Iklan

Iklan

Ketika Ngopi Lebih Konsisten daripada Absensi Kuliah

10/31/25, 09:40 WIB Last Updated 2025-10-31T02:45:36Z

Oleh Airin Nabila Syahfitri, Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh


Di era di mana kafe-kafe kopi bermunculan seperti jamur di musim hujan, fenomena "ngopi lebih rajin daripada kuliah" sudah jadi meme abadi di kalangan mahasiswa. Bayangin aja, pagi-pagi buta, mahasiswa bangun bukan buat siap-siap kuliah, tapi malah scroll Instagram cari kafe baru yang lagi viral. "Eh, kafe ini punya latte art yang keren, yuk nongkrong!" Begitu deh, absensi kuliah yang seharusnya 100% malah bolong-bolong kayak keju swiss. Ini bukan cuma bercandaan, tapi realitas yang sering kita lihat di kampus-kampus besar.


Statistik ringan? Nah, menurut survei dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2022, sekitar 40% mahasiswa Indonesia mengaku lebih sering nongkrong di kafe daripada menghadiri kuliah. Observasi sosial juga mendukung: di media sosial, hashtag #NgopiSore atau #KafeHits rame banget, tapi #KuliahOnline atau #AbsensiPenuh? Jarang banget yang viral. Ini bukan sekadar tren, tapi refleksi dari gaya hidup Gen Z yang lebih suka "healing" daripada "grinding" akademik. Mahasiswa sekarang lebih paham menu kopi—dari espresso double shot sampai cold brew dengan topping oat milk—daripada materi kuliah yang sering terasa kering dan tidak relatable.


Fenomena ini menarik karena mengungkap kontradiksi antara prioritas hidup mahasiswa. Kuliah seharusnya jadi fondasi masa depan, tapi kenapa malah kalah pamor dari secangkir kopi? Ini penting dibahas karena bisa berdampak pada produktivitas generasi muda. Bayangin, kalau mahasiswa-mahasiswa ini yang nanti jadi pemimpin bangsa, tapi mereka lebih hafal resep kopi daripada konstitusi negara. Sarkas? Ya, tapi ini peringatan. artikel ini: fenomena ngopi yang lebih konsisten dari absensi kuliah bukan cuma hiburan, tapi isu serius yang perlu introspeksi, karena kalau dibiarkan, bisa bikin generasi ini kehilangan arah. Kita perlu bahas kenapa ini terjadi, dampaknya, dan bagaimana cara menyeimbangkan antara "ngopi" dan "kuliah" biar hidup nggak imbalance kayak roda motor yang bocor.


Mari kita telusuri lebih dalam. Ngopi itu bukan musuh, lho. Kopi bisa jadi teman diskusi, inspirasi kreatif, bahkan tempat brainstorming ide-ide brilian. Tapi masalahnya, ketika ngopi jadi rutinitas harian yang lebih konsisten daripada absensi kuliah, itu tandanya ada yang salah dengan prioritas. Mahasiswa sekarang hidup di dunia yang serba cepat: deadline tugas, ujian, kerja paruh waktu, plus tekanan sosial di TikTok. Akibatnya, kafe kopi jadi pelarian—tempat di mana mereka bisa "chill" tanpa beban. Analoginya kayak orang yang lapar tapi malah makan camilan terus, padahal nasi belum disentuh. Lucu, tapi kalau diterusin, bisa bikin malnutrisi akademik.


Fenomena ini juga dipengaruhi oleh budaya konsumtif. Di kota besar, kafe bukan cuma tempat minum kopi, tapi simbol status. "Gue nongkrong di kafe premium, lo?" Begitu deh, FOMO (fear of missing out) mulai muncul. Generasi Z, yang lahir di era digital, lebih suka konten visual daripada teori-teori kering. Kuliah yang monoton—dosen baca slide terus tanpa interaksi—bikin mahasiswa bosan. Akhirnya, mereka pilih kafe yang punya WiFi cepat, musik chill, dan aesthetic yang Instagrammable.


Tapi tunggu, ini bukan cuma soal mahasiswa malas. Ada faktor sistemik juga. Pendidikan tinggi di Indonesia sering kali kurang adaptif. Materi kuliah yang tidak update, metode mengajar yang masih konvensional, bikin mahasiswa merasa kuliah itu "wasted time". Sementara kafe kopi? Mereka inovatif: ada coworking space, event musik, bahkan workshop kreatif. Jadi, wajar kalau mahasiswa lebih tertarik. Ini isu penting karena pendidikan adalah investasi masa depan. Kalau mahasiswa nggak serius, bangsa ini bisa ketinggalan.


