DETIK demi detik berlalu. Menit silih berganti. Hari demi hari telah terlewati. Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa, saat ini sudah di penghujung Bulan Ramadhan. Hanya menyisakan beberapa hari saja umat muslim benar-benar akan berpisah dari bulan penuh berkah ini.
Namun, jika
diperhatikan secara seksama, banyak orang di sekeliling kita, atau bahkan diri
kita sendiri mulai sibuk dengan hiruk-pikuk Idul Fitri. Luapan kegembiraan
sudah sangat terasa. Mobil-mobil di jalanan sudah mulai padat merayap. Arus
pulang mudik makin ramai. Makanan-makanan enak sudah mulai disajikan. Dan baju
baru sudah mulai dipersiapkan. Begitulah kondisi masyarakat kita menjelang Idul
Fitri.
Jika demikian
gempitanya masyarakat kita berbahagia di penghujung akhir Ramadhan, tidak
demikian dengan para sahabat dan ulama salaf. Semakin dekat dengan akhir
Ramadhan, kesedihan justru menggelayuti generasi terbaik itu. Tentu saja kalau
tiba hari raya Idul Fitri mereka juga bergembira karena Ied adalah hari
kegembiraan. Namun di akhir Ramadhan seperti ini, ada nuansa kesedihan yang
sepertinya tidak kita miliki di masa modern ini.
Para sahabat
adalah tokoh-tokoh tidak ada duanya setelah para Rasul dan Nabi dalam
menempatkan hatinya tunduk dan terpana serta tak berdaya di depan kalimah
Illahi. Inilah sebagian kisah mereka yang menggambarkan kehalusan jiwanya
manakala berinteraksi dengan ayat Al-Qur’an.
Bagi para ulama
salaf shalih menjelang hari-hari kepergian Ramadhan, begitu berat dan sedih
mereka rasakan. Dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih.
Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Masjid Nabawi penuh sesak dengan
orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang
menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.
Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka
menetes. Hati mereka sedih.
Betapa tidak?
Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah Ta’ala itu akan segera pergi.
Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan
ibadah. Bulan yang Allah Ta’ala bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup
pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat,
pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka.
Bulan ketika
napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah Ta’ala daripada
minyak Kesturi. Bulan ketika Allah Ta’ala setiap malamnya membebaskan ratusan
ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah Ta’ala menjadikannya
sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.
Maka
menangislah di penghujung bulan penuh berkah ini.
Menangis adalah
satu karunia Allah Ta’ala kepada kita. Berhati-hatilah jika kita termasuk orang
yang tidak bisa meneteskan air mata. Bukan saja mata kita kering karena tidak
ada air yang membasuhnya secara alami, tetapi juga kekeringan jiwa.
Menangis
bukan hanya karena kehilangan orang yang dicintai, barang yang kita sangat
sayangi ataupun karena sakit, tetapi menangis karena hati yang penuh takut dan
harap kepada Zat yang menciptakan kita. Takut akan siksanya dan cemas jika
tidak mendapat rahmat-Nya. Bergetarnya hati dan badan manakala diperdengarkan
ayat-ayat Nya.
Para sahabat
menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka
sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka
belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu
lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Kita mungkin
tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita
pun takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita selama Ramadhan ini diterima, begitu pula tak ada jaminan
apakah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun
kemudian memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih
sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala.
Oleh: Rendy
Setiawan Adalah Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)