Foto:Wasatha.Com/M.Fadhil
SELAMA ini, orang seringkali salah mengartikan
rasa malu. Mereka mengatakan, rasa malu identik dengan sifat pendiam atau
mengurung diri di rumah. Kenyataannya bukanlah demikian.
Seorang muslim (muslimah) yang punya rasa
malu akan berbuat baik dan menjauhkan perbuatan jahat (hal yang dilarang
Allah). Sebaliknya, jika hal yang dilarang Allah itu
dilakukan, maka selain rasa malunya kepada Allah tidak ada, juga merupakan
kelemahan dan kehinaan bagi pelakunya.
Selain bertauhid, ciri seorang muslim adalah
memiliki akhlak yang baik. Satu di antara sekian banyak akhlak mulia di dalam
Islam adalah rasa malu. Di akhir zaman ini, rasa malu makin sulit ditemukan di
tengah kehidupan kaum muslimin. Terkait rasa malu ini, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara apa yang didapati
manusia dari kalam nubuwwah yang terdahulu adalah, “Bila kau tidak malu, maka
lakukanlah semaumu.” (HR. Bukhari).
Imam Raghib al-Asfahani rahimahullah berkata,
“Malu adalah menahan jiwa agar tidak mengerjakan sesuatu yang tercela. Malu,
termasuk sifat istimewa yang dimiliki manusia. Malu adalah menahan diri dari
perbuatan (buruk) yang diinginkan oleh hawa nafsunya, sehingga ia tidak menjadi
seperti binatang.”
Berikut Dua Jenis Malu
Pertama, malu merupakan tabiat dan watak bawaan.
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia, diberikan Allah Ta’ala kepada
seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” (HR. Bukhâri, Muslim)
Malu seperti ini menghalangi seseorang dari
mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak
mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk bagian dari iman.
Al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang
dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai bagian dari keimanan
dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Tapi, tabiat akan
membantu terlahirnya sifat malu yang diusahakan (muktasab), sehingga menjadi
tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki dua jenis malu
ini, tetapi sifat beliau lebih malu dari gadis yang dipingit, sedang yang
muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”
Kedua, malu yang timbul karena adanya usaha, yaitu,
malu yang didapatkan secara ma’rifatullâh (mengenal
Allah) dengan mengenal segala keagungan-Nya, kedekatan-Nya kepada hamba-Nya,
perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat
dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah
yang dijadikan oleh Allah Ta’ala sebagai bagian dari iman.
Siapa saja yang tidak memiliki sifat malu,
baik yang berasal dari tabiat maupun yang didapat dengan usaha, tidak ada sama
sekali yang menahannya untuk jatuh dalam perbuatan keji dan maksiat sampai ia
menjadi setan terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia.
Dulu, orang-orang jahiliyah berada di atas
kebodohannya merasa sangat berat untuk melakukan hal-hal buruk karena dicegah
oleh rasa malunya. Di antara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan
saat bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Abu Sufyan berkata,
“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan
aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong
kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).” (HR. Bukhari)
Malu, Mahkota Muslimah
Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak
perempuan dari seorang ayah suku Madyan. Allah berfirman,
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang
dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu.” (Qs. Al-Qashash: 25)
Maksudnya, dia (gadis) itu datang dengan
mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis
yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki, tidak seronok, tidak
genit, tidak angkuh, tidak tebar pesona, tidak mudah terbawa perasaan (baper),
dan tidak membuat lelaki bergairah kepadanya.
Namun, walau malu itu tampak dari cara
berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetil,
tidak ragu dan terbata-bata. Semua itu timbul dari fitrahnya yang selamat,
bersih, dan lurus. Gadis yang lurus akidah dan tauhidnya, merasa malu dengan
fitrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi
karena kesucian dan keistiqamahannya, ia tidak panik karena kepanikan sering
kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia bicara sesuai dengan
yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.
Dalam sebuah kisah, ‘Aisyah radhiyyallahu
‘anha pernah didatangi wanita-wanita dari Bani Tamim dengan pakaian tipis,
kemudian ‘Aisyah berkata, “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah)
bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita
beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
berkata, “Ayat
yang disebut dengan ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar
menyuruh kaum perempuan secara umum dengan mendahulukan istri dan anak-anak
perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada
perempuan yang lainnya, dan juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh
orang lain untuk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dengan keluarganya
sendiri sebelum menyuruh orang lain.”
Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha
pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr.
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi
mereka untuk memperdalam ilmu Agama.”
Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna
selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika ada
permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi
mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha pernah
bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran,
apakah seorang wanita wajib mandi bila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah
menjawab, “Apabila ia melihat air.”
Wajib bagi seorang muslim apalagi wanita
(muslimah) untuk mempelajari sebab-sebab yang dapat menumbuhkan rasa malu dan
menjadi wanita yang berhias dengan rasa malu baik dalam lisan dan perbuatan, wallahua’lam. [Risma Tri
Utami/Mirajnews.com]/Tek
Baca Juga :
SELAMA ini, orang seringkali salah mengartikan
rasa malu. Mereka mengatakan, rasa malu identik dengan sifat pendiam atau
mengurung diri di rumah. Kenyataannya bukanlah demikian.