Pernyataan tesisnya jelas: fenomena ini menarik karena menggambarkan pergeseran nilai di generasi muda, dan penting dibahas untuk mendorong perubahan. Kita perlu analisis mendalam, bukan cuma geleng-geleng kepala. Artikel ini akan bahas dari fenomena, analisis, dampak, hingga solusi, biar pembaca bisa introspeksi. Ngopi boleh, tapi jangan sampai absensi kuliah yang bolong-bolong. Yuk, kita mulai eksplorasi!

 

Fenomena Ngopi sebagai Gaya Hidup Mahasiswa

Coffee shop di Indonesia udah nggak cuma tempat minum kopi lagi, bro. Dulu, kafe kayak warung kopi sederhana, tapi sekarang? Mereka jadi ikon gaya hidup. Dari Starbucks yang premium sampai kafe indie yang quirky, coffee shop udah bertransformasi jadi ajang pamer eksistensi. Mahasiswa sekarang nggak sekadar pesan kopi, tapi juga upload story Instagram dengan caption "Healing di kafe favorit #NgopiTime". Ini bukan cuma nongkrong, tapi ritual sosial yang bikin mereka merasa "cool" dan "trendy".


Pengaruh media sosial? Besar banget! TikTok dan Instagram bikin kafe-kafe ini viral. Satu video latte art yang keren bisa dapat ribuan likes, dan mahasiswa langsung ikut-ikutan. "Gue harus coba kafe ini biar nggak ketinggalan!" Begitu deh, FOMO mulai kerja. Coffee shop jadi tempat bertemu teman, diskusi gosip kampus, bahkan cari inspirasi buat konten. Bayangin, di kafe, kamu bisa duduk berjam-jam tanpa ditegur, sambil scroll feed. Di kampus? Kuliah jam 8 pagi, dosen yang ketus kalau telat. Mana yang lebih menarik?


Ini juga jadi identitas sosial. Mahasiswa Gen Z suka "aesthetic" dan "vibe". Kafe dengan interior minimalis, lampu warm, dan musik lo-fi jadi tempat ideal buat "self-care". Mereka pamer gaya hidup: "Gue lagi di kafe, nugas sambil dengerin playlist Spotify." Tapi seringnya, nugas cuma alibi. Realitasnya, lebih banyak chat grup WhatsApp dari pada ketik tugas. Coffee shop udah jadi bagian dari budaya pop, kayak K-pop atau fast fashion. Mereka bukan lagi tempat biasa, tapi simbol status "Gue mahasiswa yang suka kafe, bukan yang kutu buku."


Analoginya kayak smartphone. Dulu, HP cuma buat telepon, sekarang jadi extension dari diri kita. Begitu juga kafe: dari tempat minum kopi jadi ruang ekspresi. Ini fenomena global, tapi di Indonesia lebih ekstrem karena budaya nongkrong yang kuat. Mahasiswa sekarang lebih bangga punya "kafe favorit" daripada "buku referensi". Lucu, tapi kalau dibiarkan, bisa bikin mereka kehilangan fokus.


"Ngopi sambil nugas" itu mitos, bro. Banyak mahasiswa yang bilang gitu, tapi realitasnya? Mereka nongkrong berjam-jam, kopi diminum sedikit-sedikit, tapi tugas? Masih stuck di halaman pertama. Kenapa? Karena kafe itu zona nyaman. Di sana, nggak ada dosen yang marah-marah, nggak ada deadline yang menekan. Cuma musik chill, WiFi gratis, dan teman-teman yang asyik ngobrol.


Kuliah? Itu tekanan. Bayangin, materi yang abstrak, ujian yang susah, plus absensi yang harus 75% biar nggak DO (drop out). Mahasiswa merasa lebih nyaman di kafe karena fleksibel. Mau datang jam berapa aja, mau pergi kapan aja. Di ruang kelas? Jam fixed, dan kalau telat, poin absensi berkurang. Ini pelarian dari realitas akademik yang keras. Sarkasnya, mahasiswa sekarang kayak burung yang suka hinggap di pohon, tapi nggak mau terbang jauh.


Tekanan akademik tinggi: tugas tiap minggu, skripsi yang bikin pusing, kerja paruh waktu buat bayar kos. Akhirnya, kafe jadi "safe space" buat "healing". Tapi seringnya, healing ini berlebihan. Mereka bilang "gue lagi recharge baterai", tapi baterainya nggak pernah full karena nggak ada produktivitas. Ini bukan cuma soal malas, tapi coping mechanism dari burnout digital. Gen Z hidup di era multitasking, tapi sering over. Ngopi jadi cara buat "pause" hidup.


