Foto : wasatha | Syamsi |
BAGI Masjid Agung Al-Azhar (MAA), sosok Muslimin adalah simbol
kepedulian, kebersahajaan dan keberpihakan di tengah gemerlapan kota
metropolitan Jakarta.
Jamaah tetap
Al-Azhar tentu mengenal sosok Muslimin. Tubuhnya kecil, berjaket gelap, dengan sarung
dikalungkan di leher, peci lusuh miring. Setiap selesai shalat, mondar mandir
mendekati jamaah yang dikenalnya, mengulurkan tangan, berjabat tangan dengan
senyum khasnya.
Beberapa minggu
ini banyak yang mencari-cari sosok tua berusia sekitar 60 tahun ini. Tiba-tiba Muslimin menghilang tak diketahui rimbanya.
Ternyata beliau ditangkap kena razia petugas ketertiban DKI Jakarta,
dimasukkan ke dalam tahanan bersama para gepeng (gelandangan dan pengemis) yang
berkeliaran di ibu kota selama Ramadan.
Penampilan Muslimin
yang sangat sederhana dianggap petugas ketertiban sebagai gepeng, padahal
beliau tidak pernah minta-minta dipinggir jalan layaknya para gepeng.
Ketika berjalan
di pinggir jalan tiba-tiba diciduk petugas. Naas, pasrah, menyerah sampai ada
pertolongan dari Allah.
Alhamdulillah
Pengurus MAA sudah menolong beliau agar keluar dari rumah tahanan hingga sekarang
dapat bergabung lagi mengikuti ibadah di MAA.
Baca Juga : Filosofi Puasa Ramadhan
Muslimin yang
tak sekolah, tak mengerti banyak hal, tapi sudah lebih dari 30 tahun dengan
setia mengabdi, tidak hanya rajin datang ibadah di Masjid Agung Al-Azhar, ia peduli
dengan kondisi sekitarnya tanpa ada yang memerintah.
Dengan senang
hati, beliau menutup membuka pintu jendela MAA, menyapu beberapa ruang kantor
anak-anak YISC, AYLI, merapikan apa-apa yang dianggap kurang rapi, bahkan terkadang kala masjid sudah sepi, tak
tanggung-tanggung memantau keadaan masjid dari mimbar utama MAA, layaknya
seorang marbot atau pengurus MAA.
Kita menjadi
kecil dibanding seorang bernama Muslimin dari sisi ketulusan itu. Mengerjakan itu
semua tanpa pamrih, tulus tidak minta upah, tidak digaji karena beliau bukan
pegawai, suka rela melakukannya, ikhlas dari dalam lubuk hatinya paling dalam.
Dengan hidup
sangat sederhana, makan sederhana, pakaian sederhana, tempat tinggal sangat
sederhana, Muslimin tetap sehat dan semangat menjalankan kegiatannya. Muslimin
hanya makan dari belas kasihan jamaah MAA, tanpa pernah meminta. Pakaian hanya
baju, jaket dan sarung lusuh yang tak pernah diganti.
Baca Juga : Wasatha.com Resmi Diluncurkan
Pernah MAA,
jamaah, dan banyak orang ingin berbagi kepadanya, memberikan sarung baru, baju
baru, kasur baru dan tempat yang layak, tapi ternyata tidak pernah dipakai,
dugaan kuat fasilitas yg diterima itu malah diberikan kepada orang lain.
Pernah
dibelikan kasur dan tempat yang lebih nyaman di sudut MAA, tapi malah memilih
tinggal di kolong selasar masjid berdesakan nyempil di samping blower AC.
Selesai
kegiatan MAA, sekitar pikul 09-10 malam, setelah menutup pintu-pintu dan jendela
MAA, Muslimin pulang ke rumahnya dengan jalan kaki, tidak pernah naik sepeda,
motor, ataupun mobil. Padahal rumahnya berjarak cukup jauh dari Al-Azhar, konon
tinggal di kawasan Kebayoran Lama numpang tinggal di rumah seseorang.
Pribadi zahid yang
tak pernah absen shalat jamaah di MAA, hidup bersahaja tanpa berharap dari
manusia, sangat hemat bicara hanya melempar senyum, ikhlas bekerja tidak
melihat upah, berkarya tanpa balas jasa.*Dhi
[Sumber Tulisan
: Prof Shabah Syamsi | Pengurus Masjid Al-Ahzar]