Tugu tragedi Simpang KAA Aceh (Foto: KontraS)
Aceh
Utara – Pada Sabtu (3/5/2025), Simpang KKA, Aceh Utara, memperingati 26 tahun tragedi Simpang
KKA yang menewaskan sejumlah nyawa. Tragedi tersebut terjadi pada tepat pada 3 Mei 1999 di Kecamatan
Dewantara, Kabupaten Aceh Utara.
Dikutip
dari detik.com, menurut laporan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat Peristiwa di Aceh (SIMPANG KKA) yang diteken oleh DR.
Otto Nur Abdullah pada 14 Juni 2016, kejadian bermula pada malam peringatan 1
Muharam, 1 Mei 1999, di Dusun Uleetutu, Desa Lancang Barat. Acara yang
berlangsung dari pukul 20.00 hingga tengah malam ini berupa dakwah Islamiyyah.
Di tengah acara, seorang anggota Detasemen
Arhanud Rudal 001 Pulo Rungkon (Den Arhanud Rudal 001), Adityawarman,
dilaporkan hilang.
Keesokan harinya, tiga truk reo yang mengangkut
personel Den Arhanud Rudal 001 menyisir Desa Lancang Barat dan Cot Murong,
melakukan interogasi yang disertai tindak kekerasan terhadap warga. Karena
hasil nihil, mereka kembali ke markas.
Dua jam kemudian, sekitar pukul 10.00 WIB,
pasukan kembali dengan persenjataan lengkap dan kembali menyisir desa. Dalam
penyisiran ini, tiga warga ditangkap secara acak tanpa dasar hukum yang jelas.
Negosiasi pun dilakukan antara warga dan
Danramil, yang datang bersama tiga anggota bersenjata. Disepakati bahwa militer
hanya boleh memasuki desa jika didampingi Muspika.
Pada malam harinya, warga mendengar kabar bahwa
militer akan masuk kembali, sehingga warga berjaga-jaga. Namun, tidak ada
aktivitas militer malam itu.
Tanggal 3 Mei 1999, sekitar pukul 07.30 WIB, satu
truk Den Arhanud Rudal 001 dan dua truk pasukan Yonif 113 Bireuen datang kembali
tanpa pendampingan Muspika. Hal ini memicu kemarahan warga. Mereka menghadang
truk menggunakan pos ronda dari papan kayu dan drum. Karena situasi tidak
kondusif, truk tersebut keluar menuju Jalan Raya Medan-Banda Aceh.
Warga mengejar truk tersebut hingga ke Simpang
KKA, dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh. Di lokasi ini, situasi semakin memanas.
Seorang tokoh pemuda Lancang Barat dan Camat Dewantara mencoba menenangkan
massa dan bernegosiasi dengan pihak militer. Namun, Komandan Arhanud menyatakan
bahwa negosiasi hanya akan dilakukan di markas, bukan di lokasi.
Menjelang pukul 11.00 WIB, terjadi pengerahan
pasukan karena beredar kabar bahwa warga akan menyerang markas militer. Arus
lalu lintas pun macet karena ribuan warga berkumpul di Simpang KKA. Warga bahkan
menghentikan bus di jalan nasional dan meminta penumpang turun. Aksi massa
makin besar, menjangkau hingga 1 KM dari lokasi.
Pukul 12.00 WIB, pasukan Yonif 113 mencoba
bergerak ke markas Den Arhanud namun ditahan warga.
Sekitar 10-15 menit kemudian, pasukan Den Arhanud
datang dengan truk colt. Mereka mengenakan seragam loreng hijau, atribut Den
Arhanud, bersenjata SS1, dan menggunakan penanda kain merah di baju serta
baret.
Salah satu tentara melempar kayu ke arah warga
yang sedang berkumpul, dan dibalas warga dengan lemparan batu. Tembakan lurus
ke arah kerumunan pun dilancarkan oleh pasukan Den Arhanud selama sekitar 20
menit, disusul tembakan dari Batalyon 113.
"Warga yang berada di Simpang KKA berlarian
dan berteriak 'tiarap!' atau dalam bahasa Aceh 'crup!'. Namun banyak yang tidak
sempat menyelamatkan diri, tertembak saat kejadian," demikian tertulis
dalam laporan tersebut.
Diperkirakan ribuan orang berada di lokasi, baik
yang ikut aksi, yang kebetulan lewat, maupun yang ditahan dalam perjalanan. Situasi
semakin tidak terkendali karena akses jalan tertutup kerumunan massa.
Komnas HAM mencatat sedikitnya 23 orang tewas dan
30 orang luka-luka dalam tragedi Simpang KKA ini.
Mantan
presiden, Joko Widodo
dalam pernyataan resminya, Rabu (11/1/2023), mengakui bahwa pelanggaran HAM
berat memang terjadi di berbagai peristiwa sejarah Indonesia.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang
tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia, mengakui pelanggaran hak
asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan saya sangat
menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat," kata Jokowi.
Berikut daftar 12 pelanggaran HAM masa lalu yang
diakui oleh Presiden Jokowi:
1.
Peristiwa 1965-1966
2.
Penembakan Misterius 1982-1985
3.
Peristiwa Talangsari Lampung 1989
4.
Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1998
5.
Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
6.
Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
7.
Peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan 2, 1998-1999
8.
Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
9.
Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999
10. Peristiwa
Wasior, Papua 2001-2002
11. Peristiwa
Wamena, Papua 2003
12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003 []