Foto : Ilustrasi |
DALAM sebuah hadits Qudsi yang cukup panjang, Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam bersabda;
Artinya, “Allah
Ta’ala berfirman : Wahai manusia ! Betapa banyak lampu yang padam oleh hembusan
angin. Betapa banyak orang yang ahli ibadah celaka karena kesombongannya.
Betapa banyak orang yang kaya celaka karena kekayaannya. Betapa banyak orang
yang miskin celaka karena kefakirannya. Betapa banyak orang yang sehat celaka
karena kesehatannya. Betapa banyak orang yang berilmu celaka karena
keilmuannya. Betapa banyak orang yang bodoh celaka karena kebodohannya.
Andaikata tidak ada orang-orang tua yang selalu ruku’, pemuda-pemuda yang
khusyu’, anak-anak kecil yang menetek, dan binatang-binatang ternak yang
berkeliaran mencari rerumputan, niscaya Aku akan mengubah langit menjadi besi,
bumi menjadi batu licin yang kering kerontang dan debu menjadi kerikil. Setetes
pun tidak akan pernah Aku turunkan air hujan dari langit, dan tak sebutir biji
pun akan Kutumbuhkan di bumi. Dan sungguh akan Kucurahkan siksa kepadamu.”
(Hadits Qudsi diambilkan dari kitab “al-Mawā’id fi al-Ahādīts al-Qudsiyyah,
karya Imam Ghazali)
Kandungan
Hadits Qudsi di atas sangat jelas. Meskipun dalam beberapa literatur dari
kitab-kitab kumpulan hadits-hadits jarang dicantumkan, kecuali oleh Imam
Ghazali sendiri. Hadits Qudsi di atas sesungguhnya ingin menggambarkan betapa
porak-porandanya kehidupan dunia ini akibat ulah manusia. Ada isyarat yang
jelas bahwa amat banyak hal yang telah dikaruniakan Allah S.w.t kepada manusia
dalam kehidupan ini tidak dapat dimanfaatkan dengan baik, bahkan cenderung
diekspoitir dan disalahgunakan. Maka, celakalah orang-orang yang tidak
menyadari akan ni’mat Allah dalam dirinya!
Memang betul,
bahwa Allah S.w.t senantiasa memerintahkan kita untuk selalu beribadah
kepada-Nya, di mana dan kapanpun kita berada. Tetapi, ibadah yang dikehendaki
oleh-Nya adalah bentuk ibadah yang didasari oleh ketulusan dan sikap ikhlas:
tidak mengharap apa-apa kecuali hanya ridha-Nya. “Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Lihat: Q, s. ad-Dzāriyāt/51:56)
Padahal mereka
tidak diperintah kecuali untuk menyembah hanyak kepada Allah, dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam beragama, dan mendirikan shalat, melaksanakan
pembayaran zakat. Itulah agama yang lurus. (Q, s. al-Bayyinah/98:5)
Ibadah adalah
untuk kepentingan kita secara individu-individu, bukan untuk kepentingan Tuhan.
Tuhan Allah adalah Maha segalanya, tidak membutuhkan apa-apa, termasuk tidak
pula membutuhkan ketaatan kita. “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya” (Q, s.
Yūnus/10:99) Ini menegaskan bahwa masalah iman bukan urusan Tuhan: beriman atau
tidak sepenuhnya diserahkan kepada pilihan dan tanggungjawab manusia. “Dan
katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir’. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka,
yang gejolaknya mengepung mereka”. (Lihat: Q, s. al-Kahfi/19:29)
Banyak diantara
kita yang tidak kuat untuk tetap tawadhu’ dalam ibadahnya. Banyak yang merasa
bahwa dirinya telah “berbuat banyak untuk Tuhan” dan menganggap bahwa
dirinyalah yang paling rajin “menyambangi”-Nya di malam hari di malam gelap
gulita, di mana orang-orang sedang terlelap dalam tidurnya. Perasaan seperti
itu boleh-boleh saja, yang tidak boleh adalah menyombongkan diri, apalagi kalau
ternyata siang harinya tidak ada tindakan apa-apa untuk kepentingan orang lain.
