WASATHA.COM, BANDA ACEH - Sejumlah elemen masyarakat sipil menyampaikan kekosongan Wakil Gubernur (Wagub) Aceh harus segera diisi sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Karena keberadaan Wakil Gubernur sangat penting bagi kemajuan Aceh.
Demikian salah satu rekomendasi FGD Refleksi Akhir Tahun, yang diselenggarakan Bandar Publishing di Ivory Cafee, Rabu(9/12) di Seutui Banda Aceh.
Hadir sebagai pemantik FGD refleksi akhir tahun 2020 adalah Profesor Yusny Saby dan Dr M Adli Abdullah yang dimoderatori oleh Dr Kamaruzzaman Bustamam Ahmad.
"Untuk kepentingan Aceh yang lebih baik maka kepemimpinan Aceh perlu di dampingi oleh Wakil Gubernur. Karena posisi wakil gubernur diperlukan secara yuridis formil untuk tata kelola pemerintah Aceh," kata Profesor Yusny Saby dalam pembuka diskusinya.
Menurut Profesor Yusny Saby, jangan menjadikan isu-isu politik sebagai hiburan. Tetapi politik harus menjunjung moral dan etika. Tetapi tahapan dan presedur politik harus dilalui dengan baik.
Sementara Dr M Adli Abdullah mengatakan bahwa gubernur jangan sendiri harus memiliki wakil.
"Situasi Aceh saat ini sangat aman tetapi tidak nyaman, terutama dalam hal politik dan investasi ekonomi. Makanya kepemimpinan Aceh hari ini harus komplit gubernur dan wakil gubernur. Begitu juga kepemimpinan Aceh kedepan harus disiapkan dari sekarang," ujar M Adli Abdullah.
Seorang peserta FGD Refleksi Akhir Tahun, Dosen Hukum Tata Negara UIN Ar-Raniry, Zahlul Pasha mengatakan secara legal formal tidak ada perdebatan soal masa jangka waktu yang tersisa 18 bulan bagi suatu daerah wajib mengisi kekosongan wakil gubernurnya.
Menurutnya, kenapa wajib? Karena ada satu aturan misalnya UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah. Kemudian untuk melaksanakan aturan itu ada aturannya, ada PP Nomor 102 Tahun 2014 yang menyatakan gubernur wajib mengusulkan calon wakil gubernur kepada presiden melalui menteri dalam negeri paling lambat 15 hari kerja.
"Ini sebenarnya menyangkut kepentingan politik, apakah gubernur kita mau punya wakil gubernur atau tidak. Kalau mau, sebetulnya dalam dua tiga hari sudah selesai. Tapi kalau tidak mau, akan ada banyak alasannya apalagi ini wilayah kepentingan politik," sebutnya.
Zahlul menyampaikan, menurutnya khusus untuk Aceh posisi wagub itu lumayan penting. "Karena kenapa? Ini mungkin yang berbeda dengan sejumlah daerah lain.
Karena ada beberapa posisi yang dalam Qanun Aceh seperti Qanun Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukuman Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah. Ini Qanun yang mensyaratkan dewan penasehat FKUB wajib diisi oleh wakil gubernur, tidak boleh diisi oleh orang lain."
Selanjutnya, Zahlul menambahkan, dalam UUPA juga ada beberapa kewenangan dimiliki oleh wakil gubernur Aceh yang tidak dimiliki oleh wakil gubernur daerah lain.
"Misalnya wakil gubernur Aceh itu punya kewenangan untuk mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan syariat Islam, jadi ini tidak dimiliki oleh wakil gubernur lain. Sehingga dalam bayangan saya, kalau posisi ini tidak ada yang menempati, jadi hal-hal seperti ini tidak ada yang melaksanakan," ujarnya.
Sejumlah elemen sipil seperti akademisi Unsyiah, aka UIN Ar-Raniry, pegiat partai politik, juga aktivis perempuan, dan kelompok masyarakat lain ikut hadir FGD refleksi akhir tahun.
Seperti, Badri Hasan, Zahlul Fasha, Adi Warsidi, Dr Sulaiman, Dr Sehat Ihsan Shadiqin, Dr Mukhlisuddin Ilyas, Dr Baun Thoib Soaloon Sgr, Kika Lhena Darwin, Prof M Hasbi Amiruddin, Raihal Fajri, Husaini Ende, Sayuti M Nur, Dr Teuku Muttaqin, dan Fajran Zain.[]