![]() |
Ilustrasi (Foto: iStok) |
Banda Aceh - Mahasiswa kerap disebut sebagai "agent of change", generasi muda yang diharapkan membawa perubahan bagi bangsa. Namun, bagaimana jadinya jika mereka sendiri harus berjuang dengan gangguan mental yang tak kasatmata?
Di balik prestasi akademik, organisasi, dan produktivitas yang dibanggakan, tak sedikit mahasiswa yang sedang mengalami krisis kesehatan mental secara diam-diam.
Realitas kehidupan kampus tidak selalu seindah yang dibayangkan.
Beban akademik yang berat, tekanan sosial, ekspektasi keluarga, serta masalah ekonomi, membuat mahasiswa rentan mengalami gangguan seperti stres kronis, kecemasan (anxiety), bahkan depresi. Sayangnya, masih banyak mahasiswa yang tidak menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah bentuk dari gangguan kesehatan mental.
Selain itu, sebagian besar merasa takut untuk mencari bantuan. Mengapa? Karena stigma.
Di masyarakat kita, berbicara tentang kesehatan mental masih dianggap tabu.
Mahasiswa yang mengungkapkan bahwa mereka sedang stres berat atau depresi, sering kali dianggap lemah, tidak bersyukur, atau bahkan hanya mencari perhatian.
Menjadi mahasiswa bukan hanya soal mengejar indeks prestasi kumulatif (IPK). Di balik tugas menumpuk, ujian bertubi-tubi, dan tuntutan untuk aktif berorganisasi, ada tekanan yang menumpuk secara mental dan emosional.
Banyak mahasiswa merasa terjebak dalam ekspektasi orang tua, dosen, hingga masyarakat yang menuntut kesuksesan yang instan. Padahal, setiap individu memiliki kapasitas dan ritme belajar yang berbeda. Tidak sedikit kasus mahasiswa bunuh diri yang terjadi saat ini, yang diakibatkan oleh gangguan menralnya.
Mengatasi permasalahan ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Berikut beberapa langkah yang bisa menjadi solusi:
- Normalisasi Percakapan tentang Kesehatan Mental
Dukungan dari teman sangat berperan penting dalam membantu seseorang merasa nyaman membicarakan kesehatan mental
- Pentingnya Komunitas Pendukung
Mahasiswa harus mengutamakan melibatkan diri dalam kegiatan yang mempromosikan relaksasi, pengurangan stres, dan kebahagiaan pribadi. Ini bisa termasuk hobi, olahraga, menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat, atau me time.
- Peran Orang Tua dan Keluarga
Keluarga perlu menjadi pendukung pertama. Keterbukaan dalam komunikasi tanpa tekanan, serta pemahaman terhadap kondisi psikologis anak, akan sangat menentukan ketahanan mental mahasiswa.
- Gaya Hidup Sehat
Tidur yang cukup, olahraga, dan pola makan yang seimbang juga merupakan bagian dari kesejahteraan mental. [Nur Khaidar]