Beribadahlah yang tekun, khusyu’ dan penuh harap kepada Allah, dan cukuplah
baginya Dia Yang Maha Tahu dan Maha Mendengar.
Orang yang pamrih dalam ibadah
adalah ungkapan bahwa ia sebetulnya tidak terlalu percaya bahwa Allah akan
memperhitungkan amal ibadahnya. Maka, “betapa banyak orang yang ahli ibadah
celaka karena kesombongannya” !
Betapa banyak
pula orang kaya yang celaka karena kekayaannya. Karena banyak orang kaya yang
ternyata tidak tahu bagaimana menggunakan kekayaannya itu. Yang tidak penting
menjadi dipenting-pentingkan, yang tidak perlu mendadak diperlu-perlukan, yang
tidak ada diada-adakan, bahkan yang wajib menjadi sunnah, yang sunnah menjadi
mubah, yang mubah malah menjadi wajib. Ketahuilah bahwa ketika seseorang
menjadi kaya, maka hal itu hanya untuk mengukur sejauh mana kepekaannya kepada
penderitaan orang lain.
Menjadi kaya
itu tidak dilarang, malah Al-Qur’an justru menganjurkan kaum muslimin agar
tidak jatuh miskin. Tidak ada batasan seberapa besar kekayaan yang boleh
ditimbun oleh seorang muslim. Silahkan, himpun kekayaan sebanyak-banyaknya,
asal ketika telah terhimpun sebagiannya harus segera didistribusikan, digunakan
untuk mensejahterakan lingkungannya masing-masing, agar kekayaan itu tidak hanya
beredar di lingkungan orang-orang kaya saja. Al-Qur’an pernah menyinggung
masalah ini dalam sebuah ayatnya:
Apa saja harta
rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu… (Q, s.
al-Hasyr/59:7)
Dalam pandangan
Islam, orang disebut kaya adalah ketika ia mampu mensejahterakan lingkungannya.
Orang kaya yang tidak peduli dengan lingkungannya, pada hakekatnya adalah orang
miskin.
Banyak orang
kaya yang membuat jarak dengan masyarakat sekitarnya, bahkan membangun sekat
tebal agar dirinya tidak tersentuh oleh tangan orang-orang miskin. Orang kaya
tanpa orang miskin, sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Sukses berbisnis dengan
pabrik besar yang menyerap ribuan tenaga kerja, harus disadari bahwa itu
merupakan sumbangan orang-orang miskin. Tanpa mereka, maka pabrik besar seperti
apapun tidak akan mampu memproduksi barang. Kita menilai seseorang sebagai
orang yang kaya, hal itu karena kita membandingkannya dengan orang lain yang
berada di bawahnya.
Ciri orang
miskin umumnya adalah tamak, punya satu ingin dua, dikasih dua minta tiga,
sudah dapat tiga masih saja berpikir bagaimana caranya mendapatkan yang
keempat, ketika sudah dapat empat digenggamnya erat-erat. Miskin dan kaya,
dalam banyak literatur Islam, selain ditentukan oleh nilai nominal harta yang
dimiliki, juga diukur dari tingkat kepuasaan batin seseorang terhadap sesuatu
hal yang dimilikinya. Maka, orang kaya yang tamak, pada hakekatnya adalah masih
miskin.
Tidak saja
orang kaya, orang miskin yang celaka karena kefakirannya juga banyak. Bahkan,
di negeri ini ternyata banyak orang yang justru ingin dianggap miskin. Sebuah
penelitian untuk tesis magister di salah satu perguruan tinggi negeri di
Yogyakarta, mengungkapkan bahwa para peminta di jalan-jalan raya yang umumnya
terdiri dari anak-anak dan perempuan, setelah diselidiki ternyata adalah
orang-orang yang mampu secara ekonomi. Di rumahnya mereka memiliki
barang-barang yang umumnya dimiliki orang kaya, dari televisi berwarna, sepeda
motor, kulkas, mesin cuci, dan perabot-perabot lain, bahkan rumah mereka juga
berlantaikan keramik. Mereka bukan pegawai negeri atau pengusaha, melainkan
mereka adalah para pengemis jalanan.
Bagi mereka,
menjadi pengemis sama sekali bukan karena takdir, tapi lebih sebagai profesi.