Studi kasus? Ambil contoh mahasiswa A, yang lebih hafal menu kopi di kafe dekat kampus daripada materi kuliah. "Latte vanilla? 25 ribu, espresso? 20 ribu," katanya lancar. Tapi tanya soal teori ekonomi? Blank. Dampaknya? IPK turun, relasi dengan dosen renggang. Dosen sering bilang, "Mahasiswa sekarang lebih suka kafe daripada kelas." Ini bukan cuma anekdot, tapi pola umum.


Konsistensi ngopi tinggi: tiap hari, jam 3 sore, nongkrong. Absensi kuliah? Kadang bolong karena "bangun kesiangan setelah nongkrong semalaman". Prioritas salah tempat. Kuliah itu investasi, tapi kalau absensi nggak konsisten, nilai jeblok. Analoginya kayak orang yang rajin olahraga tapi nggak makan sehat—badan kuat, tapi nutrisi kurang.


Ini berdampak pada relasi sosial juga. Teman-teman yang rajin kuliah sering kesal dengan yang "ngopi addict". Dosen? Mereka frustrasi karena kelas sepi. Fenomena ini menunjukkan pergeseran prioritas: dari akademik ke sosial-konsumtif.

 

Kenapa Ini Bisa Terjadi?

Sistem perkuliahan di Indonesia sering kali ketinggalan zaman. Dosen masih pakai metode "ceramah satu arah", slide PowerPoint yang monoton, tanpa interaksi. Materi? Kadang nggak relevan dengan dunia nyata. Mahasiswa Gen Z, yang terbiasa dengan konten TikTok yang cepat dan interaktif, merasa bosan. "Kuliah kayak nonton film lama, nggak ada twist," kata seorang mahasiswa. Akibatnya, mereka pilih kafe yang lebih dinamis.


Ini bukan salah mahasiswa sepenuhnya. Pendidikan tinggi perlu reformasi. lebih banyak diskusi, proyek praktis, dan teknologi. Kalau kuliah membosankan, wajar kalau mereka "kabur" ke kafe. Sarkasnya, dosen kayak DJ tua yang main lagu lama, sementara mahasiswa mau EDM yang upbeat.


Gen Z itu multitasking champion. Mereka bisa scroll TikTok sambil makan, tapi sering digital burnout. Ngopi jadi cara "healing": recharge di kafe dengan kopi dan teman. FOMO juga bikin mereka nggak mau ketinggalan tren. "Kalau temen gue nongkrong, gue juga harus!" Begitu deh, kuliah jadi prioritas kedua.


Gaya hidup fleksibel: kerja remote, kuliah online, tapi ini bikin batas kabur. Ngopi yang awalnya pelarian jadi rutinitas. Pentingnya healing? Ya, tapi kalau over, bikin imbalance. Analoginya kayak baterai HP yang dicas terus tapi nggak dipakai akhirnya rusak.


Media sosial bikin mahasiswa compare diri terus. "Temen gue lagi di kafe keren, gue juga harus!" Nongkrong jadi bukti eksistensi: post foto, dapat likes. Kuliah? Nggak Instagrammable. Tekanan ini bikin mereka pilih yang "visible" daripada yang "substantial". Ini fenomena social eksistensi di digital lebih penting daripada prestasi akademik. Sarkasnya, mahasiswa sekarang kayak influencer yang cari follower, bukan ilmu.

 

Dampak Negatif Jika Tidak Dikendalikan

Kalau fenomena ini dibiarkan, dampaknya fatal. Prestasi akademik turun IPK rendah, lulus telat. Life imbalance: kesehatan mental terganggu karena stress kuliah yang nggak diselesai. Ketergantungan konsumtif boros uang buat kopi, padahal bisa buat buku. Hilangnya tujuan kuliah jadi sekadar formalitas


Analoginya kayak orang yang makan junk food terus badan lemah, tapi nggak sadar. Kita perlu kendali biar nggak kebablasan.Mulai dari kesadaran catat waktu ngopi vs kuliah. Gunakan teknik Pomodoro (kerja 25 menit, istirahat 5), Eisenhower Matrix buat prioritas. Buat Jadwal jadi lebihfleksibel kuliah pagi, ngopi sore. Pilih kafe kondusif WiFi stabil, kursi nyaman. 


Bikin to-do list sebelum nongkrong: "Selesai tugas dulu, baru scroll."Temukan teman yang bisa nugas bareng. Gabung komunitas akademik dan study group di kafe. Fenomena ngopi vs absensi itu cermin generasi kita. Introspeksi diri kita sebenarnya ngopi bukan musuh, tapi jangan ganti kuliah dengan ngopi doang. Seimbangkan antara ngopi, nongjring dan healing biar hidup balance. []


Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Ketika Ngopi Lebih Konsisten daripada Absensi Kuliah

Terkini

Topik Populer

Iklan