penalaran yang mantap
serta mampu menjabarkan ajaran Islam secara murni di tengah-tengah kehidupan
yang serba kompleks ini," ujar Ustaz Nurkhalis.
Disebutkannya, kebutuhan terhadap fatwa sudah
terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan meningkat jumlah penganutnya, maka
setiap persoalan yang muncul memerlukan jawaban dan kejelasan hukum yang pasti.
Untuk menjawab berbagai permasalahan hukum, diperlukan bantuan dari orang-orang
yang berkompeten di bidang hukum Islam.
Untuk itu, yang memiliki potensi memberi fatwa adalah para ahli atau pakar hukum Islam. Begitu penting dan mulianya fatwa, para ulama yang bergelut dalam kajian keislaman, memberikan porsi yang besar dalam karya-karya mereka untuk mengupas persoalan-persoalan yang menyangkut fatwa, termasuk mengkaji kedudukan fatwa dalam hukum Islam.
Fatwa menurut para ulama telah ada sejak Alquran diturunkan, karena Rasulullah SAW berfungsi menjelaskan kandungan Alquran kepada para sahabatnya, sehingga putusan hukum atau fatwa yang dikeluarkan Rasulullah merupakan penjelasan, bahkan solusi hukum dalam memahami Alquran.
Para sahabat Rasulullah menyadari betul, persoalan memberi fatwa bukanlah
persoalan remeh dan enteng, sehingga mereka sering menghindar dari mengeluarkan
fatwa karena takut keliru dalam memberi jawaban, bahkan Umar bin Khattab pernah
berkata “Orang yang paling berani berfatwa adalah orang yang berani terjun ke
neraka”.
Para mujtahid kebanyakan fatwa hukumnya masih ditemukan di referensi yang beredar dan tertuang dalam kitab-kitab. Sehingga yang sampai kepada kita sekarang jumlah imam mujtahid hanya empat orang yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Di dunia Islam umumnya mereka hanya mengenal empat mazhab yang dikenal hingga hari ini, yang kemudian mazhab-mazhab tersebut dikenal dengan mazhab empat yang mu’tabar dan menjadi acuan para ulama mazhab yang datang setelah mereka dalam memberikan fatwa keagamaan.
Pada era sekarang, umumnya setiap wilayah memiliki kecondongan masing-masing dalam mengambil fatwa keagamaan. Di negara timur tengah misalnya, mereka menganut mazhab yang berbeda-beda ada yang memilih mazhab Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan ada pula yang memilih mazhab Hanbali, semuanya bermuara pada satu poros yang disebut Ahlusunnah wal Jamaah.
Para ulama mazhab memandang fatwa, persoalan yang penting dan berbahaya. Penetapan fatwa harus merujuk kepada para ulama mazhab yang didasarkan kepada kitab-kitab yang mu’tabarah.
"Bahaya yang ditimbulkan apabila mufti memberikan fatwa yang salah, sehingga timbul pertentangan, tidak menjadikan masyarakat aman, tetapi malah memperkeruh permasalahan di masyarakat," ungkap Ustaz Nurkhalis, doktor lulusan University of Bakht Al-Ruda, Sudan ini.
Imam Malik pernah ditanyakan siapa yang boleh berfatwa? ia menjawab,
"Tidak boleh memberi fatwa kecuali seseorang yang memahami khilafiyah
manusia”.
"Multi tafsir dalam memahami fatwa sangat berbahaya. Makanya harus
disosialisasikan agar semua paham. Orang yang berkecimpung dalam fatwa
juga harus peka, mengayomi berbagai elemen masyarakat yang beragam, baik yang
besar maupun kecil. Fatwa itu merangkul, sehingga jika ada
orang yang mengomentari sebuah fatwa jangan dianggap tidak setuju, harus
diberi pemahaman," harapnya.