Mereka betul-betul profesional! Ketika diminta untuk berhenti dari pekerjaannya
sebagai pengemis dan akan diberi bekal ketrampilan untuk meniti usaha secara
mandiri, mereka menolak karena dengan profesinya itu rata-rata per hari mereka dapat
membawa pulang sekitar Rp. 50.000 – Rp. 70.000: nominal yang setaraf dengan
pegawai negeri golongan III C.
Umat Islam
sering dibuat bingung, antara memberi atau tidak memberi. Mereka miskin tapi
kaya, atau kaya tapi miskin. Dalam Islam, orang miskin harus ditolong, dibantu
dan diringankan bebannya. Tapi terhadap orang yang pura-pura miskin, tentu saja
tidak ada kewajiban untuk menolongnya.
Bahwa
kemiskinan harus disyukuri adalah anjuran Islam, tetapi mensyukurinya bukan
dengan cara lari dari ajaran agama. Justru dengan kemiskinannya itu orang
dianjurkan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan malah menjauhkan
diri. Kemiskinan yang melekat pada dirinya malah diekspoitir dan digunakan
sebagai dalih yang membenarkan seluruh tindakannya. Bagaimana pun miskinnya,
orang tetap tidak diperkenankan mencuri atau menipu.
Banyak pula
orang bodoh yang celaka karena kebodohannya, begitu pula orang yang berilmu
yang celaka karena keilmuannya, dan orang sehat yang celaka karena
kesehatannya. Ketika sehat, tidak ingat apa-apa, semua larangan diterjang dan
semua perintah diabaikan, giliran jatuh sakit baru berpikir untuk bertobat.
Maka selagi masih sehat, gunakanlah kesehatan itu untuk hal-hal yang baik.
Demikian pula dengan ilmu, manfaatkanlah untuk kepentingan dan kemaslahatan
manusia. Allah menganugerahkan ilmu pengetahuan kepada kita dengan tujuan untuk
ikut memakmurkan bumi, bukan malah merusaknya.
Itulah fenomena
yang ada di hadapan kita saat ini. Ternyata di Republik ini banyak orang yang
sakit jiwa, karena tidak lagi dapat menempatkan dirinya dengan benar. Negeri
ini rasanya penuh dengan orang-orang yang berdusta. Itu pula yang digambarkan
oleh Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah:
Dalam hati
mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakit itu semakin parah; dan mereka
pasti mendapat siksa yang menyakitkan karena kedustaan mereka itu. (Q, s.
al-Baqarah/2:10)
Tuhan nampaknya
marah besar kepada para hamba-Nya yang tidak tahu diri, dan tidak mau bersyukur
atas apa yang telah dilimpahkan oleh-Nya di dunia ini. Bencana dan musibah yang
menimpa negeri ini secara bertubi-tubi, mungkin saja disebabkan oleh kealpaan
kita semua untuk bersyukur dan kembali ke jalan-Nya. Ketahuilah bahwa andai
saja kita mau bersyukur, niscaya Allah tidak akan menurunkan adzab-Nya. “Dan
(ingatlah juga), takala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,
pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Q, s. Ibrāhim/14:7)
Allah sama
sekali tidak akan menyiksamu kalau sekiranya kamu bersyukur dan beriman. Allah
Maha Berterimakasih lagi Maha Tahu. (Q, s. an-Nisā’/4:147)
Maka,
memperhatikan fenomena seperti tergambar di atas, bangsa ini rasanya patut
berterimakasih kepada orang-orang tua yang saleh dan tekun beribadah,
pemuda-pemuda yang khusyu’, anak-anak yang menetek ibunya, dan
binatang-binatang yang mencari makan, sebab andaikata tanpa kehadiran mereka,
niscaya perahu negeri ini sudah tenggelam dan hancur. Mulai sekarang,
belajarlah untuk menghormati orang-orang tua yang istiqamah, anak-anak muda
yang saleh, termasuk dengan cara menyayangi para balita dan binatang-binatang.
Katakanlah:
“Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku
mendurhakai Tuhanku.” (Q, s. al-An’ām/6:15).
Semoga Allah
Ta’ala memasukkan kita dalam golongan orang yang selamat dunia akhirat, wallahua’lam.[Bahron Ansori | mirajnews.com].