JIHAD bukanlah perkara yang menakutkan atau menyeramkan. Juga tidak identik dengan kekerasan dan ekstremisme.
“Kalimatullah hiyal ‘ulya”
kalimat Allah yang mulia hanya bisa ditegakkan dengan jihad di jalan Allah yang
tidak boleh putus. Karena jihad merupakan puncak amal ibadah setiap Muslim
kepada Allah.
Kata “jihad” berasal
dari akar kata jahada, yujahidu, jihad, yang artinya bekerja keras, berikhtiar
dan mengusahakan sesuatu sekuat tenaga dan maksimal.
Seorang prajurit disebut
mujahid karena ia berjuang sekuat tenaga mengorbankan waktu, pikiran, keluarga
bahkan jiwa demi melaksanakan tugas maha berat di medan pertempuran. Di sisi
lain jihad juga merupakan akar kata “ijtihad dan mujtahid”. Bahkan antara
“mujahid” dan “mujtahid” hanya berbeda satu huruf “t” saja.
Seseorang disebut
“mujtahid” karena ia bekerja keras seoptimal mungkin untuk memahami nash-nash
Al-Quran dan As-Sunnah dengan mengaplikasikannya terhadap segenap fenomena
sosial, ekonomi, budaya dan persoalan lain yang muncul dari waktu ke waktu.
Kata “jihad” juga dapat
berasal dari akar kata jahd yang berarti letih atau sukar.
Dalam praktiknya, memang
demikianlah, secara nafsu, jihad memang penuh dengan kesulitan, keletihan, dan
kesukaran. Tetapi secara iman, tentu saja jihad walau bagaimanapun merupakan
kenikmatan dan kebahagiaan.
Jihad merupakan puncak
perkara perjuangan hidup, seperti disebutkan dalam hadits Mu’adz Radhiyallahu
‘Anhu:
Artinya: “Pokok perkara
adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak perkaranya adalah jihad.” (HR
Ay-Tirmidzi).
Termasuk dari bagian
jihad adalah membebaskan saudara-saudara kita di Palestina yang masih terjajah
Zionis Israel. Juga saudara-saudara kita yang memerlukan pertolongan, mereka
yang tertawan, mereka yang di pengungsian, dan mereka yang terzalimi.
Banyak dari
saudara-saudara kita yang memerlukan jihad kita, seperti mereka yang terkepung
di Jalur Gaza, mereka yang di daerah konflik Suriah dan Irak, serta mereka yang
tertindas seperti Muslim Rohingya.
Dalam hal ini,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Artinya : “Bebaskan
orang yang sedang tertawan, berikanlah makan kepada orang yang sedang
kelaparan, dan jenguklah orang sedang sakit”. (HR Bukhari).
Dan, kalau sampai
seorang Muslim meninggalkan jihad karena takut ekonomi, waktu dan jiwa, maka
justru kefakiranlah akibatnya.
Dalam hal ini Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasalkam menyatakan:
Artinya : “Tidaklah
suatu kaum meninggalkan jihad fie sabilillah, melainkan Allah timpakan
kefakiran terhadap mereka.” (HR Ibnu ‘Asakir).
Termasuk jihad yang
sangat penting pada era informasi adalah menjadi jurnalis Muslim yang membawa
misi keadilan, menyampaikan kebenaran, menyebarkan kebaikan dan melawan segala
kemungkaran.
Semoga kita termasuk
dalam barisan jihad di jalan Allah, dan menjadi bagian dari meninggikan kalimat
Allah, semaksimal mungkin yang bisa kita kerjakan. Aamiin.[Ali
Farkhan Tsani | Mirajnews]