| Sisa pembangunan bandar udara oleh Jepang di Desa Lampaya. (Foto: Ist). |
Oleh: Mutia dan Nurul Rahimi (Mahasiswa KPM UIN Ar-Raniry di Desa Lampaya, Aceh Besar).
Pada masa penjajahan Jepang, wilayah Lhoknga pernah menjadi lokasi pembangunan lapangan udara militer. Lapangan udara tersebut berada di kawasan yang saat ini dikenal sebagai lapangan golf Lhoknga. Pada masa itu, Jepang membangun satu bandar udara yang diperkuat dengan sistem pertahanan yang sangat rapat. Sisa dari pembangunan tersebut hingga kini masih dapat ditemukan, salah satunya berupa bunker pertahanan.
Pada masa penjajahan Jepang, wilayah Lhoknga pernah menjadi lokasi pembangunan lapangan udara militer. Lapangan udara tersebut berada di kawasan yang saat ini dikenal sebagai lapangan golf Lhoknga. Pada masa itu, Jepang membangun satu bandar udara yang diperkuat dengan sistem pertahanan yang sangat rapat. Sisa dari pembangunan tersebut hingga kini masih dapat ditemukan, salah satunya berupa bunker pertahanan.
Lapangan udara tersebut diketahui bernama Bandar Udara Maimun Saleh dan letaknya berada di wilayah Lhoknga. Bahkan, pada suatu masa setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1960-an hingga 1970-an , nama lapangan udara Maimun Saleh masih tercantum dalam peta internasional. Pada periode tersebut, Sulaiman selaku narasumber menjelaskan saat itu beliau masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
"Saat hujan lebat, terdapat pesawat militer jenis Army yang mendarat di kawasan Blang Bintang, dengan kapasitas muatan sekitar empat orang," kata Sulaiman.
Seiring waktu, nama Bandara Maimun Saleh kemudian dipindahkan ke wilayah Sabang. Sementara itu, bunker-bunker peninggalan Jepang yang awalnya berada di sekitar lapangan golf Lhoknga mengalami peristiwa luar biasa saat terjadinya tsunami. Bunker tersebut terangkat dan terbawa gelombang tsunami hingga ke wilayah desa Lampaya, dengan jarak perpindahan yang diperkirakan mencapai lebih dari satu kilometer. Peristiwa ini menjadi hal yang cukup unik dan mengherankan, mengingat ukuran dan berat bunker tersebut.
Saat ini, bunker tersebut telah terdaftar sebagai salah satu cagar budaya di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dari sekian banyak bunker peninggalan Jepang di wilayah tersebut, bunker inilah yang masih berada dalam kondisi relatif utuh. Menariknya, bunker ini tidak memiliki cerita mitos atau kepercayaan mistis di kalangan masyarakat setempat.
Namun demikian, secara umum, masyarakat di gampong tersebut belum sepenuhnya mengenal dan memahami sejarah bunker secara mendalam. Sebelumnya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata pernah menyelenggarakan pelatihan bagi para penjaga cagar budaya, dan narasumber merupakan salah satu peserta dalam pelatihan tersebut.
Secara fungsi, bunker ini dibangun sebagai tempat pertahanan tentara Jepang yang siap membidik musuh. Hal ini terlihat dari adanya lubang-lubang bidik pada dinding bunker yang digunakan untuk pertahanan, khususnya dari serangan udara musuh. Struktur bunker dibuat sangat kokoh, sehingga senjata biasa diperkirakan tidak mampu menembusnya. Berdasarkan perkiraan, bunker ini dibangun pada rentang waktu tahun 1942 hingga 1945, yaitu masa aktif pendudukan Jepang di Indonesia.
Apabila Jepang tidak menjajah Indonesia pada masa itu, besar kemungkinan kawasan tersebut telah berkembang menjadi bandara yang hampir selesai dibangun. Hingga saat ini, bunker tersebut tidak mengalami perubahan bentuk dan masih mempertahankan kondisi aslinya sebagai peninggalan sejarah masa penjajahan Jepang.
Aceh Besar, 25 Desember 2025
Penulis: Mutia dan Nurul Rahimi adalah Mahasiswa KPM UIN Ar-Raniry di Desa Lampaya, Aceh Besar.