Seorang muslim (muslimah) yang punya rasa malu akan berbuat baik dan menjauhkan perbuatan jahat (hal yang dilarang Allah). Sebaliknya, jika hal yang dilarang Allah itu dilakukan, maka selain rasa malunya kepada Allah tidak ada, juga merupakan kelemahan dan kehinaan bagi pelakunya.
Seorang muslim (muslimah) yang punya rasa malu akan berbuat baik dan menjauhkan perbuatan jahat (hal yang dilarang Allah). Sebaliknya, jika hal yang dilarang Allah itu dilakukan, maka selain rasa malunya kepada Allah tidak ada, juga merupakan kelemahan dan kehinaan bagi pelakunya.
Selain bertauhid, ciri seorang muslim adalah
memiliki akhlak yang baik. Satu di antara sekian banyak akhlak mulia di dalam
Islam adalah rasa malu. Di akhir zaman ini, rasa malu makin sulit ditemukan di
tengah kehidupan kaum muslimin. Terkait rasa malu ini, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara apa yang didapati
manusia dari kalam nubuwwah yang terdahulu adalah, “Bila kau tidak malu, maka
lakukanlah semaumu.” (HR. Bukhari).
Imam Raghib al-Asfahani rahimahullah berkata,
“Malu adalah menahan jiwa agar tidak mengerjakan sesuatu yang tercela. Malu,
termasuk sifat istimewa yang dimiliki manusia. Malu adalah menahan diri dari
perbuatan (buruk) yang diinginkan oleh hawa nafsunya, sehingga ia tidak menjadi
seperti binatang.”
Berikut Dua Jenis Malu
Pertama, malu merupakan tabiat dan watak bawaan.
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia, diberikan Allah Ta’ala kepada
seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.” (HR. Bukhâri, Muslim)
Malu seperti ini menghalangi seseorang dari
mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak
mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk bagian dari iman.
Al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang
dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Ta’ala sebagai bagian dari keimanan
dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Tapi, tabiat akan
membantu terlahirnya sifat malu yang diusahakan (muktasab), sehingga menjadi
tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki dua jenis malu
ini, tetapi sifat beliau lebih malu dari gadis yang dipingit, sedang yang
muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”
Kedua, malu yang timbul karena adanya usaha, yaitu,
malu yang didapatkan secara ma’rifatullâh (mengenal
Allah) dengan mengenal segala keagungan-Nya, kedekatan-Nya kepada hamba-Nya,
perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat
dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah
yang dijadikan oleh Allah Ta’ala sebagai bagian dari iman.
Siapa saja yang tidak memiliki sifat malu,
baik yang berasal dari tabiat maupun yang didapat dengan usaha, tidak ada sama
sekali yang menahannya untuk jatuh dalam perbuatan keji dan maksiat sampai ia
menjadi setan terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia.
Dulu, orang-orang jahiliyah berada di atas
kebodohannya merasa sangat berat untuk melakukan hal-hal buruk karena dicegah
oleh rasa malunya. Di antara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan
saat bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Abu Sufyan berkata,
“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan
aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong
kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).” (HR. Bukhari)
Malu, Mahkota Muslimah
Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak
perempuan dari seorang ayah suku Madyan. Allah berfirman,
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang
dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu.” (Qs. Al-Qashash: 25)
Maksudnya, dia (gadis) itu datang dengan
mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis
yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki, tidak seronok, tidak
genit, tidak angkuh, tidak tebar pesona, tidak mudah terbawa perasaan (baper),
dan tidak membuat lelaki bergairah kepadanya.
Namun, walau malu itu tampak dari cara
berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetil,
tidak ragu dan terbata-bata. Semua itu timbul dari fitrahnya yang selamat,
bersih, dan lurus. Gadis yang lurus akidah dan tauhidnya, merasa malu dengan
fitrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi
karena kesucian dan keistiqamahannya, ia tidak panik karena kepanikan sering
kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia bicara sesuai dengan
yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.
Dalam sebuah kisah, ‘Aisyah radhiyyallahu
‘anha pernah didatangi wanita-wanita dari Bani Tamim dengan pakaian tipis,
kemudian ‘Aisyah berkata, “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah)
bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita
beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu,
anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
berkata, “Ayat
yang disebut dengan ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar
menyuruh kaum perempuan secara umum dengan mendahulukan istri dan anak-anak
perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada
perempuan yang lainnya, dan juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh
orang lain untuk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dengan keluarganya
sendiri sebelum menyuruh orang lain.”
Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha
pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr.
“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi
mereka untuk memperdalam ilmu Agama.”
Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna
selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika ada
permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi
mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha pernah
bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran,
apakah seorang wanita wajib mandi bila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah
menjawab, “Apabila ia melihat air.”
Wajib bagi seorang muslim apalagi wanita
(muslimah) untuk mempelajari sebab-sebab yang dapat menumbuhkan rasa malu dan
menjadi wanita yang berhias dengan rasa malu baik dalam lisan dan perbuatan, wallahua’lam. [Risma Tri
Utami/Mirajnews.com]/Tek