Aceh Utara — Tepat pada, Sabtu (03/05/2025) menandai 26 tahun sejak peristiwa tragis di Simpang KKA, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, yang terjadi pada 3 Mei 1999. Dalam tragedi tersebut, sedikitnya 21 warga sipil tewas akibat tembakan aparat militer, dan kurang lebih 146 orang mengalami luka-luka.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 22 Juni 2016 menyimpulkan bahwa peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM berat. Laporan Komnas HAM menyebutkan bahwa tindakan tersebut termasuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan dugaan pembunuhan dan penganiayaan terhadap warga sipil.
Meskipun telah lebih dari dua dekade berlalu, proses hukum terhadap pelaku dan pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Dilansir dari laman Indepensi.com pemerintah Indonesia, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, telah menyatakan komitmennya untuk melanjutkan upaya pemulihan hak korban dan keluarga korban dari 13 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi Simpang KKA.
Namun, sejumlah pihak meragukan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dikutip dari laman tirto.id Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyatakan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran belum menunjukkan agenda yang jelas terkait penuntasan kasus-kasus tersebut.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, juga menilai bahwa pembentukan Kementerian HAM oleh pemerintahan Prabowo belum menunjukkan kepastian komitmen terhadap penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Ia mengkritik bahwa langkah-langkah yang diambil pemerintah lebih bersifat kosmetik dan belum menyentuh akar permasalahan.
Sementara itu, masyarakat sipil dan keluarga korban terus mendesak pemerintah untuk segera menuntaskan kasus Tragedi Simpang KKA melalui mekanisme hukum yang adil dan akuntabel. Mereka berharap agar keadilan dapat ditegakkan dan hak-hak korban serta keluarga korban dapat dipulihkan sepenuhnya.
Sebagai bagian dari upaya memperingati tragedi ini, berbagai kegiatan dilakukan di Aceh Utara, termasuk orasi, pembacaan surat terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto, konferensi pers, ziarah ke makam korban. Kegiatan ini bertujuan untuk mengenang para korban dan menuntut keadilan yang hingga kini belum terwujud. [Maisarah]