Perubahan tersebut tertuang dalam Pasal 9G UU BUMN yang menyatakan, “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”
Ketentuan ini secara langsung berdampak pada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, hanya dapat menangani kasus yang melibatkan penyelenggara negara.
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menjelaskan bahwa dengan perubahan status tersebut, KPK kehilangan dasar hukum untuk menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan jajaran pimpinan BUMN.
“Kalau memang saat ini bukan merupakan penyelenggara negara yang bisa ditangani oleh KPK, ya, tentu KPK tidak bisa menangani,” ujarnya.
Menurut Tessa, KPK tengah melakukan
kajian hukum internal guna menelaah dampak perubahan ini terhadap kewenangan
lembaganya. Ia menegaskan bahwa KPK tetap berkomitmen menjalankan tugas
pemberantasan korupsi sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Kritik keras datang dari Ketua IM57 Institute, Lakso Anindito. Ia menilai perubahan ini berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN.
"Perubahan status ini menimbulkan kebingungan hukum. Lalu siapa yang berhak menangani kasus tindak pidana korupsi jika terjadi di BUMN?" ungkap Lakso.
Lebih jauh, ia menyoroti pasal lain dalam UU BUMN yang menyatakan bahwa keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN merupakan tanggung jawab perusahaan itu sendiri, bukan kerugian negara. Hal ini, menurutnya, berisiko menghapus status tindak pidana korupsi dalam konteks kerugian negara, sehingga KPK tidak lagi dapat menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Di tengah gelombang kritik, DPR
membantah bahwa perubahan dalam UU BUMN dimaksudkan untuk melemahkan fungsi
pengawasan atau memberikan kekebalan hukum kepada direksi dan komisaris BUMN.
DPR menekankan bahwa revisi undang-undang bertujuan untuk mendorong profesionalisme
dan efisiensi dalam pengelolaan BUMN, bukan mengurangi transparansi.
Menteri BUMN Erick Thohir turut menyuarakan hal senada. Ia menegaskan bahwa pemerintah tetap menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan tidak ada niatan untuk menghindari pengawasan hukum.
“Perubahan ini harus dilihat dalam konteks perbaikan tata kelola BUMN yang
lebih modern dan profesional,” ujar Erick.
Perubahan regulasi ini menandai
babak baru dalam dinamika penegakan hukum korupsi di Indonesia. KPK, meski
dibatasi oleh regulasi baru, menyatakan akan mencari solusi dan langkah hukum
yang tepat untuk memastikan pengelolaan BUMN tetap bebas dari praktik korupsi.
Dalam situasi ini, kolaborasi
antara lembaga penegak hukum, otoritas pemerintah, dan partisipasi masyarakat
sipil sangat diperlukan. Upaya pemberantasan korupsi tidak bisa bergantung pada
satu institusi saja, melainkan membutuhkan sinergi seluruh elemen bangsa untuk
menjaga integritas dan transparansi dalam pengelolaan kekayaan negara melalui
BUMN. [Aulia Robby]