BANYAK sifat tercela yang pasti menghinggapi diri setiap orang, salah
satunya adalah sifat hasad (dengki).
Menurut Imam al-Ghazali, Hasad memiliki
dua tingkatan: pertama, Anda tidak
suka orang lain mendapatkan nikmat dan Anda ingin menghilangkannya; kedua, keinginan memperoleh nikmat
serupa yang dimiliki orang lain, tanpa bermaksud atau berharap hilangnya nikmat
itu pada orang lain, ini yang biasa disebut dengan istilah ghibhah.
Orang yang memiliki sifat hasad adalah
orang yang tanpa alasan yang rasional tidak senang kepada segala kelebihan dan
keutamaan yang dimiliki orang lain, baik kelebihan itu berupa harta benda,
kekayaan, kedudukan, kehormatan, dan lain-lain. Bisa jadi, orang hasad akan
membenci orang lain yang sebetulnya tidak memiliki nikmat atau kelebihan
apa-apa, tetapi oleh yang hasad diduga memilikinya.
Bisa jadi pula orang hasad akan merasa
senang kalau orang lain terus-menerus dalam kesusahan dan kekurangan, meskipun
ia tahu bahwa yang bersangkutan sudah tidak memiliki kelebihan apa-apa. Jadi,
hasad itu kecenderungan untuk membenci semua orang tanpa alasan yang jelas,
rasional dan dibenarkan oleh ajaran agama.
Karena kebencian dan kedengkiannya,
orang hasad secara diam-diam biasanya menginginkan orang yang dibencinya itu
celaka. Dan kalau sudah begitu, besar kemungkinan baik secara langsung maupun
tidak langsung kita akan ikut terlibat dalam usaha mencelakakannya. Maka,
timbullah ghībah dan fitnah, yaitu
menyebar berita buruk mengenai orang yang dibencinya itu, baik berita itu benar
adanya, atau –apalagi- tidak benar.
Orang yang hasad, hatinya selalu
gelisah. Kegelisahannya bukan disebabkan oleh kekurangan yang ada pada dirinya
semata, tetapi lebih dari itu karena kelebihan yang ada pada orang lain. Ia
lebih fokus memperhatikan kelebihan orang lain daripada introspeksi atas
kekurangan pada dirinya.
Jika berusaha, maka usahanya itu
dikerahkan untuk menghilangkan kelebihan pada orang lain, daripada usaha untuk
memperbaiki nasib dirinya sendiri. Nabi pernah mengingatkan kita semua:
“Dari Abu Hurairah r.a, Nabi S.a.w bersabda: Jauhilah olehmu sifat
hasad, karena sesungguhnya hasad itu dapat menghilankan segala kebaikan
sebagaimana api yang membakar kayu yang kering.” (HR. Abu Dawud)
Orang yang dengki atau hasad, di dalam
hatinya tersembunyi keinginan agar orang lain celaka. Maka kedengkian itu
merupakan bukti yang nyata sekali bahwa sesungguhnya di dalam hatinya tidak
punya i’tikad baik kepada orang lain secara tulus. Maka, andaikata terdapat
kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh seorang pendengki dapat dipastikan bahwa
sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang diperbuatnya itu palsu.
Suatu perbuatan baik tanpa disertai
dengan niat atau i’tikad baik, maka mustahil akan melahirkan perbuatan yang
tulus. Dengan kata lain, perbuatan baiknya kepada orang lain hanyalah untuk
menutupi kebusukan niatnya yang tersembunyi di dalam hatinya.
Oleh karena itu, karena sifatnya
tersembunyi dan sulit diketahui secara lahiriah, Al-Qur’an dalam surat al-Falaq
menganjurkan kepada kita agar senantiasa berlindung kepada Allah dari kejahatan
pendengki, karena hanya Allah-lah yang mengetahui apa yang tersembunyi.
Surat al-Falaq ini, mengingat kandungan
makna dan sabab nuzūl-nya, maka kita juga
dianjurkan untuk membacanya jika melihat suatu kenikmatan yang ada pada orang
lain.
“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai Subuh,
dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap
gulita, dan dari kejahatan peniup-peniup pada buhul-buhul, dan dari kejahatan
pendengki bila ia dengki.” (Q, s. al-Falaq / 113:1-5)
Islam sangat mencela perbuatan hasad,
karena hasad merupakan pangkal permusuhan. Dalam ajaran Islam, hasad hanya
dibolehkan dalam dua hal: terhadap yang orang dianugerahi harta oleh Allah
kemudian ia menafkahkannya dengan benar, dan terhadap orang yang dianugerahi
ilmu kemudian ia mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Rasulullah
S.a.w bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud r.a, Rasulullah S.a.w bersabda: Tidak dibenarkan
hasad kecuali dalam dua hal; terhadap seseorang yang diberi anugerah oleh Allah
berupa harta lalu dia menafkahkannya di jalan yang benar, dan terhadap
seseorang yang diberi anugerah ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkan dan
mengajarkannya kepada orang lain. (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, Nabi memberi arah kepada kita
bahwa yang boleh diirikan oleh kita dari orang lain adalah amal shalehnya,
bukan kebendaannya. Kita boleh iri kepada orang kaya, tetapi bukan kekayaannya
melainkan perbuatannya menafkahkan kekayaannya itu di jalan yang benar.
Demikian pula dengan ilmu, kita diperbolehkan iri kepada orang yang berilmu,
bukan karena ilmunya, melainkan karena perbuatannya dalam mengamalkan dan mengajarkan
ilmunya. [Bahron Ansari/Mirajnews.com]
Baca Juga: